Saturday, August 6, 2011

...hei nona!


“Hei, jangan berharap kita dapet cowok ganteng, kaya, pinter, kuat iman dan sempurna deh. Kita bukan cewek yang pas lewat bikin semua cowok mau sama kita,” kata teman saya. Mringis. Mringis. Mringis. Kesedak. Kesedak. Kesedak.

Bener banget.

Pun, jika kita adalah tipe cewek yang kalau lewat bikin semua mata cowok nglihatin kita dan bakal balas senyum kita. Cowok-cowok itu belum tentu cowok yang ganteng, kaya, pinter, dan kuat iman itu. “Suami Di*n S*stro aja nggak ganteng,” dan “Apalagi suami Ni* R*m*dh*ni,” kita ketawa. Bener. Bener banget.

Hei. Kadang kita terlalu berkhayal setinggi langit tentang sesuatu hal. Pagi itu, dari ngobrol apa, menjadi pada persoalan, (lagi-lagi), tentang milih cowok.  Gini deh ya, bukan cuma tentang cowok. Kadang kita udah kepalang berekspektasi dan meminta berlebihan tentang suatu hal, dan, bakal jatuh kecewa karena ekspektasi kita itu nggak ada, nggak kesampaian. Bersiap kecewa bersedih tanpa kata-kata, kata Goenawan Mohamad.

Ya. Ekspektasi terbaik adalah bersiap dengan yang terburuk.

Bersiapkah kita dengan penolakan. Bersiapkah kita akan sebuah kekurangan. Bersiapkah kita akan sebuah nilai B dan bukan A. Bersiapkah kita jika tak lagi kebagian. Bersiapkah kita ketika mendapatkan pembimbing skripsi yang paling di hindari. Bersiapkah kita akan kenyataan-kenyataan kecil bahwa, kita akan kecewa. Maka bersiaplah.

Dan, hei. Apakah kita tahu siapa kita? Apakah kamu sadar, bahwa tidak ada yang memperhatikan kamu ketika kamu berjalan? Apakah dosen kamu sadar kalau kamu sebenarnya ahli desain? Apakah mereka tahu siapa kita? Tidak. Jawabannya adalah tidak. Kemungkinan besar tidak. Jadi, tunjukan. Ketika kita siap dengan yang terburuk. Maka kita harus tahu siapa diri kita dan tunjukan siapa diri kita.

Pada dasarnya, kita tahu diri, untuk mengukur siapa diri kita. Untuk kemudian meminta, apa yang kita ingini untuk kita dapatkan. Seberapa jauh dan cepat kamu akan berlari, jika kakimu terluka? Maka kamu akan memilih untuk berjalan saja bukan?

“Jadi, mau cowok yang seperti siapa?”. “Yang kayak Afgan.”

3 comments:

  1. Wew.. memang pinter nulis ternyata. Enak bacanya.

    ReplyDelete
  2. tengkiu..tengkiu...

    baca terus ya masbro...

    hahaha... banyak hal kecil yang patut kita pikirkan bersama... mar bercerita...:D :D

    ReplyDelete
  3. Bwaahahaha... teteup ya ujung-ujungnya AFGAN!

    Sebenernya wajar siy klo umur di 20an kita pengen cowok yg selain ganteng juga pinter. Karena kita terlanjur didoktrin bahwa cowok ideal itu ya semacam Rangga AADC. Begitupun sebaliknya, kaum lelaki menganggap cewek ideal itu ya Dian Sastro.

    Kita cenderung mengharap sesuatu yg "ready to wear". Sayangnya, Tuhan memang gak akan LANGSUNG ngasih kita co/pasangan yg sempurna. Bahkan pun ketika kita punya cowok yg pinter lagi tampan. Pasti akan ada hal yg kita keluhkan, misal sikap.

    Itulah knp kita mesti belajar satu teori lagi. Yaitu TEORI PENERIMAAN. Belajar menerima kekurangan orang lain, dan menemukan cara tuk memoles kekurangannya.

    Seperti kata mbak AE, tiap orang itu berkembang. "Kadang kita dapat mentahnya, tapi berpotensi untuk matang bersama-sama."

    *opooo iki?!"

    ReplyDelete