Sunday, April 10, 2011

...lupa

Barangkali kalimat sakti bin ajaib itu bisa menyelesaikan segala masalah.

Ditanya dosen, “kenapa belum mengerjakan tugas?”. Lupa. Ditanya teman, “eh, mana, bajuku dibawa?”. Aduh, lupa. Ditanya ibu, “nduk, kue pesenan ibu nggak lupa kan?”. Wah, lupa bu. Selesai sudah perkara.

Iya si, bukan selesai dalam artian semuanya selesai. Karena efek-efek setelahnya itu justru yang paling heboh. Mungkin bakal sebel, sesebel-sebelnya. Karena biasanya, sebelum kejadian lupa itu, ada pesan yang disampaikan berulang-ulang, agar tidak lupa. 

Selesainya masalah karena kata “lupa”, adalah, yaudah si, lha wong lupa. Lupa loh. Beneran lupa. Yang berarti tidak ingat. Benar-benar tidak ingat. Tahu bahwa itu tidak mungkin bisa diselesaikan karena ada momen yang terlewat. Momen apa, yaitu momen mengingat sebelum lupa.

Parahnya lagi, sudah sadar lupa, masih heboh menggerutu dan menyumpah-serapah. Seringkali pada diri sendiri. Ya, pada siapa lagi. Mau menyumpah serapah oranglain? Tidak mungkin dong. Pun itu kita yang dirugikan, pasti akan lebih memilih diam dalam menghadapi kata lupa. Kecuali tiba-tiba ayah kita lupa mengakakui kita sebagai anaknya, dan tidak mengirim uang bulanan.

Seperti saya tadi malam yang melupakan barang yang baru saya beli di foodcourt pusat perbelanjaan. Sudah dari lama niat ingin membeli itu barang. E, sudah dibeli. Malah ketinggalan. Meskipun sempat dicari, berarti ada usaha. Tetep aja, kenapa ketinggalan? Lupa jawabannya.

Menggerutu tidak ada hasilnya, walaupun dihati eneknya minta ampun. Sampai pada satu titik saya sadar, kata lupa tidak menjawab semuanya. Walaupun dibilang lupa itu wajar. Lupa itu manusiawi. Tapi membuat semuanya semakin buruk. Toh yang sering lupa itu diri kita sendiri.

Jangan pernah lupa . Kalau ingat dan tidak lupa [lagi] tentunya.

No comments:

Post a Comment