Sunday, April 8, 2012

...mr. right


Sebelum menemukan seorang Mr. Right, seorang perempuan akan menumakan banyak Mr. Wrong.

Perpisahan, bisa jadi menyenangkan dan atau agak menyedihkan. Tapi yang pasti, membawa pada satu perubahan. Kenangan, instropeksi, dan melakukan sesuatu yang lebih baik, atau sebaliknya, lebih buruk. Dengan satu harapan baru, menemukan mr.-mr. selanjutnya, atau sebaliknya juga, terdiam dan ketakutan untuk membuka diri lagi.

Atau justru Mr. Right datang di saat tidak tepat. Menggoncang sesuatu yang sebelumnya sudah kita anggap stabil. Kemudian menjadi tidak stabil. Karena kemudian tidak bisa menerima yang kurang (padahal sebelumnya kita anggap biasa), lalu menganggap kita perlu menggantinya dengan yang lebih baik (padahal belum tentu baik).

Tapi, hei, bukankah itu siklus? Semacam pencarian.

Sampai akhirnya, pada satu waktu, seorang perempuan akan bertemu Mr. Right yang bisa membuat seorang perempuan kembali jatuh cinta dan menemukan “apa” yang dicarinya. Yang menjadikannya kembali percaya kalau cinta itu ada, yang memberikan kenyamanan, yang memberi jawaban, yang menyeimbangkan.

Seperti Elizabeth Gilbert bertemu Fillipe dalam “Eat, Pray, Love”. Seperti Izzie Stephen mencintai Donny Duquette bahkan hingga Donny meninggal dalam “Greys Anatomy”. Seperti Vicky dan Cristina menganggap Juan Antonio sebagai laki-laki yang mengetuk perasaan mereka dalam “Vicky, Cristina Barcelona”. Atau Holly bertemu William, dalam “PS. I Love You”.
Apa kesamaannya?

Satu, Mr. Right mereka adalah Javier Bardem.

Entah kebetulan, entah tidak. Satu minggu ini, saya melihat film dengan Javier Bardem sebagai seorang Mr. Right. Muncul di akhir, memberi harapan dan kebahagiaan bagi perempuan-perempuan itu.

Seorang laki-laki yang, tidak bisa didefinisikan dengan kata-kata, yasudahlah, pokoknya Mr. Right aja.

Hanya kebetulan saja sebenarnya ketika saya menonton kembali “Eat, Pray, Love” karena waktu itu kebetulan sedang menginap di tempat teman, dan kita menonton itu. Tapi, pesona Javier Bardem sebagai sosok sempurna sebagai jawaban atas pencarian Julia Robert memang bisa dibilang, terlalu sempurna. Bagaimana tidak, bagaimana bisa, dan kenapa bisa begitu? Apakah hal itu juga yang didapatkan Elizabeth Gilbert dalam pencariannya yang sebenarnya?

Saya mempertanyakan pertanyaan ini setelah selesai menonton film yang juga diproduseri Brad Pitt itu. Si Gilbert itu bukannya masih hidup sampai sekarang? Bagaimana jika dalam dua atau tiga tahun ke depan dia merasakan kekosongan yang sama seperti yang dia rasakan dengan mantan suaminya, dan mengharuskan dia untuk melakukan perjalanan ulang lagi? Tapi ini hanya pertanyaan bodoh saya saja.

Karena sesungguhnya film adalah ruang imaji yang dibuat sedemikian rupa, melampaui realitas yang sesungguhunya. Saya nggak bisa mencantumkan sumber, saya percaya ada seseorang yang menyatakan kalimat saya sebelumnya, tapi saya juga tidak yakin siapa yang mengatakannya.

Selanjutnya, Javier Bardem dalam “Vicky, Cristina Barcelona”. Saya menontonnya kembali dalam rangka ingin menonton film-film Woody Allen. Kembali lagi, Javier Bardem, lengkap, berdampingan dengan sang istri, Penelope Cruz, yang juga berperan sebagai mantan istri dengan hubungan cinta agak absurd. Kembali dia menjadi the Mr. Right, menjawab pertanyaan Scarlett Johansson dan memberi sedikit sensasi bagi Rebecca Hall selama perjalanan mereka di Barcelona. Ya, meskipun agak tidak begitu right, karena toh pada akhirnya, ketiga perempuan itu juga pada akhirnya meninggalkannya.

