Friday, June 22, 2012

...bertemu legenda


“Ke Monas kita tamasya, lalu keliling kota
Putar sebentar ke arah Veteran, di sana ada es krim kesukaan
Ragusa namanya…”

Kalaulah saya anak SD beberapa puluh tahun lalu, mungkin saya akan membuat catatan demikian dan mengirimkannya ke majalah anak-anak demi uang seribu rupiah atau sebuah buku cerita terbaru. Atau kalau saya anggota WSATCC, bolehlah besok saya membuat lagu tentang makanan-makanan tua di Jakarta, maka saya akan mencantumkan kata ‘ragusa’ di salah satu liriknya…

Ragusa, Es Italia.

Ragusa (pertama-tama)

***

Unilever, raksasa yang bermarkas di Belanda itu bilang, bahwa mereka menciptakan es krim bagi para pencari kebahagiaan, “for pleasure seekers”. Resep rahasianya akan mengantarkan siapapun yang menikmatinya menjadi apaaaa saja yang dia inginkan dan bayangkan. Sebagai penyuka es krim amatiran, magnum mengajak saya menjadi seorang perempuan, setelah sebelumnya hanya menjadi anak-anak dengan mengunyah paddle pop magnum.

Es krim, cokelat, dan yang enak-enak lainnya, memang dipercaya sebagai penetralisir ketidaknyamanan. Sedang stres? Makan es krim saja. Setidaknya formula itu cukup manjur, pun bagi saya.

Lalu, apa jadinya ketika menyantap es krim ternyata juga bisa menciptakan stres baru?

Efek menenangkan yang dihasilkan dari proses makan es krim sepertinya memang berasal dari cecap demi cecap yang dinikimati pelan-pelan. Ketika krim lumer di lidah dan seketika rasa serta dinginnya turut menyebar dari otot mulut ke seluruh bagian tubuh, utamanya kepala. Seketika sel syaraf menjadi lebih kendor, lalu jantung memompa darah lebih normal dan perasaan kembali tenang. Barangkali. Karena, cobalah, menikmati es krim dengan buru-buru, rasanya pasti tidak lagi enak.

Itulah juga kenapa es krim di taruh sebagai penutup acara makan. 

Sepertinya.

Termasuk menikmati Ragusa, Es Italia.

Namanya yang sudah tersohor menjadi jaminan akan kualitas dan rasa yang tiada duanya. Apalagi ada embel-embel Italia. Elizabeth Gilbert saja memilih negara ini sebagai destinasi untuk menuntaskan hasratnya akan “eat” diantara ratusan negara lain di peta dunia sebelum memulai “pray” dan “love”. Terlebih cerita tentang legenda kemahsyurannya sejak jaman Pasar Malam Gambir yang didominasi borjuis Belanda dan sosialita. Ini legenda, dan kita harus sesekali mencobanya.

Letaknya pun berada di daerah kawasan pusat kota. Menyebrang sebentar dari pintu timur monas. Menyempil di tengah bersama beberapa kios yang mengajak kita mengingat kota Jakarta satu abad yang lalu. Hanya saja dengan merek warung kopi, restoran, dan warung empek-empek kenamaan menggantung  di tiap kaca kios.

Jika baskin robbins mengajak kita berteduh di dalam dinginnya pendingin ruangan mall, lalu kita akan memesan setangkup burger jikalah perut juga mulai merasa lapar. Di kios minim warna dan cat yang mulai memudar ini kita disuguhi pilihan sate ayam, asinan, otak-otak, dan gado-gado sebagai kawan minum (atau makan) es krim. Hawa panas karena nihilnya ac bertambah panas ketika ternyata kita harus turut membuat rangkaian antrian menjadi semakin panjang. Kemudian barangkali, akan sedikit kesal, ketika ternyata kita tidak kebagian meja untuk menghabiskan es krim yang sudah di tangan. 

Sampai di sini saya agak kebingungan untuk menentukan arah tulisan, akan sinis atau justru akan bangga pada Ragusa.

***

Waktu itu sekitar jam satu siang. “Kita akan mencoba es krim Ragusa,” ujar Mbak Dilla, seorang kakak yang saya lupa kapan terakhir bertemu dengan dia. Harusnya siang itu Teh Imeh menjadi bagian rombongan, tapi sebagai penulis yang semakin oke kariernya, doi sibuk sekali, pun di hari Minggu. 

Nama Ragusa sudah tidak asing lagi di kepala, rasa-rasanya pernah mendengarnya berkali-kali dari acara kuliner di tivi atau membacanya di rubrik kuliner majalah wanita. Menaiki bajaj bahan bakar gas berawarna biru, kami menuju jalan Veteran, agak bersebelahan dengan Istiqlal. Berdiri di pintu masuknya, saya tercengang.

