Monday, April 21, 2014

...april dua satu

Tentang Kartini yang saya tahu, untuk Syauqi.



Kartini meninggal di usia begitu muda. Belum juga ia bisa menggamit lengan anaknya, menatihnya mengeja kata dan belajar membaca. Aku mengingat wajahnya, diam di antara kaca, dipenjara pigura. Kar, adakah kau dulu bahagia?

***

Jika ini adalah tanggal 21, maka tepat setahun lalu, kami, saya dan Syauqi, berdua turun dari bus Semarang-Surabaya, kepanasan, memicingkan hidung menepis rasa amis, berjalan mencari plang bertuliskan "Pasar Ikan", dipanggang teriknya Rembang. 

Ini Rembang? Duh, lengketnya!

Beruntung, setelah berjalan sekian meter, mungkin 300 meter... nampak terpampang nama hotel yang kami cari. Amis yang seperti menggantung di udara itu digantikan bau pengharum ruangan segar, empuk sofa, dan lukisan panjang yang menantang mata. Menunggu kamar kami siap, kami mengisi perut yang mulai menagih jatahnya... tertegun dengan harganya... lebih tertegun lagi ketika makanan tiba di depan mata... ya Tuhan, ini surga. Saya lupa, saya sedang tak di Jakarta. Kami makan sampai kekenyangan. Dan lalu hujan datang. Rembang berubah menjadi atap-atap bangunan khas Tionghoa di abad pertengahan, dinding tinggi di sana-sini, halaman persegi berplester kasar, dan pintu keluar kecil menuju jalan di setiap bangunan yang samar-samar nampak dari kaca kamar kami, tempias, bersaing dengan titik-titik air hujan yang ingin berteduh dan tak mau jatuh. Seperti di puri pada sinetron China yang sering saya tonton dulu. Seperti terbang ke masa lalu. Apalagi matahari minggat pergi entah ke mana lagi. Padahal baru jam dua belas siang. Sejak itu, waktu berjalan lambat di sana. Sangat lambat. Lambat sekali.

Selepas hujan reda, kami mencari becak menuju rumah Kartini. Sisa-sisa air hujan yang masih sesekali menetes menggantikan hawa panas yang menyambut kedatangan kami tadi. Perlahan-lahan, becak kami melewati beberapa gang dan pertokoan. Cat-cat putih kehitaman mengelupas di sana-sini, nampak pada dinding-dinding tinggi yang kami lewati. Khas pusat kota yang tak terlalu besar dan ramai. Hal yang sangat saya suka ketika mengunjungi satu tempat. 

Sampai akhirnya kami sampai di depan gerbang kayu besar bercatkan warna hijau tua. Berjalan masuk ke dalamnya, nampak tenda-tenda bekas acara yang telah selesai. Kursi-kursi dinaikan ke atas meja, beberapa barang tertinggal sembarangan. Sepertinya orang-orang ini langsung berlari meninggalkan acara ketika hujan datang. 

Kami langsung saja menuju bagian belakang pendopo, bertamu ke rumah Kartini. Bangunan joglo beratap rendah, dengan tembok bercat putih dan kayu bercat hijau senada. Kami sempat berbicara dengan kuncen (penjaga) di sana, tapi saya lupa namanya. Ia bercerita tentang perayaan Hari Kartini yang sedianya didatangi menteri pemberdayaan perempuan, tapi batal karena hujang keburu datang. Ada-ada saja, pikir saya.

Kami lalu melihat-lihat ke dalam rumah Kartini, yang kini telah menjadi museum. Sedikit lebih dekat, mengenal Kartini.

