Monday, May 7, 2012

...ayam kluyuk dan tawa Bu Botak



“Loh sini, katanya mau lihat buat ayam kluyuknya…,” panggil Bu Botak pada saya yang malah meninggalkannya di depan penggorengan dan kembali ke meja. Lalu saya kembali berdiri di sampingnya, mendengarkan dengan seksama rahasia kekenyalan ayam kluyuknya yang terkenal itu, yang favorit saya juga.

Ayam kluyuk, salah satu menu andalan di warung Pak Botak ini, adalah potongan ayam yang digoreng dengan tepung hingga kenyal dan matang, lalu disiram kuah bersayur. Kuahnya manis gurih dengan warna merah kecokelatan, hasil kombinasi saus dan kecap saat dimasak. Ah, apa yah, saya menyebutnya enak, hampir sama dengan kuah bestik jawa, lengkap dengan sayuran seperti sawi hijau, irisan wortel dan potongan jagung muda. Hampir sama dengan capcai, tapi tanpa kubis dan sawi putih dan tidak terlalu cair. Nah, kuah kental ini disiramkan di atas irisan ayam tepung yang sudah digoreng garing itu tadi. Rasanya? Seperti sudah saya bilang tadi, rasanya enak dan nikmat. Apalagi jika kamu adalah penggemar sayur dan tidak terlalu menyukai ayam atau daging, tapi juga pengen sesekali memakannya tanpa terganggu perasaan tidak enak.

Tentang ayamnya, jangan bayangkan ayam bertepung nan krispi seperti KFC. Justru ini yang unik, tepungnya tidak terlalu tebal membungkus potongan daging, tidak kasar, garing tapi tidak terlalu krispi, kalau kata saya kombinasi tepung dan daging ini matang sempurna. Tidak alot, tidak terlalu kering, dan tentu saja, tidak gosong.

Ini dia, saya tadi baru saja mendapatkan rahasianya.

Untuk mendapatkan hasil akhir yang pas itu, Bu Botak tidak menggunakan tepung terigu dan air dalam membuat adonan. Dengan senyum mengembang riang, setelah sebelumnya bercanda, “Wah, ndak boleh lihat mbak, ntar jadi tahu…”, akhirnya ia membocorkan rahasianya pada saya. Resepnya adalah, ia menggunakan tepung mayzena dan telur untuk membuat adonan. Meyzena digunakan agar adonan lembut dan menyatu, dan untuk semakin melengketkan daging dengan tepung, maka digunakanlah telur. Aih, pantas saja, tepungnya tidak keras dan pulen.

Pertama, daging ayam yang sepertinya telah dibumbu (ini saya belum gabung), terus ditaburi tepung mayzena, baru telur. Setelah itu adonan diaduk dengan tangan sebelum satu persatu potongan daging dimasukan ke wajan dan dipilah satu persatu dengan tangan juga. Oiya, minyaknya  juga harus panas dan banyak, biar nggak gosong dan bantet. “Besok kalau di rumah coba buat sendiri ya mbak,” pesan ibu yang sebagian rambutnya sudah memutih itu. Saya tertawa dan mengiyakan.

Lalu Bu Botak memelankan suaranya, “Maaf pesenannya agak lama ya mbak, ini sekarang yang masak anaknya bapak. Jadi nggak secepat bapak kalau masak,” katanya. “Iya Ibu, nggak papa, udah nggak banyak yang antri kok bu…,” jawab saya santai, masih mengamati Bu Botak bersiap menggoreng adonan.

Ahhh, iya, Pak Botak, si empunya warung aneka nasi goreng, bakmi, capcai, dan lain-lain khas masakan yang dimasak dengan api besar ini (saya nggak tahu istilahnya, mungkin chinesse food, karena ada macam paklay, fu yung hai, ifu mie, gitu-gitu), kini sudah berada di sisi-Nya untuk selama-lamanya. Pak Botak, pria paruh baya dengan kumis yang sebagian memutih dan kepalanya yang botak itu meninggal beberapa bulan lalu, saya lupa tepatnya, sekitar bulan Februari sepertinya.

