Saturday, August 13, 2011

...banding. banding.

Mari kita bilang kita paling tidak mau dibandingkan. Tapi mari kita lihat diri kita lagi, kita selalu membandingkan. Terus membanding-bandingkan.

Betapa keselnya ketika saya tahu, kalau saya dibandingkan dengan orang lain. Waktu itu di organisasi yang saya ikuti. Saya sih mau-mau aja njelek-njelekin orang yang dibandingin dengan saya itu (biasanya kita melindungi diri kita dengan menjelek-jelekan orang lain, oh, maksudnya bukan kita, tapi saya). Tapi memang dalam hal itu, waktu itu tentang apalah, saya lupa, saya memang masih harus banyak belajar. Walaupun dalam hati paling dalam, saya ngrasa, “Hei, tolong tuh ya, lihat tuh ya, kamu lagi ngebandingin saya sama orang yang sama kacaunya dengan saya. Lihat tuh baik-baik.” Nggak tahu deh, tapi kayaknya hati saya nggak trima kalau saya dibandingin gitu.

Termasuk ketika saya dijadikan pembanding. Hati saya yang kadang-kadang jahat juga pengen teriak, “Apa, kamu lagi mbandingin dia sama saya? Yakin tuh? Apaan si dia? Nggak pentes tuh dia dibandingin sama saya.” Jeder. Kok saya congkak. Saya juga pernah aneh ketika seorang teman bilang, “Aku suka ngelihat gayamu pake kaos kegedean. Aku juga pengen ah, kayak gayamu…” (kurang lebih gitu). Hue? Saya malah nggak pengen dia samaan kayak saya. Saya si emang paling seneng pake kaos, berhubung saya kurus, jadilah itu kaos kegedean. Tapi emang nyaman si. Cuma, ini bukan masalah kaos. “We, apa, dia mau niru saya. Kok aneh ya?” Mungkin harusnya saya bangga, “Asik, berasa role-model”. Tapi saya malah nggak pengen dia gitu, “Ih, kamu apa-apaan si. Jangan gitu kali. Pake kaos, pake kaos aja…”. Intinya, di dalam ego saya yang paling dalam, saya nggak mau punya pembanding.

Bakal beda lagi, kalau dibandingin sama orang yang bener-bener oke. Oke dalam hal yang dibandingin sama kita. Misal nih ya, gebetan kita tiba-tiba jadian sama cewek/cowok yang emang jauuuuuuh lebih oke dari kita, pasti walaupun muka rada manyun, tapi di dalam hati bakal bilang, “Iya si. Dia emang oke.” Tapi pasti deh, tetep aja, di dalam hati kita, kita pengen teriak, “Oke. Dia emang lebih oke dari saya. Tapi tolong deh, bisa nggak si, berhenti untuk nggak ngebanding-bandingin. Tolong.” Intinya lagi, kita paling nggak mau dibanding-bandingin. Titik.

Kenapa ya? Nggak tahu juga deh. Karena pada dasarnya, mungkin kita (melalui ego kita), ingin melindungi diri sendiri. Kita adalah kita. Kita tidak mau eksistensi diri kita dibandingkan dengan orang lain. 

Tapi kalimat teman saya di tulisannya, memberikan sedikit jawaban yang lebih bijak. “Seharusnya manusia tak hanya sama di mata Tuhan, tapi juga sama di mata manusia itu sendiri.” Apa iya, kita sesungguhnya adalah orang yang sama? Oke, mungkin nggak sama cantik atau gantengnya, nggak sama pinternya, nggak sama okenya, nggak sama sempurnanya. Tapi kita sama manusianya.

Sama mempunyai kekurangan. Sama mempunyai kelebihan. Mungkin?

Yah, walaupun, kita bisa lebih bego-sebego-begonya, dari orang yang pinter-sepinter-pinternya, dalam masalah matematika, bahkan sudah pengen pingsan melihat angka yang nolnya sembilan dan berjejer banyak banget dalam laporan keuangan (orang itu adalah saya), tapi kita adalah orang yang paling mudeng masalah reaksi kimia (tentu ini bukan saya). Seenggaknya paling mudeng diantara lingkup teman kita dulu deh.

Kita juga adalah bukan orang seoke-okenya kayak Mariana Renata, sehingga dipacarin Nicholas Saputra. Tapi toh ya, mereka putus juga. Dan jangan keget, ada pasangan-pasangan yang nggak perlu secantik dan setampan mereka, bahkan biasa saja, mereka bahagia-bahagia saja.
Kembali tentang membandingkan. Jadi, ketika dibandingkan, mungkin orang yang membandingkan itu sedang menyamakan. Menjadikan kita sama. Hanya saja ada ukuran atau variabelnya. Karena kita lebih tidak disiplin, maka kita menjadi sedikit lebih gagal dari pimpinan terdahulu. Karena kita masih tahap belajar dari nol, akan beda tingkat pengetahuannya dibanding dia yang sudah belajar terlebih dahulu. Karena dia memang bener-bener cantik menurut banyak orang lain, maka kita menjadi biasa saja disamping dia. Tapi mungkin kita akan menjadi orang tercantik dibanding orang lain, dalam kesempatan lain.

Hei, toh ya, orang yang jadi tolak ukur itu, pasti memiliki kekurangan. Pasti. Karena, setiap manusia itu sama. Sama nggak sempurnanya. Percuma saja dibanding-bandingkan. 

4 comments:

  1. ah atunaaaaa...
    saya juga gak mau ketika mata saya dibilang sipit seperti orang Cina.
    Orang Cina itu.. hmm.. [maaf rasis]
    Tapi memang saya tak suka. itu saja. :)

    ReplyDelete
  2. saya juga nggk suka dibilang mirik Nia Ramadhani kok Ndoxy...


    mumumu...hug&kiss... :D :D

    ReplyDelete
  3. wah iya setuju banget sama postingan ini....

    ReplyDelete
  4. tengkiu ya... Elfira Arisanti... salam kenal.. :D

    ReplyDelete