Friday, May 4, 2012

...solo, oooo, solooo... #4



Saya nggak tahu pasti tentang kerusuhan di Solo dua hari ini, seperti diberitakan di sini dan di sini. Saya hanya mengikuti dari berita di media, media online khususnya. Banyak spekulasi muncul, banyak cerita muncul juga. dari tentang black campaign untuk menjatuhkan pamor Jokowi, walikota Solo yang bersiap mengikuti pemilu gubernur DKI Jakarta, hingga mencoba berkaca dari masa lalu dan melihat kegelisahan yang (barangkali) masih ada, seperti catatan panjang di sini.

Tapi, bagi saya, seorang anak kost yang sempat belajar dan tinggal di Solo hanya kurang dari lima tahun, Solo adalah salah satu kota yang nyaman. Meskipun saya hampir menangis ketika satu waktu satu jalur dengan kelompok suporter sepak bola, meskipun kadang benci menunggu angkot terlalu lama, dan sempat merasa bingung dengan banyaknya jalan searah. Tapi bukankah di setiap kota memang selalu ada suporter sepak bola yang banyak, atau saya saja yang memang selalu grogi kalau naik kendaraan sendiri di jalan yang ramai. Bukankah lebih banyak kota yang hampir kehilangan peminat menaiki angkutan kota, beruntung Solo memiliki banyak pilihan, walaupun armadanya sedikit. Atau jalan searah Slamet Riyadi itu sebenarnya cukup efektif, mendekatkan ke berbagai lokasi, kata Bre Redana, itu adalah salah satu pertanda kota direncanakan sebagai kota yang baik, seperti Fifth Avenue di New York. 

Dan, sekali lagi. Saya mau bilang, Solo tetaplah kota yang nyaman. Dan, tentu saja, pasti akan lebih nyaman jika tidak ada orang yang semakin banyak semakin saling menyalahkan. Ketika kita saling menyalahkan, takutnya akan menimbulkan dendam-dendam yang terpendam. Aih, bukankah itu tidak nyaman. Sederhananya mungkin, em, kayak musuhan sama mantan. Sebenarnya sudah tidak punya masalah lagi, bisa hidup dengan damai sendiri-sendiri tanpa saling mencampuri, tapi mencari-cari masalah baru dan saling menyalahkan. Itu agak kekanak-kanakan, kawan.

Dan, ya, pada satu waktu saya pernah menulis bahwa ada beberapa filosofi yang begitu melekat dengan Solo dari dulu. Tentu kita semua tahu, jauh berabad-abad lalu, Solo itu adalah kota dagang dan sekaligus pusat pemerintahan, sejak dulu, duluuuuuu, duluuuuu. Banyak orang telah hidup damai berdampingan, dari bermacam latar belakang etnis, agama, dan budaya. Gayeng, guyon, guyub, dan gotongroyong. Bayangkan, indah bukan? :)
"As governmental and commercial city, there live different ethnic and cultural. Gayeng, guyon, guyub, and gotongroyong are anecdotes to describes Solo’s society or wong Solo. Gayeng is a character to describe kindness, guyon to shows natural humor side, guyub to describe peaceful and friendly, and gotongroyong is shows togetherness. Those philosophies are shape into their everyday life.

2 comments:

  1. wise words my friend.. wise words..
    setuju dengan posting di atas..
    semoga Solo akan senatiasa damai. meski terkadang ada percikan2 kecil seperti kejadian kemarin sore, namun semoga ke depannya Solo bakal aman dan terkendali lagi..

    ReplyDelete