Saya yakin ribuan anak kost atau mahasiswa UNS kenal betul siapa Pak Botak, dulu warungnya di daerah Kabut, gang gerbang belakang UNS lurus dan turun sedikit ke bagian bawah, sejak setahunan ini warungnya di Pasar Panggungrejo gang Surya belakang kecamatan, masih daerah belakang kampus tapi di gang yang berbeda, dan lebih dekat dengan kost saya. Saya sendiri menyukai ayam kluyuk-nya yang menurut saya paling enak dari warung-warung sejenis yang saya tahu atau yang berada di sekitar kampus dan kost-kostan. Dulu harganya 9.000, sekarang 13.000, karena ukurannya yang sangat besar, sering saya memesannya setengah. Pembelian setengah hanya boleh kalau dimakan di tempat, bukan untuk dibungkus, dan dikenakan tambahan harga 1.000, untuk “kluyuk satu dibagi dua, dan nasi dua”. Jadi, intinya, kita tetep beli satu, tapi bisalah dong yah, kalau makannya berdua atau ramai-ramai.

Pak Botak meninggal pada satu siang setelah berbelanja dan menyiapkan sayuran untuk siap-siap ke warung. Ia terkena serangan jantung mendadak, meninggal setelah kerokan katanya. Saya mengetahui ceritanya dari Pak Dalang, bapak penjual di warung HIK di depan warung Pak Botak beberapa hari setelah beliau meninggal. Saya sendiri mendengar kabar meninggalnya dari TL twiter, waktu itu sore habis Maghrib, kebetulan saya berencana membeli capcai di tempat Pak Botak, lalu ke minimarket memberi beberapa barang. Saat saya membuka twitter, salah satu teman sekelas ng-tweet tetnang turut berduka cita atas meninggalnya Pak Botak dan dia pasti akan merindukan nasi gorengnya. Sore itu saya masih belum yakin, tapi kemudian percaya ketika membuktikan sendiri bahwa kompleks warung kebetulan sepi,  “Ya, sepertinya beritanya benar.”

Percakapan tentang masakan dan cara memasak ayam kluyuk antara saya dan Bu Botak terhenti sebentar. Mungkin saya kagok, karena tiba-tiba ibu membahas tentang Pak Botak. Sambil mengamati caranya menggoreng, saya kembali memulai percakapan. “Bapak sudah seratus hari belum yah Bu?” tanya saya, mengingat angka seratus hari cukup berarti bagi orang Jawa kebanyakan. “Belum mbak, tanggal 9 bulan depan mbak. Lama ya mbak ya…” jawabnya. Sebelum ia lalu bercerita panjang tentang anaknya yang kini menggantikannya.

***

Ibarat sebuah grup band, formasinya seperti ini, si bapak memegang kendali alat penggorengan, bumbu, dan memasaknya dalam tempo yang begitu cepat; si ibu meracik dan menyiapkan aneka rupa bahan sesuai menu pesanan, dari sayur, nasi, sosis, daging, dan lainnya ke dalam piring plastik warna-warni lalu mendekatkannya pada si bapak; dan si anak, kita biasa memanggil “mbaknya”, menerima pesanan, mengingat dengan detail, mengantarkannya, menerima pembayaran, dan melayani segala keinginan kita, mulai dari minta kecap, minta sambal, tambah es, atau macam capcai-tanpa-kubis-dan-sawi putih-wortelnya dibanyakin-pedes-dibagi dua-bungkus-tinggal dulu-ya mbak.

