Thursday, April 28, 2011

...sisa



“Ingin benar hati saya berkenalan dengan seorang ‘anak gadis modern’, gadis yang berani, yang sanggup tegak sendiri, gadis yang saya sukai dengan hati jantung saya, anak gadis yang melalui jalan hidupnya dengan langkah yang tangkas, dengan riang suka hati, tetap gembira dan asyik, yang berdaya upaya bukan hanya untuk keselamatan bahagia dirinya sendiri saja, melainkan juga untuk masyarakat yang luas besar itu, yang ikhtiarnyapun akan membawakan bahagia kepada banyak sesamanya manusia… (Surat R.A. Kartini kepada Nona Zeehandelaar, Jepara, 25 Mei 1899)

Lebih dari satu abad lalu seorang perempuan golongan atas Jawa menuliskan kegelisahan tersebut pada seorang nona Belanda. Di masa kini, barangkali telah banyak ‘anak gadis modern’ yang Ia ingin kenal. Bahkan di tanah kelahirannya yang tak berkembang menjadi kota besar.
Dari mana saya (kita) mendapatkan ide tentang emansipasi? Dari guru di sekolah, dari ayah-ibu, dari buku-buku, atau dari media yang ‘heboh’ memperbincangkannya di tiap momen tertentu? Sebagian mungkin akan menjawab dari Kartini, siapa Kartini? Lalu terdiam sebentar. Apa yang Ia cita-citakan atas emansipasi? Apa yang Ia inginkan untuk perempuan setelahnya? Mari kita bicarakan bersama.
Emansipasi ditangkap oleh saya dan sebagian lainnya adalah ketika perempuan mempunyai kedudukan dan hak sama seperti laki-laki. Pada kala itu, Kartini mempermasalahkan keterbatasan perempuan akan pendidikan dan kedudukan dalam masyarakat. Sekarang ini, sudah tidak terhitung banyaknya perempuan di Indonesia mempunyai gelar profesor dan doktoral (meskipun secara kuantitatif masih kalah dengan laki-laki). Atau program sepertiga anggota dewan merupakan perempuan.
Adapula pengertian, emansipasi yaitu saat perempuan mampu melakukan pekerjaan laki-laki. Kalau demikian, sebelum adanya Kartini emansipasi yang demikan ini tentunya sudah ada. Lupakan sejenak perkara dokter, bupati, atau bepergian tanpa ajudan. Lihatlah perempuan yang turun ke medan perang (Cut Nyak Dhien) atau perempuan yang mencangkul, turut mengangkat kayu, mencari batu kali. Bahkan hingga kini perempuan yang bekerja di sektor marjinal masih banyak. Tapi terasa luput dari semangat emansipasi. Atau hanya karena mereka tak banyak bicara bahkan tak tahu tentang apa itu emansipasi? Bukankah itu pekerjaan laki-laki yang sesungguhnya?
Citra perempuan
Seorang perempuan masuk lift, disampingnya berdiri pria yang OK (dalam segala hal: tampan, atletis, terlihat baik dan kaya). Perempuan itu tersenyum, pria itu seakan tidak melihatnya. Selanjutnya, perempuan itu memakai krim sebuah produk kecantikan. Tujuh hari kemudian, perempuan dan pria itu berada dalam satu lift lagi, dan ajaib. Si perempuan yang  pura-pura cuek justru disapa terlebih dahulu oleh si pria. Dan si pria (terlihat) sungguh terpesona pada si perempuan.
Atau bagaiamana seorang pemain band terkenal begitu terperdaya oleh sorang perempuan karena aroma badannya. Perempuan dalam iklan-iklan tersebut dapat dilihat dari dua sisi, pertama, perempuan begitu mengikuti keinginan pria, sehingga ia harus merubah dirinya hanya untuk menarik perhatian si pria. Dalam kehidupan nyata, ini wajar. Di jaman siapapun, di masa siapapun. Bahkan untuk pria yang ingin menarik perhatian perempuan. Hanya saja dalam iklan, kekuatan sebuah produk tertentu tak terhindarkan untuk membentuk sebuah citra. Hanya perempuan yang memakai produk-produk itu (putih, tinggi, langsing, berambut panjang, wangi, dll) yang akan menaklukan pria.
Kedua, perempuan di media menunjukan bahwa perempuan mempunyai kekuatannya sendiri. Kekuatan alamiah itu. Kekuatan yang mungkin tak disadari dan harus ditunjukkan. Era 80-an, ketika foto Madonna untuk sebuah majalah dengan pandangan mata menantang lensa kamera dianggap menajdi momen bahwa tak akan selamanya perempuan menjadi makhluk lemah, terutama ditengah otoritas pria.
Emansipasi perempuan
Pada suatu saat, ada penghargaan kepada beberapa  perempuan atas semangatnya. Mereka adalah perempuan yang dianggap hebat (Kartini Masa Kini). Pendiri dan membesarkan sebuah perusahaan besar, pemilik jaringan media, desainer, penyanyi, dosen, praktisi, dan lain sebagainya. Barangkali mereka mewakili “anak gadis modern” angan-angan Kartini.
Pada suatu pagi, seorang teman merasa bahwa apa yang kita lakukan untuk “merayakan” semangat Kartini sekarang ini adalah (kurang lebih) keliru. Hanya menambah dosa Kartini, katanya. Saya tidak bisa mengerti, kenapa harus membawa dosa. Apa karena simbolisasi yang terlihat hanya itu-itu saja. Kebaya, berkain jarik, bersanggul? Apa karena alasan itu. Lalu saya pikir, Ia lupa akan semangatnya. Barangkali karena Ia bukan seorang perempuan.
Bagi saya, tidak penting siapa itu Kartini atau siapapun. Karena itu hanya masalah waktu dan kebutuhan. Seperti Soekarno, Sjahrir, dan teman-temannya yang dididik dengan cara Belanda dan pandai hingga mempunyai gagasan tentang bangsa dan negara. Begitupun Kartini, yang mungkin kalau saat itu dia tak ada. Pasti akan ada perempuan lain entah siapa yang sepemikiran dengannya. Karena ini adalah sebuah perubahan. Termasuk penyikapannya untuk masa sekarang. Dimana kajian perempuan (feminisme) berkembang sedemikian rupa mengangkat hak-hak perempuan. Bukankah yang terpenting adalah semangat menjadi perempuan “berharga”.
Mungkin masih banyak pandangan tentang perempuan, baik keberadaannya dalam media ataupun dunia nyata. Dari berbagai sudut pandang mungkin? Sialahkan saja.
Pada dasarnya, mengutip semangat Girl Power dari Spice Girl, “We all admire strong and independent. But I’m a romantic: I like a man who open a door for me, takes me out a dinner, buys me flower. I like man to treat women like women, and I think many other women to do”. Semua wanita di belahan bumi menginginkan penghargaan setinggi-tingginya sebagai perempuan dan kesempatan untuk menunjukan kekuatannya. Dan Kartini melihat “anak gadis modern” ada dimana-mana seperti keinginannya.[]

No comments:

Post a Comment