Thursday, April 28, 2011

... impressing

“Youre (look) not impressing me today” – My ex-boyfriend
Should I impressing you? Not.
Saya rada males dan emosi deh kalau ada orang yang sok tau tentang saya, dan dia salah. Tolong ya. Apalagi dibumbui semacam judgement, seolah dia tahu segalanya tentang saya. Bilang saya nggak seru lagi, tapi tadi itu saya malas, makanya saya diam. Saya setuju jika pada sebuah hubungan yang pernah sangat buruk, perlu untuk diperbaiki. Maka dari itu, setelah obrolan cukup serius beberapa waktu lalu. Saya berdamai dengan perasaan saya sendiri, saya berteman kembali dengan mantan pacar tiga tahun lalu.
Nyatanya, setelah hampir tiga tahunan tidak pernah berkomunikasi, banyak hal berubah. Saya dan dia. Dan sepertinya ada yang salah dengan pertemuan saya dengan dia. Saya si tahu benar teman saya yang satu itu ahli banget kalau disuruh menilai penampilan orang. Dimulai dari tentang sepatu. Tentang pakaian. Tentang cowok melambai. Tentang make-up. Dan terakhir, tentang penampilan saya.
Oke, baiklah, saya adalah orang yang sangat percaya bahwa, “berpakaianlah senyaman mungkin dan sesuaikan kebutuhan”. Saya merasa tidak perlu untuk dress-up atau ber-make-up ria hanya untuk membeli tinta ke mall. Oke. Jadi, jangan salahkan saya kalau saya memakai celana jins, kaos, cardigan, menentang tas kanvas kecil, dan sandal teplek. Saya tidak perlu bertematis ria, mau retrolah, mau futuristiklah, etniklah, atau kejawen.
Apa karena saya tanya, “Kok aneh si, pilihanmu sepatu warna-warni gitu?”, waktu dia memilih sepatu. Ya gimana dong, semangat Coco Channel tentang something classic and everlasting sudah tertanam di benak saya. Jadi, kalau kamu cowok dan mencari sepatu, mau sneaker ya Converse, Vans, Airwalk, atau Macbeth dengan warna dominan hitam, cokelat, tanpa banyak motif-motif aneh.
Eh, malah dia mempertanyakan tentang style saya. He said about, being someone who will be following by other people. Kalau kata saya sih, I don’t need follower. Buat apa? Buat nunjukin kalau saya itu fashionable? Saya nggak fashioanable kok. “Terus, kalau misal kamu suka sepatu klasik kayak gitu, ya kamu pake baju klasik juga, rok hippies juga,” kata dia. Tentang fashion dari masa ke masa. Tentang how to dress-up. Tentang how to impresseing people. Tentang how to impressing him. Saya yang masih senyum-senyum nglihatin dia pasti langsung beku mukanya waktu dia ngomong gitu. Saya tanya, “For what? For what, I have to impressing you?”.
Saya tahu benar jika apa yang dipakai seseorang itu sesungguhnya mencerminkan siapa orang itu, atau setidaknya, seperti apa orang itu ingin dilihat. Tapi gini deh, kalau saya memaksakan diri harus terlihat, misal, retro atau fashionable itu, sementara saya sendiri ngrasa nggak butuh itu, bukankah itu sama dengan membohongi diri saya sendiri? Akhirnya, semangat fashion and me (identity)-nya hilang dong. Karena tidak berkarakter itu tadi. Karena mencoba menjadi yang lain. Dan saya kira itu nggak harus seperti itu.
Di akhir kalimat yang begitu panjang, saya bilang, skripsi saya tentang fashion. Semakin bersalah lah saya di mata dia. Karena bagi dia, sekali lagi, saya nggak fashionable. Okelah saya nggak fashionable, tapi apa salah kalau saya ambil tema tentang fashion. Karena saya sadar benar, bahwa to be called fashionable is nothing for me. Saya sudah bilang, saya berpakaian senyaman mungkin dan menyesuaikan kebutuhan. Misal, kalau saya sedang nggak enak badan, saya akan pakai jaket tebal di dalam kuliah sekalipun, karena saya butuh kehangatan.
Panjang lagi. Lalu saya tutup. “Karena saya tahu, maka saya nggak perlu menjadi fashionable. Kamu tahu, fashion is about system, how clothes made till you wear it. But style is about statements to show it, personal. Don’t make a judgement”. Selesai.
Satu yang pasti, he doesn’t learn about his fault before. Me too.[]

No comments:

Post a Comment