Tuesday, April 10, 2012

...ketika, film bicara film


“Ketika kita menyadari eksistensinya, film sudah lama menjadi kebutuhan kita yang utama.” (Jean-Paul Sartre)

Saya marah pada Martin Scorsese. Bagaimana tidak, dia berhasil membodohi saya, atau sebut saya yang lalu menjadi tidak terima karena menjadi merasa sangat bodoh, setelah selesai melihat “Shutter Island”. Iya, saya baru menonton film rilisan 2010 malam kemarin, dan sangat marah karena tidak terima dengan pencucian pikiran yang juga berhasil Scorsese lakukan pada saya. Saya kehilangan orientasi atas realitas tokoh Teddy si polisi yang kemudian sempat mengaku menjadi Andrew yang menembak mati istrinya.

Ini hanya permulaan, bagaimana praktik menonton film menjadi begitu serius hingga membuat saya marah dan diam bodoh cukup lama. Bertanya pada diri sendiri tentang bagaimana saya menginterpretasikan pesan yang saya terima. Ketika itu, film tidak hanya sekedar rangkaian gambar bergerak dan bercerita selama beberapa menit yang menyengankan, ia menjadi semacam realitas yang harus saya ketahui cerita sebenarnya agar saya tidak kebingungan. Walaupun kebingungan semacam itu pada akhirnya adalah sebuah rasa salut tersendiri pada Scorsese.

Inilah titik dimana eksistensi film berhasil mengambil sebagian ingatan kita untuk menyimpannya, tidak sekedar menontonnya. Apalagi di tengah begitu banyaknya judul film panjang dan serbuan film amat pendek dalam bentuk iklan.

Menonton film kemudian menjadi kegiatan melihat kembali penafsiran realitas ke dalam pita seluloid dalam kacamata orang lain, sutradara, penulis naskah, kameramen, dan editor (screenplay). Kenapa “penafsiran realitas”, karena, seringnya, ide yang tertuang adalah apa yang sebenar-benarnya terjadi atau terpikirkan dari ide awal cerita. Maka sebuah film itu fiksi, science fiction, atau apalah, sebutlah itu setengah fiksi jika itu diangkat dari sebuah kisah nyata, tapi yang jelas, film bukanlah realitas yang sebenarnya. Namun demikian, kita tetap bisa menonton realitas yang ada, realitas dari kacamata yang berbeda.

Seperti ketika mencoba mengerti penafsiran realitas yang dilakukan dua film yang kebetulan sama-sama bercerita tentang sepenggal kisah tentang sejarah film itu sendiri, “The Artist” dan “Hugo”.

The Artist

Hugo

Saya teringat bagaimana laporan satu harian nasional tentang cara pintar Mark Bridges menata kostum Peppy Miller (Berenice Bejjo) dalam “The Artist”. Karena ini adalah film hitam-putih, maka ia tidak bisa menggunakan pakaian warna-warni indah yang bisa saja menjadi ikon jika itu adalah seri film “Sex and The City”. Kemudian dia mengakalinya dengan detail yang akan menunjukan metamorfosis Miller sebagai gadis biasa menjadi bintang melalui ruffles, kilau batuan, bulu, dan aksesoris gemerlap.

Saya kemudian membayangkan, jika “The Artist” benar-benar dibuat pada tahun 1927, sepertinya ini adalah hanya sekedar film dengan cerita happy ending. Untungnya ini adalah film tahun 2011, ketika semua orang (termasuk saya, mungkin) semakin mencintai film digital dengan efek fantastis, atau entahlah, karena saya sebenarnya bukan penggemar fanatik film. Menjadikan kita kembali merasakan sensasi menonton film bisu dalam versi yang lebih hidup dan bercerita. “The Artist” memberikan “penafsiran realitas” sejelas-jelasnya tentang metamorfosis versi film yang kita tonton sekarang, sebuah pengalaman audio-visual, melalui kacamata Michael Hazanaficius.

Bagaimana tetap saja ada yang (sempat) terkalahkan ketika film menemukan bentuk barunya menjadi gambar bergerak dan bersuara. Hal tersebut tergambarkan jelas dari karakter Goerge Valentin (Jean Dujardin), sang bintang film “bisu” yang kehilangan segalanya ketika ia menolak untuk mengikuti perkembangan film itu sendiri. Sementara pemenangnya adalah Peppy Miller, si junior penggemar Goerge Valentin yang menjadi bintang baru dan mendapatkan semua yang pernah dimiliki Valentin. Di sisi lain, realitas bentukannya adalah ketika film menjadi lebih menarik karena ia tak lagi bisu.

Maka “The Artist” pun terasa memiliki pesannya sendiri. Bahwa, di era ketika penonton bisa merasakan apa yang terlihat dalam film dengan kacamata 3D (walaupun saya belum pernah mencobanya, cupu!), mampu menarik hati dan menyimpan sedikit tentangnya. Film bisu di masa 3D. Sebuah sensasi sekaligus cara untuk mengingatkan kembali tentang eksistensi.

Sensasi untuk mencoba menebak perasaan yang sempat diungkapkan Sartre tentang film-film di masa kecilnya, ketika film menjadi hiburan yang lebih egaliter di masyarakat Prancis awal abad 20-an. “Di atas segalanya, aku menyukai kebisuan tak tersembuhkan dari tokoh-tokoh favoritku. Atau lebih tepat, tidak: mereka tidak bisa, sebab mereka tahu harus berbuat apa untuk dimengerti orang lain. Kami berkomunikasi melalui musik, yang merupakan bunyi batin tokoh-tokoh itu.”

