Monday, November 12, 2012

...the descendants: priceless



Pic from: somewhere over the google



“It’s strange… is all. We didn’t do anything to own this land. It was entrusted to us. And now we just…”

Sayangnya, kedua orang tua saya bukan pemilik kepulauan dengan bibir pantai membentang luas, warna birunya bersambut dengan pasir lembut, dan matahari yang bersinar hangat. Sehingga saya tidak begitu tahu apa perasaan Matthew King (George Clooney). Seorang kaya, dengan puluhan saudara sebagai pewaris kepulauan di Hawaii. Hotel, resort, dan banyak properti lain adalah milik mereka. Mereka hanya berkemeja pantai dengan warna-warna cerah serta beberapa kancing atas yang sengaja dibuka dan bercelana pendek, dan mereka adalah para jutawan.

“My friend on the mainland, think just because I live in Hawaii, I live in paradise. Like a permanent vacation.” Tapi ini bukan tentang seorang paruh baya rupawan nan kaya dan segala nikmat surgawi yang Hawaii janjikan. Kita sedang diajak jungkir balik menikmati ombak di sana…

Mat King bukan pria gemar pesta atau mabuk-mabukan. Ia pekerja keras yang banyak berkutat dengan berbagai urusan legal tanah warisannya. Ia seorang serius dengan beberapa helai uban di kepalanya, kacamata agak sedikit mlorot, berbicara dengan tenang, dan mampu menahan marahnya. Meski seharusnya ia banyak marah dan berteriak atau memukul, ia tidak melakukannya. Di sini, Clooney mengajari kita bersabar. Tanpa senjata, tentu saja.

Istrinya, Elizabeth King (Patricia Hastie) terbaring koma. Ia kewalahan mengurus dua putrinya, Alexandra (Shailene Woodley) dan Scottie (Amara Miller). Bagaimana tidak, Scottie yang baru berusia sepuluh tahun fasih berkata kasar dan menunjukan jari tengahnya kepada siapapun jika kesal.  Meski ini adalah tentang seorang pewaris, cerita yang diadaptasi dari novel ciptaan Kaui Hart Hemmings ini tidak sepenuhnya berbicara tentang bagaimana menjadi seorang pewaris. Ini adalah cerita tentang memenangkan hati dan berdamai dengandiri sendiri.

Diantara masa-masa menemani sang istri yang terbaring kaku dengan dibantu bermacam alat yang membuat jantungnya masih terus berdetak, Mat menyadari ia terlalu fokus dengan pekerjaannya dan tak punya banyak momen berharga dengan keluarganya. Bahkan terasa ada semacam penyesalan mendalam, ia tak mampu menjaga istrinya sendiri. Sampai Elizabeth harus mengalami benturan keras pada kepalanya saat kecelakaan motorboat. 

Mat mulai mendekati putri-putrinya dan bicara dengan mereka. Ada jarak yang coba ia tembus perlahan-lahan. Mengakui kesalahannya dan mengajak mereka berdamai. Terlebih ketika dokter menyatakan tak ada lagi harapan setelah puluhan hari menunggu. Hanya ia kini yang dimiliki putri-putrinya. Dan mereka nanti hanya akan memiliki dirinya. Proses perpisahan sebelum merelakan Elizabeth inilah yang membuat saya tertegun. Bahkan di kali ketiga menonton film ini. 

Perselingkuhan akan selalu menyakitkan. Saya percaya itu. Tapi kesakitan itu bukan untuk dirasakan selama-lamanya dan untuk ditangisi seterusnya. Apalagi marah berlama-lama. Dan Mat menunjukannya. Menjadi kalah bukan berarti harus pulang terseok dan bercucur air mata atau melakukan hal bodoh dengan memukul balik lawan lebih keras. Tapi berdiri tegak dan mengakui kemenangan lawan. Pulang dan memperbaiki diri untuk pertarungan selanjutnya.

Meski berbalut prihal jual menjual lahan atau mempertahankannya, Mat sesungguhnya tengah bertarung dengan perasaannya sendiri. Perasaan dikhianati dan kalah telak ketika tahu sang istri berselingkuh, bahkan hendak menceraikannya, seandainya ia tidak koma. Alex, putri sulungnya tahu lebih dulu. Dan mereka bersama-sama menyelesaikannya.

Mat King bukan orang sembarangan, bahkan mungkin setiap orang mengenal namanya. Akan mudah baginya melakukan apa saja. Termasuk menyerang balik laki-laki yang hampir, dan mungkin akan, menghancurkan keluarganya. Laki-laki yang berhasil merebut hati istri yang, sesungguhnya, ia cintai. Tapi ia tidak melakukannya. Ya, ia ingin bertemu laki-laki itu. Bukan apa-apa, ia hanya ingin bertemu. Maka, sembari mencari, ia menghabiskan waktu bersama kedua putrinya, mengunjungi pulau yang akan dijualnya, dan sambil mengenang istrinya.

Alexander Payne, sang sutradara, tidak ingin terlalu buru-buru menyelesaikan filmnya. Dengan emosi tertahan dan ketenangan yang matang, Payne menunjukan wajah seorang pria hebat yang sebenarnya. Seorang lelaki yang bertanya pada lelaki yang berslingkuh dengan istrinya. Sang istri koma, ia akan meninggal, dan seorang lelaki ini mempersilahkan laki-laki bajingan itu untuk menjenguknya bilamana ingin mengucapkan satu dua kata perpisahan. Dan ia bertanya, apakah laki-laki yang ternyata pecundang itu mencintai istrinya. Dan benar saja, laki-laki itu memang pecundang, dia tidak menjawab. Seketika itu juga, seorang laki-laki yang bertanya itu tahu, laki-laki di hadapannya hanya ingin mempermainkan istrinya dan menghancurkan keluarganya. Ia pergi.

Percayalah ini bukan telenovela. Mat King hanya menangis dua kali, di sebuah jembatan ketika ia tahu istrinya berselingkuh dan ketika memberi cium perpisahan pada sangistri, “Goodbye my love. My friend. My pain. My joy. Goodbye.”

Mat King menunjukkan saya satu hal. Kita semua, sebenarnya mampu menahan marah dan tidak bicara serta bertindak sembarangan. Semacam insting manusiawi yang sebenarnya kita semua punya. Setiap manusia punya. Meski tidak selalu, tapi mungkin kita pernah melakukannya. Berhadapan dengan situasi yang tidak memberi tempat untuk bertindak bahkan berfikir, kita hanya mampu diam. Tapi sebenarnya diam itulah yang terbaik. Untuk satu waktu bicara dengan lebih masuk akal dan tidak menyakiti siapapun. Meski mungkin, tetap menyakitkan. Ia mempertahankan warisannya, yaitu dua putrinya. Dan, ya, satu pulau juga.

Karakter Alex sang kakak, juga menarik. Setiap anak berhak marah dan kecewa pada orangtuanya. Setiap anak juga berhak menjadi bukan anak baik-baik. Tapi pada situasi tertentu, seorang anak tetaplah anak. Ia mencintai orangtuanya. Dan tentu saja benar, terus marah bukanlah pilihan tepat. Menerima kenyataan dan berusaha membuatnya lebih baik adalah, bejuta kali lipat lebih baik. Saya cinta dengan scene akhir film ini, sang ayah dan kedua putrinya menggunakan satu selimut besar bersama menonton tayangan National Geographic. 

Orang benar, bahagia itu sederhana.

No comments:

Post a Comment