Saturday, May 26, 2012

...mode-jalanan [] street-fashion


Terbayangkan?

Seseorang melintas di jalur pedestrian sebuah kota klasik dengan gedung berdinding batu peninggalan abad pertengahan sementara salju turun perlahan, memandang kaca jendela berpigura tinggi dimana di dalamnya sebuah bar memanjang dan beberapa orang bercakap sambil memagang segelas besar bir berwarna cokelat segar, di sebelahnya lagi berjejer rapi meja bulat dengan kursi-kursi kecil mengelilingi dan dua sejolo tua menghirup kopi ditemani sepotong tiramisu cake, sementara taksi-taksi kuning bergerak pelan mengikuti rambu lalu lintas, dan di seberang sana segerombolan anak muda berkostum warna-warni menyerupai tokoh dunia fantasi.

Di manakah?

Ya.



Itu random. Sambil membayangkan jalanan di kota Paris, London, Milan, New York, dan Tokyo. Ketika seorang biasa saja, bukan selebritas, bukan sosialita yang sering masuk majalah gaya hidup, tertangkap kamera dengan pakaian uniknya. Tak perlu embel-embel merek-merek tertentu, tak perlu harga-harga tertentu, tapi tetap memikat mata. Tidak seperti photo-spread yang memang menggunakan model dan diarahkan oleh seorang stylist, karakter si pemakai justru lebih terpancar kuat diatara bebat pakaian yang dipakainya. Menjadi diri sendiri? Barangkali. Atau mungkin, si penangkap gambar ingin bicara pada dunia, “everybody is stuning”, “everybody is a fashionista”, sambil memicingkan senyuman lurus nan dingin pada Anna Wintour. Mengacungkan jari tengah dan tersenyum manis sekaligus pada tatanan mode yang telah terlanjur mapan.

Saya teringat Bill Cunningham, seorang veteran yang kemudian menjadi pewarta foto dan digelari sebagai New York’s Kings of Street Style. Awalnya, ia adalah seorang reporter biasa, sebelum akhirnya ia tertarik mengambil fashion photo di jalanan New York sejak lima puluhan tahun lalu. Pria kelahiran tahun 1929 ini begitu identik dengan sepeda yang setia dikayuhnya dan kameranya ini biasa mengabadikan gaya para pejalan di seputar kawasan elit Manhattan. Ada anekdot, bahwa para the newyorker ini sengaja tampil semenarik mungkin demi tertangkap kameranya. Wauw!

Barangkali, sebelum street fashion se-mendunia sekarang, dialah orang yang pertama kali menemukan keasikan mengamati pakaian orang-orang yang dilihat di jalanan.

Lalu, saya tertarik ketika memasuki sebuah situs pamer-foto street fashion internasional dan menemukan opsi “JAKARTA” di antara Amsterdam, Berlin, Buenos Aries, Chicago, Los Angeles, Zurich, Sao Paulo dan beberapa kota lainnya. Walaupun font hurufnya tak sebesar London dan empat kota yang sudah saya sebutkan sebelumnya, saya cukup terkejut dan sedikit senang.

Tapi sayang. Jikalah street fashion misal kita artikan secara harfiah bahwa mereka adalah para pejalan yang benar-benar tertangkap kamera sedang berjalan kaki di trotoar, maka para street-fashion Jakarta ini adalah mereka yang sedang bergaya di depan wall of fame sebuah acara atau mall. Oke, saya emang belum baca lebih banyak dan lebih serius, tapi rasanya saya kurang puas, karena fotonya juga Cuma beberapa puluh. Dibandingkan dengan gambar-gambar dari beberapa negara lain yang memang benar-benar sedang berada di jalan, Oxford Street London, Fifth Avenue NY, atau Harajuku Street Tokyo.

Alasannya sebenernya sederhana, jalanan kota kita tentu bukan ‘catwalk’ nyaman bagi para fashionista, street-fashion-addict yang senang jalan kaki sekalipun. Tapi hasilnya, kita boleh bangga pada para street-fashion yang tertangkap kamera ini. Meski saya yakin sebenarnya mereka juga paham merek dan baca majalah mode, tapi gaya mereka berkarakter.

Terlepas dari itu semua, bukankah style itu milik setiap pribadi dan harus diapresiasi. Yah, inilah apresiasinya.

No comments:

Post a Comment