Wednesday, August 24, 2011

...not lost

Saya kira, saya bakal nendang-nendang dan meledak. Nyatanya, ketika saya harus dihadapkan pada situasi yang bagi saya, cukup sulit, saya masih mempunyai ketenangan, yang sempat saya ragukan, apakah masih saya punyai. Nyatanya, saya masih punya.

Barangkali orang akan ragu, apakah saya bisa menyelesaikan masalah, dengan karakter saya yang terlalu banyak omong dan kadang kurang peka. Tapi, percayalah, hasil didikan entah siapa, sepertinya hasil didikan banyak orang, saya tahu harus bersikap apa, untuk setiap masalah yang kadang ada-ada saja.

Sesadar saya tahu diri, harus memakai baju apa, untuk acara apa. Seperti misal, saya selalu bilang, baju favorit saya adalah kaus, muka cukup pakai bedak dan lip-gloss tipis, bersendal jepit coklat bata kesukaan saya dan rambut diikat kucir kuda. Tapi, saya juga senang, dan merasa sangat cantik ketika harus memakai kebaya, kain, sedikit memakain pinsil alis dan mempertebal bedak, memakai lipstick warna merah muda, dan berselop (tapi masih belum percaya dengan high-heels) ketika harus pergi ke acara yang memang harus begitu. Atau kadang-kadang, kalau diajak pengajian ibu saya, saya dikrudungin sedemikian rupa, sumpah, ini saya ngrasa cantik banget. Atau, kesadaran saya, harus mengumpulkan kemeja-kemaja lagi, untuk ke kampus bertemu dosen. Setelah empat tahun cukup puas kuliah memakai kaos.

Maka, sesadar itulah kita harus menjaga sikap. Saya pernah denger satu kalimat, “Seberontak apapun kita, jangan pernah menjadikan diri sendiri tidak terhormat”. Sangar. Mungkin karena itulah, ada harakiri. Sesakit apapun kita, apa orang lain akan peduli kita bakal sesakit apa? Terus kita mendramatisir suasana, biar orang-orang kasihan sama kita? Terus melakukan apa saja sama kita? Enggak. Jawabannya, adalah enggak.

Saya juga suka dan bangga sekali dengan teman-teman saya. Yang walaupun muka-mukanya tidak seperti muka-muka sering ngadep Tuhan (kenyataannya rajin sholat, puasa sunat, dan ke greja), teman-teman saya bukan tipe orang yang mengasihani saya. Seperti saya yang tidak pernah mengasihani mereka kalau mereka lagi sakit hati. Mereka salalu bilang, “Sakit nggak?”, “Oke, mau nangis nggak?”, “Yakin, nggak mau nangis?”, “Yaudah, sini kalau mau nangis”, “Pengen teriak apa?”. Dan setelah itu, mereka juga bakal bilang, “Hei, gue pernah ngalamin kayak lo sekarang, tapi gue sekarang baik-baik aja. Udah, nyesek-nyesek pasti. Pasti, apalagi gue tahu lo selama ini berkejaran sama rasa bersalah sama perasaan lo sendiri, selama ini lo mikir antara salah dan benar, antara yakin dan enggak, sampai akhirnya lo yakin. Lo bisa ninggalin semua yang buruk, lo mencoba memperbaiki kesalahan lo, dan akhirnya lo nggak dapet apa-apa. Yaudah, lo kalah”. Dan semuanya di akhir cerita bakal bilang, “Ceritain semuanya ke kita. Sampai kamu capek cerita. Sampe kamu kehabisan kata-kata”, dan “Hei, orang kayak aku dengan masalahku aja bisa, apalagi kayak kamu. Orang paling cuek sedunia”.

Yah, walaupun kalimatnya tetep aja nggak enak dan terkesan jahat, tapi begitulah kami menyikapi semua kekurangan, kesalahan, dan kesakit-hatian. Jangan teralalu diambil hati. Malah dijadikan bahan ketawaan. Walaupun sambil nyesek juga ketawanya.

Kalau malah beberapa waktu lalu saya ngerasa nggak bisa tenang. Saya over-reactive, saya kebanyakan bingung. Sekarang justru malah seperti mendapat jawaban atas pertanyaan saya yang bikin saya over-reactive itu. Ketika dulu saya masih mencari tahu, “Ini bener nggak? Ini salah nggak? Saya yakin nggak? Saya kok ragu terus?”, nah, kemarin, saya bisa ketawa (tetep sambil nyesek si), bahwa ini belum waktunya. Kalau ragu, jangan melangkah. Kalau ngerasa salah, jangan pernah mencari pembenaran. Kalau kamu udah yakin dan ngerasa benar, baru berjalan.

Maka sekarang saya beristirahat. Sambil senyum-senyum sendiri ngrasa bodoh. What the hell?? Saya ngapain aja selama ini? Yah, walaupun dalam beberapa hal kita nggak pernah tahu apa yang akan terjadi. Tapi, satu hal yang pasti, kita nggak akan pernah bisa nglakuin sesuatu yang kita sendiri ngrasa ragu dan salah. Sampai sesuatu itu menjadi benar dan pasti, setidaknya di diri kita sendiri aja dulu.

Dan, ehm, saya. Sekarang. Bohong banget kalau bilang nggak berasa berbeda. Tapi, bohong banget juga kalau saya bilang, saya nggak baik-baik aja. Karena nyatanya, saya baik-baik aja.

No comments:

Post a Comment