Nyatanya saya tidak bosan melihat sekitar sembilan puluh menit film hitam putih nan bisu itu sambil mencoba mengerti, dahulu, dahulu sekali, sekelompok orang menciptakan film dan secara serius memikirkan keberlanjutannya dari pada menciptakan alat peledak baru. Bersyukurlah saya yang kini bisa bebas men-copy film dengan flashdisk (*ups) dan sesekali (sesekali) ke bioskop, atau bahkan mengarang-ngarang cerita dan sok-sokan membuat film.

Eksistensi film lebih personal dan lebih mendalam lagi ditampilkan dalam “Hugo”.

Adrian Jonathan Pasaribu, seorang penulis dalam salah satu situs film (yang oke menurut saya), menulis bahwa: “Sinema adalah medium artifisial yang tunduk pada keinginan operatornya, dan artifisialitas medium film inilah yang ditekankan Scorsese dalam Hugo.” “Hugo” sebagai film menjadi pesan itu sendiri, tentang eksistensi film sebagai dunia artifisial. Atau kalau saya tadi mengoceh tentang “penafsiran realitas” (bdw, serius saya nggak berpegang buku, kalau nggak setuju atau saya keliru, ingatkan saya yuk aja mari).

Saya sendiri agak terkecoh dengan film fantasi yang dikomentari sinis oleh Si Potter, karena “Hugo” menang  Oscar, dan Daniel Radchliffe beranggapan bahwa hanya film fantasi garapan Martin Scorsese (dia lagi!) yang bisa masuk Oscar. Atau emang saya aja yang agak terlambat ketika memahami film. Karena saya menanyakan, adakah di masa itu sudah ada robot?

Ketika merawat si automaton, Hugo hidup di Paris era 40-an, yang berarti si automaton dibuat beberapa puluh tahun sebelumnya, atau ketika Georges Méliès membuat “A Trip to The Moon” di tahun 1902, yang ternyata menjadi pesan dari automaton. Lalu bukankah Méliès seperti halnya Lumière bersaudara juga menjadi salah satu yang mengawali sejarah film itu sendiri. Lumière mendokumentasikan realitas dari perjalanan kereta dalam sinema, Méliès menciptakan dunianya sendiri, sebuah dunia dengan karakter fantasi yang berkembang dari realitas pikirannya, perjalanan ke bulan itu salah satunya. Meskipun perjalanan ke bulan syukurnya terjadi beberapa dekade sesudahnya, tapi sepertinya cerita tentang alien masih berada di titik semu antara ide dan realitas.

Tentu saja saya awalnya mengira “Hugo” akan hanya bercerita tentang si bocah yatim-piatu dan jam-jam besar di Paris. Tanpa mengira bahwa ia akan mengajak kita mencari tahu tentang ayahnya yang berujung pada sepenggal cerita tentang sejarah film dan segala eksistensinya. Film bagi almarhum ayah Hugo, dimana ia merupakan salah satu generasi pertama penikmat film. Film bagi Hugo akan kenangan tentang ayahnya, dimana ia selalu menonton film bersama ayahnya. Film bagi George Méliès sebagai sebuah cinta yang berujung keputusasaan dan sakit hati. Tentang seluloid film yang dijadikan bahan untuk membuat hak sepatu pasca PD I (serius, ini menyedihkan). Tentang mereka semua dalam film ini, yang pada akhirnya tersatukan melalui film. Dan, terlebih lagi, tentang penonton film yang tanpa sadar sudah menjadikan film sebagai kebutuhan. Seperti halnya pemulas bibir dan bedak bagi seorang perempuan, kebutuhan yang terbentuk entah karena apa, atau bisa jadi, terbentuk dengan terlalu banyak alasan.

Jika “The Artist” mengajak mencoba sensasi dalam salah satu loncatan dalam sejarah film, “Hugo” terang-terangan mengajak kita mencari awal esensial tujuan kenapa film dibuat, yaitu untuk menciptakan realitasnya sendiri, realitas dalam film. Kesamaanya, dua-duanya mengajak menikmati sensasi mencari realitas dalam sejarah film itu sendiri, meskipun, tentu saja, belum tamat di detik akhir kedua film ini.

Begitulah. Inilah cerocos dari orang yang selalu telat nonton film karena pelit mengeluarkan uang untuk menonton bioskop lalu tergerak ingin menulis tentang film karena kalimat Sartre di atas. Terlepas dari keduanya sebagai pemenang Oscar tahun ini.

Beruntunglah yang masih sempat menonton film.

Terimakasih untuk Bang Bokir, aka, Ajik, atas puluhan film barunya. Saya jadi punya kegiatan berarti sambil makan pagi.

2 comments:

  1. jujur, belum pernah nonton The Artist dan Hugo, apalagi baca karyanya Sartre.
    tp, penasaran ma dua film tersebut. karena 2 orang temanku dengan sangat kritis mengomentari 2 film tersebut. jd tidak heran jika akhirny muncul pertanyaan di dalam benak, 'seperti apa sih film tersebut?"

    ReplyDelete
    Replies
    1. wah, berati ni yah, kamu harus nonton mas... :)

      Delete