Saya akan makan es krim di mana?? Kok ono sate mbarang? Benar-benar terasa Batavia.

Bayangan bisa selonjor-selonjor di kursi empuk seperti di gerai j-co, menjadi seperti anak gaul seperti anak muda yang nongkrong di sevel yang duduk di antara kursi-kursi besi dan meja berpayung (?), atau kursi warna-warni mcd, hilang. Oke, ini lebai. Saya hanya membayangkan sebuah bangunan gaya Belanda dengan cat putih memudar dan jendela-jendela besar, dengan kursi panjang berhadap-hadapan  serta suara kereta yang lewat di kejauhan (karena ternyata di seberang sana tidak terlalu jauh terdapat jalur rel kereta api), serta iringan irama bosanova. Kombinasi sempurna yang pernah saya rasakan di solopucino, sebuah warung kopi (dan es krim juga) di solo, yang sayangnya sudah tutup dua tahunan lalu. 

Orang benar, masalah rasa juga termasuk masalah percaya. Karena namanya yang sudah menjadi legenda, Ragusa menjadi pilihan untuk menikmati cita rasa es krim, (italia).

Pengalaman berebut meja (dan kalah) tentulah bukan pengalaman indah yang layak diceritakan di sini. Saya harap gambaran ini menunjukan bahwa Ragusa benar-benar ramai. Mulai dari serombongan keluarga besar, keluarga kecil, pasangan yang lagi jatuh cinta hingga tega menyered meja yang berisi es krim kami dengan sedikit galak, atau sekedar orang yang ingin mencoba Ragusa seperti saya. Sebagai newbie, tentu saya tidak tahu tata tertib di sana. Mengagumi sekaligus tak mengerti, “O, jadi kayak gini.”

Kami memesan banana split. Soal rasa, saya kasih sembilan puluh lima. Dapat A.

Banana Split
Tapi, karena saya tidak dapat meja, saya memberi nilai untuk kenyamanannya sebesar minus seratus duapuluh satu. Jadilah nilainya menjadi tujuh puluh sembilan. Dapat B.

Karena, jujur, suasana ramai dan penuh semacam itu membuat saya tidak nyaman menikmati es krimnya. Masak saya enak-enak duduk sementara puluha orang lainnya jelas-jelas menenteng es krim penuh dan butuh duduk. 

Sebagai legenda, Ragusa mungkin masih juara.

Tapi sebagai pilihan untuk menyecap habis hingga jilatan terakhir lelehan es krim sambil cerita tentang sore indah di Jakarta, rasanya bukan di sana tempatnya. Saya juga kurang tahu, kapan Ragusa tak sepi pembeli. Maka saya kira, sepertinya lebih baik membungkusnya dan memakannya di sebuah taman kota yang sepi dan rumput yang hijau.

Malah-malah saya kangen es krim lima ribuan om Ronald yang datang dari amerika.

Saya jadi ingat perkataan seorang kawan yang pernah bersama-sama mencobai hampir semua makanan khas Solo, ketika akan membuat direktori tentang kuliner, mungkin sebaiknya kita membedakannya dengan lebih spesifik lagi, misal “makanan enak”, “makanan khas”, “tempat makan legenda”, dan atau “tempat makan nyaman/unik”. Kurang lebih demikian. 

Makanan enak, ya yang enak dan semuaaa orang suka dan mengakuinya itu enak. Entah makannya sambil berdiri atau mengantri hingga tiga jam. Makanan khas, tentu saja, adalah yang (sebisa mungkin) hanya bisa ditemui di satu kota/ daerah, ya emang adanya cuma di situ atau memang sudah diakui bahwa satu jenis makanan tertentu itu asli, ASLI daerah tersebut. Tempat makan legenda, bisanya si karena umur berdirinya, efeknya, mungkin seperti Ragusa yang terasa kurang nyaman (ya karena memang banyak yang suka, dan kedai yang tak besar) atau justru rasa yang tak lagi terasa nendang, karena semakin banyaknya jenis menu yang lebih terasa enak, ini pernah saya rasakan ketika mencoba warung bakso legenda, tapi rasanya (menurut saya) tidak enaaak. Tempat makan nyaman, cari saja di direktori majalah gaya hidup, sekarang semakin banyak tempat yang menyajikan “suasana” dari pada rasa, kan? :D

Tapi, tentu saja, lain waktu, saya ingin kembali ke sana. 

Mungkin setelah mencari tahu, kapan waktu yang pas untuk mendapatkan meja dan sedikit berleha-leha.

Dan sepertinya juga, bagi yang belum pernah ke sana, ada baiknya untuk merasakan sensasinya.

*
Foto saya ambil dari sini dan sini.

No comments:

Post a Comment