Kenapa Javier Bardem?

Apakah karena dia seorang latin? (kenapa saya rasis?)

Tentu kita agak ingat bahwa citra pria latin itu seksi dan romantis.

Kenapa saya mempertanyakan ini? Karena saya agak sebal. Karena saya sebal, kenapa Javier Bardem hanya keluar di saat akhir film? Dia tidak mengikuti ketegangan dan alur permasalahan dari karakter Liz. Dia muncul begitu saja ke depan Vicky dan Cristina, tapi dia masih sempat memuja-muja mantan istrinya yang agak nyentrik, Maria Elena.

Dalam “Eat, Pray, Love” dia hanya sekedar penyelesaian. Sekedar muncul sebagai semacam peredam konflik yang juga datang dengan semacam masalahnya sendiri, rasa sakit hati karena percerainnya. Apakah seorang Mr. Right muncul tiba-tiba seperti itu?

Untungnya, dalam “Vicky, Cristina Barcelona” dia hanya menjadi Mr. Right yang tidak sempurna. Meskpiun alurnya hampir sama, dia memberi semacam jawaban bagi Vicky dan Cristina, tapi tidak kemudian dia menjadi “the answer”. Dia datang sebagai “trouble maker”. Orang yang telihat melengkapi tapi sesungguhnya jauh dari sempurna, seperti, semacam dia tidak memiliki semua yang tidak kita inginkan tapi juga tidak memiliki sesuatu yang kita inginkan. Memporak-porandakan dan memberi permasalahan baru bagi hidup Vicky dan Cristina, walaupun di akhir cerita, kedunya menganggap bahwa semua yang terjadi di Barcelona, termasuk karakter Juan Antonio ini hanya bagian yang harus mereka lupakan selamanya, sekaligus mereka ingat diam-diam. Tentu kita percaya dengan Woody Allen dan kisah-kisah tak terduganya.

Dan Javier Bardem layak menjadi Mr. Right, setidaknya dalam dua film itu.  Karena, tanpa senapan atau harus bisa terbang, dia mampu memberi jawaban pada perempuan-perempuan yang mencari jawaban.

Tapi saya kira bukan hanya itu jawabannya, karena entah mengapa, Javier Bardem memang begitu right sebagai seorang Mr. Right. Ingat “Love in the Time of Cholera”? Meskipun agak naif, tapi dia menunggu Giovanna Mezzogiorno sejak mereka remaja hingga menjadi seorang nenek tua. That’s a real Mr. Right, right? Someone who in love with same person, all the time.

Mungkin hanya Penelope Cruz yang tau bagaimana Javier Bardem sebenarnya.

Apakah ada yang merasa salah dengan tulisan saya di awal paragraf? (kalau ada orang lain yang baca?)

Harusnya sadar, tapi boleh juga enggak. Tapi saya akan membenarkannya sekarang.

Tadinya saya mau bilang bahwa William dalam “PS. I Love You” juga sama mempesonanya, begitupun Donny Duquette dalam serial “Greys Anatomy”, lalu saya akan memuji-muji Javier Bardem sedemikan rupa. Tapi mohon maaf, karena hanya memperhatikan wajah tanpa memperhatikan credit tittle, ternyata mereka bukan Javier Bardem, mereka adalah Jeffrey Dean Morgan. Husialalalalaaaa…
Javier Bardem
Jeffrey Dean Morgan

Sialnya, muka mereka mirip sekali.

2 comments:

  1. pertama baca judulnya, aku kira Mr. Right itu seseorang yg beneran ada di dunia nyata. tetapi setelah dibaca sampai akhir, ternyata Mr. Right yg dmaksud di sini adalah tokoh fiktif dlam film ya. hehe

    ReplyDelete
    Replies
    1. iyaaa...
      hhha, habisnya si Javier Bardem jadi mr. right di akhir film terus... :D

      Delete