Friday, June 29, 2012

...bertemu manusia


“A secret makes woman, woman” seperti dalam seri Detective Conan.

Dan, sepertinya, sedikit mencontoh rima kalimat hebat tersebut, “Human makes human, human”.

Bertemu dan melihat orang (manusia) lain yang berbeda-beda ternyata benar bisa menjadikan kita manusia. Setidaknya, manusia yang (belajar) mengerti manusia lain.

Saya teringat seorang kerabat yang mencalonkan diri sebagai wakil rakyat di daerah. Jujur, saya tidak terlalu bersimpati dengan praktik politik praktis. Apapun itu. Mau presiden, wakil rakyat, kepala desa, hingga kadus, hingga RT. Walau tak memungkiri, bahwa praktik tersebut yang justru menjadikan saya hidup hingga sekarang. Kita semua hidup, hingga sekarang.

Kenapa saya tidak simpatik? Alasannya sederhana, begitu mencoba memahami dan merasakan sendiri, rasa-rasanya praktik semacam itu terasa ‘palsu’. Kalau kata tivi pencitraan, ‘manis di depan, sepah di belakang’. Apalagi ketika melihat sendiri bahwa praktik korupsi benar-benar nyata ada di depan mata. Sekali lagi, tidak perlu membicarakan korupsi di partainya Pak Presiden, bahkan mungkin itu ada di kelurahan kita.

Tapi pada satu waktu, satu tahunan lalu, mata saya lebih terbuka terhadap istilah ‘wakil rakyat’, ‘mengemban amanah rakyat’ atau lain-lainnya yang demi rakyat. “Kalau bukan kamu yang berfikiran positif dan lalu melakukan hal-hal positif, siapa lagi?” ajak ayah saya kala itu. Tentu saja saya tidak sedang mencalonkan diri untuk menjadi semacam wakil rakyat, rumongso gak patut. Pada satu titik, saya menyadari, “Iya, benar.”

Jika kita terlalu dilenakan dengan segala yang hal-hal negatif yang sejujurnya berimbas menyenangkan (setuju kan, kalau hidup mewah macam koruptor yang di tivi itu menggiurkan?), bisa jadi kita akan terarah ke situ. Maka kadang saya sampai terharu jika di tivi ada tayangan sosok-sosok guru di pedalaman. Sosok-sosok mereka yang katanya kurang mampu, tapi justru berprestasi dan pantang menyerah.

Merekalah manusia.

Manusia yang menjadikan orang lain manusia.

Merekalah harapan untuk masa depan. Setidaknya, ketika semua hal terlihat begitu buruk, mereka memberikan pemandangan baru yang menyejukan mata. 

Mereka yang menjadikan saya, belajar menjadi manusia. Meski entah sekali sebenarnya.

Dalam hadist atau mungkin hanya kalimat bijak, sepertinya kita pernah tahu, bahwa: sebaik-baiknya manusia adalah mereka yang berguna bagi manusia lainnya.

Ruang belajar menjadi manusia yang sesungguhnya adalah berada di antaranya.

Di mana? Bagi saya adalah di ruang yang belum pernah saya singgahi. Bersama orang-orang yang belum pernah saya temui. Di tengah suasana yang belum pernah saya rasakan. Dan perpisahan yang membuat saya berucap “Oooo…” tanpa pernah menyesal pernah berada di antaranya.

Oke, saya tidak memungkiri bahwa banyak orang-orang yang pernah kita kenal adalah orang-orang yang arogan, bahkan terasa lebih arogan dari diri saya sendiri (nah?). Tipe orang yang mungkin kita tidak ingin lama-lama berurusan lagi dengannya. Tapi, lebih dari itu, sepertinya akan lebih banyak tipe orang yang membuat kita memahami lebih banyak. Meski mereka tanpa nama.

Seperti pagi tadi.

Sebagai orang yang ingin memperketat ikat pinggang agar bisa memperkincolong telapak kaki (hasyeh!), sudah sejak lama saya ingin kembali merasakan sumuknya kereta rakyat, kereta ekonomi. Saling berhadapan dengan entah, bertemu dengan embuh. Meski agak kacau, jujur, saya sangat tertantang dan berjanji akan mencobanya lagi ketika pertama kali menaiki Senja Bengawan, Solo – Jakarta tiga tiga tahunan lalu. Saat itu, belum diberlakukan sistem satu kursi satu tiket. Pengalaman diberi jatah kursi seromobongan keluarga membuat saya mengerti, inilah yang namanya menjadi “rakyat”. Saya kurang yakin akan ada orang merelakan kursinya di kereta eksekutif, oke, saya mengacau, ya manaaa adaaa kaleee kereta eksekutif beridiriiiii? Plis deh… kita bayar mahal cuin!

Jika saya berani sendirian dari ujung Jawa Timur hingga Solo, tentu saya berani, dari Jakarta menuju Solo. Dengan taktik dan strategi, saya pun menjadi bagian dari tradisi mengantri ketimbang tradisi memesan secara online. Toh saya sudah cek di intergggnet, bahwa kereta bisnis dan eksekutip menuju Solo sudah ludes di tanggal target saya, tanggal di mana saya sudah mengantongi ijin pulang tepat waktu. Seperti halnya calo tiket dalam bayangan saya, sehabis subuh, saya bersiap.