Selepas tiadanya Pak Botak dalam formasi trio itu, warung beberapa hari tutup. Tapi, ternyata, setelah masa berduka sekitar satu minggu atau sepuluh harian, warung kembali buka. Asyik. Ah, tentu, pasti Bu Botak sadar, anak-anak kost merindukannya.  Kali ini, posisi chef dipegang oleh seorang laki-laki yang jauh lebih muda dari bapak, kurus, tinggi, dan selalu memakai tutup kepala semacam topi rajut. Ya, ternyata ia anak dari Pak dan Bu Botak. Ya, barangkali si anak ini memang belum secepat sang ayah dalam memainkan penggorengan dan memasak berbagai macam menunya. Tapi, percayalah, saya masih mendapatkan rasa Ayam Kluyuk yang sama (oke, jadi saya seringnya makan ayam kluyuk dan capcai di warung ini, jadi saya hanya bisa memberikan komentar tentang menu itu).

Tadi saya datang agak malam, sekitar jam delapanan, pesan makanan lalu saya tinggal sebentar. Waktu pertama saya datang, warung masih sangat ramai. Waktu saya datang kembali, tidak terlalu banyak antrian, kebetulan kluyuk sedang habis dan si ibu bersiap membuat adonan baru, makanya saya berani ikut nimbrung dan bercakap cukup panjang.

“Ada atau nggak ada bapak mbak, awalnya beda, tapi akhirnya sama saja kok mbak,” lanjutnya.

Ia bercerita tentang warungnya yang tetap ramai, meskipun beberapa pelanggan sempat kaget dan belum tahu perkara meninggalnya Pak Botak. Ah, iyalah, rasanya memang enak kok, pikir saya. Terus ia bercerita mengenai kesehariannya, selepas membuka warung hingga tengah malam ia beristirahat, lalu menyiapkan bahan-bahan dan bumbu untuk sore harinya, dan sore sekitar jam setengah lima, ia menyiapkan warungnya, karena jam limaan pelanggan sudah mulai berdatangan hingga masa paling ramai adalah selepas maghrib hingga sekitar jam delapanan. Pertama-tama biasanya didominasi pelanggan perempuan, dan ketika lebih malam kebanyakan anak laki-laki.

Kemudian ibu juga bercerita tentang tidak adanya bapak dalam kesehariannya lagi. Sepertinya ia sudah terbiasa tanpa Pak Botak, suaminya. “Dulu itu kalau siang Bapak mancing mbak, terus sore sampai malam di warung,” Bu Botak terus bercerita sambil menunggu ayam kluyuknya matang. “Udah ikhlas dan biasa ya bu,” kata saya, agak bingung harus menjawab apa sebenarnya. “Iya dong mbak, yo harus to…” jawabnya sambil tersenyum lebar. Aih, ini dia, senyum Bu Botak. Senyumnya menghilangkan rasa kikuk saya, karena sesungguhnya saya tidak menyangka ia akan banyak bercerita tentang Pak Botak.

Lalu ayam kluyuk di wajan mulai naik ke bagian atas minyak, tandanya sudah matang. Saya meninggalkan Bu Botak dan kembali ke meja bersama teman saya. Saya senang melihat Bu Botak tertawa. Saya juga senang melihat Mbaknya terlihat tertawa melayani beberapa orang yang baru datang. Lalu anak lelakinya kembali menguasai penggorengan dan mematikan rokoknya, menyiapkan menu berikutnya, ayam kluyuk pedas satu bagi dua pesanan saya.

Bagi saya, tawa Bu Botak itu perkara langka.

Bukan, Bu Botak, yang entah siapa nama aslinya karena saya lupa bertanya, bukan orang galak dan pemurung, bukan. Tanpa mengurangi rasa hormat dan salut saya pada almarhum Pak Botak, tapi ia dahulu agak galak ketika memasak. Tak jarang, beliau sering berbicara agak setengah teriak, “Sue men (lama sekali)” dan jarang membagi senyum pada istri dan anaknya. Oke, ini hanya apa yang saya lihat, terlebih ketika pelanggan sedang banyak-banyaknya. Itu semua dilakukannya tentu untuk para pelanggan. “Mereka sudah lapar, kita harus menyiapkan makanannya tanpa mengulur lebih banyak waktu lagi,” barangkali itu yang ada di pikiran Pak Botak. Karena tak jarang ia melempar guyonan pada para pelanggan. