Sunday, May 27, 2012

…before [20] after


Melihat adik terkecil saya, si Lulu yang baru berusia tujuh tahun dengan riang meminta gendong pada bapak dan lalu menjadi semakin riang ketika bapak pura-pura merasa keberatan dan tidak kuat, sehingga berpolah seakan terpleset membawa ingatan saya pada masa kecil saya.

Ketika saya masihlah si kecil berponi lurus yang jatuh tepat di garis alis, si gupis yang selalu minta gendong dan senang bukan main jika minum susu, makan donat, oreo, dan taro. Jika ibu ibarat seorang peri yang baik hati, maka ayah adalah superhero yang akan melindungi saya. Pun ketika saya punya seorang adik ketika usia saya sekitar empat tahun, kami tumbuh besar bersama. Menaiki motor Suzuki entah tipe apa, dengan tangki warna oranye,  dengan bapak di tengah, adik saya di depan, saya membonceng di belakang, kami memancing bersama. Pun ketika bermain-main dan meminta gendong, saya memeluk erat di punggung, adik saya menggantung erat di dada bapak.

Hingga kami tumbuh besar.

Bahkan adik jauh lebih tinggi dan besar dari bapak. Tentu kami tak akan berani meminta gendong seperti sepuluh tahunan lalu lagi. Mungkin saya tidak pernah melakukannya lagi setelah masuk SMP, dan tidak akan pernah lagi. Perasaan bukan lagi sebagai anak-anak memaksa saya meninggalkan hal-hal menyenangkan semacam itu, tapi tanpa sadar saya masih saja mengingkarinya dengan sikap manja yang mungkin belum hilang hingga sekarang. Manja ala anak yang sok-sokan menjadi remaja dan dewasa.

Akhirnya saya memahami kenapa ibu dan bapak tidak mempermasalahkan, justru tampak senang bukan main, ketika saya masuk SMA dan ibu hamil adik kedua saya. Alasannya, “Kalau nanti kamu dan adikmu sekolah atau kerja jauh dari rumah, ibu dan bapak masih punya teman.”

Mereka benar. Selama hampir lima tahun ini saya harus tinggal di Solo, konstan saya harus tak lagi tinggal dengan mereka. Tak terasa namun nyata, adik saya pun sepertinya tengah bersiap meninggalkan rumah, kalau-kalau dia harus belajar jauh dari rumah.

Kami senang, masih akan ada Lulu yang merajuk minta serutan baru karena serutan lamanya tumpul, dan dia hanya mau jika membeli serutannya bersama bapak. Lulu yang kadang menemani bapak tertidur di depan televisi. Lulu yang akan menemani mamah arisan atau menikmati sore, jikalah si bapak belum pulang.

Bahkan, melihatnya tumbuh besar seperti melihat diri saya sendiri menjadi besar. Mamah yang diam lalu mulai mengomel tentang makanan kalau-kalau Lulu mulai tidak mau makan adalah hal yang sama seperti yang saya terima ketika saya juga ogah makan. Mengajak gosok gigi, pipis, dan cuci kaki sebelum tidur. Membiasakan menabung setengah uang saku sekolah untuk jajan di hari minggu. Lebih senang membaca buku cerita daripada belajar buku-buku lainnya, serta mulai senang berkhayal lalu menuliskan petualangan-petualangan aneh. Dan, tentu saja, malas belajar mengaji bersama si mbah putri. Hhaaa.

Hanya sedikit hal yang bisa saya ingat dari masa-masa silam. Hanya sekilas-sekilas seperti mimpi hingga ternyata saya sudah setua ini. Sangat jauh lebih tua dari adik terakhir saya, tentu saja. Dan, mungkin, besok, saya ingin mengingatkan Lulu untuk menikmati masa kanak-kanaknya sesenang-senangnya…

Sebelum dia mengenal yang namanya tuntutan dan tanggungjawab pada orang lain dengan ribuan karakter yang kadang tak bisa kita mengerti juga. Sebelum mulai terbuai mimpi dan berusaha mati-matian mengejarnya namun kadang kita harus menerima kenyataan bahwa kita gagal. Sebelum mengenal pria, jatuh cinta dan lalu patah hati, jatuh cinta lagi, patah hati lagi, dan jatuh cinta lagiiii. Sebelum akhirnya meninggalkan rumah, dan hanya memiliki sedikit waktu untuk merasakan lagi apa yang ia bisa nikmati hari ini.

Ketika semua hal menjadi begitu menyenangkan. Ketika dia menerima banyak kebahagiaan, karena dia juga telah memberikan kebahagiaan yang sama untuk semua orang. Ketika gigi gupis justru terlihat manis. Bahkan, ketika ngompol setiap hari pun hanya sebuah hal biasa seperti halnya ganti baju dan mengganti seprai-nya…

Dan tentu saja, kini. Ketika saya tiba-tiba merasakan adanya perbedaan yang saya alami dari waktu ke waktu. Bahkan kadang terasa sangat drastis. Bahkan ada garis batas yang terasa sangaaat panjang antara saya ketika sebelum dan sesudah dua puluh tahun, yang entah menjadi lebih baik atau sebaliknya. Antara lebih bahagia atau sebaliknya. Antara lebih bodoh atau sebaliknya. Saya tidak lagi memiliki waktu selebar Lulu untuk berbagi banyak hal di sini.

Sepertinya saya memiliki tugas dan tanggungjawab lain, yang entah apa.

Untuk membagi kebahagiaan lain, yang entah apa juga. Dan, diam-diam, lebih sibuk untuk memikirkan diri sendiri dan mengejar yang katanya mimpi.

Dan, saya, sudah tidak boleh pipis di celana.

3 comments:

  1. satu kata yg pas untuk postingan ini: mengharukan..
    entah kenapa, cerita tentang masa lalu, tentang masa kanak2 seperti ini mampu membuat haru pembacanya..
    apalagi ditambah dengan backsound yang sesuai saat membacanya.. haha

    yup, dewasa berarti memiliki tanggung jawab yang lebih daripada anak kecil. namun menjadi dewasa bukan berarti kehilangan sifat kanak-kanak. lebih dari itu, orang dewasa yang tidak membuang sepenuhnya sifat anak kecil, akan memiliki visi dan kreatifitas yg lebih dibanding mereka2 yg membuang jauh2 sifat2 anak kecil di dalam diri mereka.

    mungkin seperti kata Picasso, bahwa semua anak kecil adalah artist (bukan aktor/aktris lho). namun problem yg sering terjadi adalah, menjaga sisi ke'artist'an mereka saat beranjak dewasa.

    jadi tidak ada salahnya untuk tetap menjaga sisi2 anak kecil dalam diri kita (yang positif tentu saja. dan tidak mengompol di celana).

    ReplyDelete
  2. wah, padahal niatnya bukan untuk mengajak terharu loh mas... :))

    hhi, pura-pura dewasa. sampe sekarang saya lebih senang nulis petualangan anak-anak daripada kisah cinta orang dewasa loh... hhaaaa...
    salah satu hal agar tetap menikmati kebahagiaan yang beda. :)

    pipis di celana. tentu udah nggak boleh. kalau minjam liriknya Zeke Khaseli, "pipis di celana rasanya" ibaratnya itu orang gede yang malah melakukan hal memalukan. rasanya kayak pipis di celana, padahal udah gede. :))

    ReplyDelete
  3. haha.. ternyata ada juga tho lirik yg bawa-bawa pipis di celana..

    hmm.. penulis kisah cerita juga ternyta Diah ini.. boleh juga nih dibaca kisahnya..

    ReplyDelete