Pada jam yang sama di hari-hari sebelumnya, tentunya saya masih tertidur lelap. Tapi pagi tadi, saya harus berkumpul dengan ratusan orang mengantri. Dan saya entah berada di baris ke berapa. Rasanya, inilah kali pertama pengalaman mengantri tiket kereta dengan antrian yang begitu panjang. Selama kurang lebih dua setengah jam. Dan tentu saja, tanpa hasil tepat di antrian kedua dari depan saya.

Dan herannya, saya tidak menyesal sama sekali. Meski agak kecewa, karena satu-satunya angkutan umum yang prakiraan waktunya terjadwal dan murah ini tiketnya sudah ludes terjual di tanggal yang saya ingin pesan.

Entah kenapa, berada di angkutan umum membuat saya menjadi hidup. Menjadi yang sedikit merasa lebih beruntung dan kadang juga merasa kurang hebat. Sekarang saya juga tahu, menjadi pengantri juga membuat saya menjadi hidup. Saya tidak membayangkan jika sekarang tiket ekonomi juga bisa dipesan H-90 secara online. Oke, itu sangat menguntungkan bagi saya. Sama halnya dengan membayar calo untuk mengantri sejak pagi buta, tiket online (tanpa sisa yang banyak) akan menghilangkan interaksi menjadi manusia.

Ketika mengantri bersama di ujung pagi. Menuliskan nama kereta bersama. Saling bertanya arah tujuan. Atau ketika seorang ibu ramai bercerita tentang anaknya yang antusias pulang ke Jogja. Kehabisan tiket bersama. Mengganti jalur kereta selanjutnya. Mengatur strategi pulang rumah. Memaki calo yang membeli puluhan tiket. Mamaki satpam yang membelikan tiket untuk orang-orang di luar antrian. Dan kehabisan tiket selanjutnya, benar-benar habis.

Kampungan sekali? Mungkin satu hari yang lalu saya akan bilang “Iya”.

Bagaimana jika mereka yang mungkin belum kenal internet harus datang di hari min tujuh keberangkatan, sementara tiket yang ada sudah terjual? Ah, sepanjang jalan pulang saya memikirkan strategi membeli tiket kereta. Hidup calo pasar senen! Hidup calo tanah abang!

Tadi, seorang kawan tercengang-cengang ketika saya bercerita bahwa saya ke stasiun pasar senen (lagi) di pagi-pagi buta. Oke, ternyata di sana terkenal dengan perampokan dan pencopetan. Saya juga tidak percaya saya seberani tadi pagi. Beruntunglah saya yang sudah dilepas oleh orang tua saya. Ya meski kebegoan sering kumat. Mungkin benar kata ibu saya entah kapan, kita harus pernah merasakan banyak hal. Biar bisa merasakan, biar nggak gumunan. Maka kita tidak akan pernah merasa takut.

Pada satu pemilu, ada satu calon wakil rakyat selama hampir enam bulan rutin mengunjungi berbagai kegiatan warga dan membangun fasilitas bersama. Dia kalah, hanya gara-gara satu calon lain yang sudah bertahun-tahun jadi wakil rakyat melakukan serangan fajar senilai duapuluh lima ribu rupiah di pagi hari.

Pagi tadi saya antri tiket ekonomi bersama ratusaaaaan orang, mereka yang berseragam kantoran rapi sementara tangan kanan memegang bb dan tangan kiri memgang i-phone (saya juga agak nggak yakin dia mau beli tiket ekonomi), mahasiswa kucel, mahasiswa ganteng, mbak-mbak berjilbab rapi, ibu-ibu yang akan mengambil rapot anaknya, tukang ojek di perempatan mana, bapak yang jualan mie ayam keliling, mas-mas manajer pabrik. Sama-sama memandang penuh sebal pada calo-calo yang membeli tiket puluhan lembar. Dan tak ada sisa lagi bagi kami. Sebagian tertawa, sebagian kecewa. 

Lalu saya jadi benci calon wakil rakyat yang bagi-bagi uang untuk serangan fajar. Ya mbok kalau-kalau situ punya uang banyak apa ya nggak buat memperbanyak gerbong kereta api saja? Amankan calo.

Kenapa stasiun senen dan tanah abang terkenal banyak pencopet dan rampoknya dan kurang nyaman? Mungkin karena uang yang harusnya untuk menata dua fasilitas publik menjadi nyaman itu buat bikin nyaman sendiri mereka yang katanya wakil rakyat itu.

Sepertinya, pelajaran menjadi manusia pertama saya dimulai dari sebuah stasiun kotor dan bau. Belajar pada orang-orangnya yang legowo keluar antrian setelah segala tiket alternatif tujuan habis diborong calo. “Yowis ki, numpak bis wae. Yoben larang tur olehe tekan mbuh kapan mbak…”. Nah!

No comments:

Post a Comment