Hanya sedikit yang saya tahu tentang Kartini. Sekilas, mungkin hanya bayangannya tentang putri sejati. Putri macam apa itu, saya juga tidak tahu. Selebihnya, Kartini yang saya tahu adalah nama majalah perempuan, yang lebih spesifik lagi diperuntukan bagi mereka yang berusia lebih dari 25 tahun. Dan lainnya, Kartini tak lebih dari sekedar perayaan tahunan. Mengingatkan kembali akan emansipasi dan kesetaraan hak antara perempuan dan laki-laki. Dan tentu saja, berbagai program diskon di pusat perbelanjaan dan berbagai kalimat-kalimat slogan. Ya, saya pernah membuatnya. Tentu tujuannya bagus, saya dulu merasa itu bagus, tapi di satu sisi lain, ketika saya membaca bebagai bahan dan mengerjakan satu image Hari Kartini, saya sadar, saya tak mengenalnya sama sekali. Saya hanya seorang copywriter yang akan membuat beberapa kalimat untuk dijadikan script iklan 30 detik. Biar pun saya membaca surat-suratnya ataupun buku tentangnya. Saya tetap merasa tidak mengenal Kartini. 

Baru pada sore itu, sepertinya kami berkenalan. 

Saya selalu menganggap, fenomena "hero" semacam Kartini ini, adalah soal waktu. Pada satu waktu, akan ada sosok-sosok yang akan bergerak menyuarakan sesuatu. Nah, jika itu tentang Kartini, bisa jadi ada anak bupati lain yang juga seperti Kartini, bahkan tak perlu anak bupati, setiap perempuan saat itu adalah penggerak, minimal dalam keluarganya sendiri. Setiap ibu wajib memberi palajaran pada anak-anaknya, meski bukan pelajaran membaca dan menulis dalam Bahasa Belanda, melainkan prihal keterampilan, seperti membatik misalnya. Menurut saya kala itu, beruntung Kartini berbalasan surat dengan seorang Belanda yang peduli betul atas citra bangsanya. Menunjukkan bahwa Kartini adalah "hasil" didikan Belanda yang bersinar. Pemikirannya jauh dibanding perempuan Indonesia pada umumnya, kala itu. 

Meski hal itu memang benar. Jika standar yang digunakan adalah standar barat, tentu Kartini bersinar. Karena Kartini memiliki akses yang lebih baik dan lebih banyak atas pelajaran-pelajaran dan gaya hidup yang Belanda buat. Bahkan sampai sekarang, saya kira ketimpangan dalam mendapatkan ilmu atau bahan serta keberanian menyuarakan gagasan, adalah karena adanya perbedaan akses dan kesempatan pada standar yang terlanjur dibikin itu.

Meski dalam hal Kartini, berbagai hal baru yang ia terima dari barat dijadikannya cermin bagi apa yang ia lihat dan temui di sekitarnya.

Sayangnya, Kartini tak bisa apa-apa dan tak punya daya besar utuk melakukan satu hal dan merubahnya. Setidaknya, untuk dirinya sendiri. Itu yang saya tangkap...oke, tepatnya, itu persepsi saya.

Saya tak bisa membayangkan rasanya menjadi dia. Bukan lagi tentang seorang Kartini yang dipuja-puji seantero negeri, tapi sebagai seorang perempuan muda... yang harus berbagi suami, dengan empat atau lima perempuan lainnya. Tinggal dipayungi atap yang sama, dan hanya berjarak beberapa meter.

Kartini seorang permaisuri, tentu saja, dengan dipan kayu berukir dan cermin besar dari kayu jati. Kamar mandi di samping kamarnya, tentu sangat mewah pada jamannya, lengkap dengan bathtub dan shower dan pemanas air. Sedikit berjalan ke samping, hanya dibatasi teras, slasar, dan taman, berjajar lima kamar selir. Tak semewah kamarnya, tak sebesar kamarnya.

Meski Kartini dilahirkan juga bukan oleh seorang permaisuri, atau disebut istri utama, sebatas yang saya tangkap dari bahan-bahan yang saya dapat, Kartini tidak terlalu setuju dengan konsep patrilinear yang hidup dalam budaya bangsawan Jawa, tempat di mana dia lahir dan besar. Termasuk poligami.

Saya membayangkan seperti apa konstelasi pemikiran dia dan juga, mungkin, perasaan dia, ketika akhirnya harus menikah sebagai istri utama yang kedua (istri utama yang pertama meninggal dunia, Kartini menggantikannya), tapi juga berbagi dengan perempuan yang sama-sama tak berdaya untuk menolak kondisi mereka.

Saya tahu itu terlalu sentimentil. Saya sadar. Mungkin ini karena memang sampai saat ini saya belum menemukan titik-titik persetujuan atas konsep poligami. Dan lalu, ketika itu saya tak dapat membayangkan, apa rasanya menjadi Kartini. Sebagai seorang diri.

Lalu, ketika sebelumnya saya menganggap lahirnya Kartini sebagai sebuah kondisi "yang terberi", maka setelahnya saya menafsirkannya sebagai sebuah kondisi yang "membebaskan". Ia ingin perempuan-perempuan lain tak mengalami satu "penjara sosial" seperti yang dia alami. Dan, kebebasan itu, saya tangkap, ia menggambarkannya dengan mendapatkan hak-hak perempuan untuk berpendapat dan juga mendapatkan hak belajar formal, yang ketika itu hanya terbatas pada anak laki-laki. Dan cermin yang ia gunakan adalah kebebasan ala Belanda, yang ia lihat pada kawan-kawannya.

Tapi, lebih dari itu, satu hal yang ia suarakan adalah hak terbesar sebagai seorang manusia, tak hanya hak sebagai perempuan, yaitu hak menjadi diri sendiri. 

***

Itu adalah salah satu perjalanan yang sangat saya ingat dan, tentu saja, seperti biasa, sentimentil. 

Sayang saya baru bisa menuliskannya sekarang. Sayang juga saya tak dapat menuliskannya dengan panjang. 

Sore itu kami melanjutkan perjalanan ke Lasem, melihat-lihat batik khasnya yang super cantik. Batik pesisiran dengan perpaduan warna kaya, yang itu berarti adalah dicelup berkali-kali. Lalu siang berikutnya kami menuju makam Kartini di Blora. Bermobil dengan saudara Syauqi, yang telah sangat berbaik hati mengantar kami. Lalu kami kembali ke Semarang. Dan saya kembali ke Jakarta. Satu hal lagi yang saya ingat, saya sempat menangis ketika di dalam kereta. Tidak tahu kenapa. Hhhi.

Hari ini menjadi seperti Hari Kartini lainnya. Saya menyiapkan tulisan ini sejak seminggu lalu, tapi terus terpotong. Saya sempat melanjutkannya semalam. Mengetik di ponsel saya yang berlayar kecil, karena tak lagi memiliki komputer jinjing. Saya baru menyelesaikannya sekarang. Untuk Syauqi, salah satu sahabat terbaik saya.

Saya ingat, kami banyak berbagi banyak hal. Hal-hal besar, hal-hal kecil, yang menyedihkan, juga tentu yang membahagiakan. Saya belum sempat bertanya apa yang ada di pikiran dia tentang Kartini. Ketika itu kami lebih banyak bercerita tentang diri kita, ke sana ke mari. Tapi saya kira, dia adalah salah sati perempuan hebat yang saya kenal, karena dia tahu apa yang dia lakukan. Dari dia, saya juga banyak belajar.

Saya sedang di bus sekarang. Sepertinya tak bisa lagi melanjutkan tulisan ini menjadi lebih panjang. Dan di tanggal ini, sekarang, saya ingin mengamini beberapa pemikiran Kartini. 

Saya tak ingin seperti dia. Saya juga masih tak mendewakan dia, karena ada beberapa hal dalam dirinya yang belum saya pahami sepenuhnya. Saya juga tak mengerti, apa-apa saja yang harus dilanjutkan dari perjuangan dia. Karena, saya kira, melihat kondisi saat itu, jika pun tak ada seorang Kartini, akan ada perempuan Indonesia lain yang akan menyuarakan hal-hal seperti yang diutarakan Kartini. 

Demikian. Melakukan apa yang bisa kita lakukan sebaik-baiknya.








*tulisan ini adalah janji saya untuk Syauqi bundo... Maaf baru kubikin setahun kemudian. :)



No comments:

Post a Comment