Sunday, August 14, 2011

...those places

“All that noise, and all that sound
All those places I got found”
(Speed of Sound – Coldplay)
Maka kamu akan sampai pada satu tempat, dimana kamu siap dengan segalanya. Kamu siap ketika harus kehilangan, tak mendapatkannya kembali, dan kamu juga siap untuk memilikinya, menjaga, dan memiliki selamanya. Ketika kamu sampai di tempat itu, itulah ketika kamu bisa bersikap. Kamu lebih dewasa. Kamu siap.
Itu kata seorang teman. Tentang berbagai hal. Tentang berbagai keputusan. Tentang mimpi. Tentang cita-cita. Tentang cinta. Tentang belajar. Tentang semuanya.
Saya sudah sampai di tempat itu. Mari kita amini. Saya sudah sampai di titik itu. Saya sudah sampai pada pemahaman kecil bahwa, saya harus bergerak dan sadar dengan apa yang akan saya lakukan.
Misal gini, saya kulian, saya sendiri yang memilih saya mau kulian di jurusan seperti apa, saya sendiri yang dari kecil mau jadi apa. Maka sekarang saya juga yang harus memilih, saya mau apa setelah ini. Barangkali kita akan teringat sedikit keinginan orang tua untuk ini atau untuk itu, tapi percayalah, tidak ada yang lebih membahagiakan bagi mereka, selain kita bahagia. Dan suatu hari kita akan kembali pada mereka dan bilang, “Hei, Mah, benar kan, saya tidak akan mengecewakan.”
Maka ketika sekarang, misal saya bimbang antara harus menjadi apa dan seperti apa, saya harus mengambil sikap. Dan itu berarti saya akan mendapatkan satu hal, sekaligus kehilangan hal lain. Dan saya, juga kita semua, rasa-rasanya memang harus siap. Dan lebih siap. Ingat, nyatanya, kita tidak pernah selamanya memiliki semuanya. Barangkali di waktu-waktu ini adalah masa transisi ketika saya, dan beberapa teman ternyata juga mengalami, ketika kita harus berani mengambil keputusan.
Ini obrolan sedikit serius. Pertanyaan dari teman saya, “Di, jika, kamu nanti jadi seorang wartawan. Dan kamu pada akhirnya menikah. Suamimu ingin kamu ada untuk keluarga, setidaknya kamu tidak menjadi wartawan yang hampir seharian di luar. Apa yang akan kamu lakukan?” Dulu, mungkin saya akan menjawab, bahwa, “Oh, suami saya nanti harus ini, harus itu, harus ini, harus itu. Harus.” Tapi saya tidak mencerna kalimat itu dengan baik, karena itu bertanya tentang saya. Bukan tentang suami saya, yang entah siapa nantinya.
Pertanyaan itu ditujukan pada saya, dan sayalah pengambil keputusan. Dan percayalah, saya sudah punya jawaban untuk pertanyaan itu, dan saya bisa menjawab pertanyaan teman saya kemarin sore itu. Saya bisa menjawab dengan cukup bijak dan masuk akal. Setidaknya, teman saya yang notabene seorang laki-laki itu, merasa cukup fair dengan ke-patriarki-annya. Haih, bukan saya harus feminis radikal dan membenci patriarki, tapi kadang, dalam beberapa hal, hubungan laki-laki – perempuan itu harus dijaga biar seimbang.
Dan sore ini. Seperti sore-sore lain dalam beberapa hari ini. Dari hasil banyak bicara dengan teman-teman, sedikit doa, baca dan mikir, serta lebih banyak tidur, saya semakin yakin dengan apa yang akan saya lakukan. Maka saya keinget ucapan teman saya yang lain itu, bahwa suatu saat nanti, seseorang akan sampai di satu tempat, ketika dia yakin. Untuk kemudian tersesat, dan kemudian bisa sampai lagi.
Sama seperti ketika saya, melihat seseorang tersenyum dan tertawa buat saya. Lalu saya merasa bahagia. Dan saya pengennya dia terus kayak gitu buat saya. Lalu saya keingat teman saya yang bilang, “Mungkin kamu hebat, kamu bisa meninggalkan orang lain. Tapi yang lebih kasihan itu kamu. Mereka bisa move on, mereka baik-baik saja tanpa kamu. Tapi kamu, kamu menunggu orang yang sama sekali tidak tahu sedang kamu tunggu.” Nah loh? “Kamu itu nggak bisa move on. Kamu itu diam disitu. Nggak harus teriak dan mengejar. Tapi kamu harus move-on”. Saya melihat senyum itu masih sama seperti saya menyadarinya bahwa senyum itu cukup berarti buat hidup saya sejak beberapa waktu lalu. Tapi di saat yang sama, saya juga menjadi siap, saya siap tidak mendapatkan dan merasakannya, dan saya siap untuk mendapatkannya selama selagi saya bisa mendapatkan dan merasakannya. Sekaligus teringat teman saya yang lain, pada satu malam, dia masih bisa bilang, “Kalau suka sama orang, kejar”. Saya yang nggak nyangka dia bakal ngomong kayak gitu, dan saya cuma bisa diam. Saya lupa ngomong apa, tapi kayaknya saya bilang, “Iya kok, kita kejar-kejaran,”. Aih, angkot kali.
Saya kira, ketika kita sampai di tempat itu. Adalah ketika hal-hal kompleks yang tak perfikirkan sebelumnya menjadi terpikirkan.
Seperti saya juga sampai pada kesadaran, bahwa saya (orang tua saya) juga bukan orang kaya yang akan bisa mencukupi tujuh keturunan dengan kekayaan. Tapi ibu saya selalu berucap, bahwa saya harus banyak belajar untuk mendapatkan apa yang saya mau, karena ilmu akan lebih kaya dari apapun. Atau ketika ayah saya mengajari saya untuk mandiri dengan caranya sendiri, meskipun saya perempuan. Atau ketika pada akhirnya saya tahu, mereka mempersiapkan saya untuk nantinya berjalan sendiri tanpa mereka, tentu saja saya berontak. Tapi, nyatanya, untuk saat ini mereka membimbing saya dengan benar. Tentu kami bukan keluarga yang sempurna, tapi dari ketidaksempurnaan itu saya menjadi semakin sadar, saya harus berbuat apa. Saya harus menuju sesuatu.
Atau ketika saya memilih belajar, maka saya harus menyelesaikannya. Atau ketika saya memilih untuk beragama, maka saya harus mempunyai iman, yah, walaupun untuk urusan ini entahlah sekali. Atau ketika saya memilih untuk mempunyai teman, maka saya harus berbuat sebaik-baiknya seorang teman kepada temannya yang lain, meskipun seringkali ada saja yang tidak mengenakan dan tidak bisa menyenangkan semua.
Dan, barangkali kita semua juga sudah sampai di tempat itu. Dan saya hanya terlambat datang. God. Damn!
Kenapa saya nggak ngrasa kayak gini dari dulu? Entahlah. Cuma Tuhan yang tahu.
Mungkin benar. Cinta, cita-cita, mimpi itu kayak angkot. Kadang kita harus menunggunya, tapi penuh. Kita bisa naik, tapi kita bisa aja kesasar. Sampai menemukan angkot yang tepat dan mengantar kita ke tempat yang benar.
Tapi satu yang pasti. Sejauh apapun kita berjalan dan tersesat. Kita akan sampai di satu tempat ketika kita siap dengan segalanya. Siap mendapatkannya, atau tidak sama sekali.
Apapun itu.

No comments:

Post a Comment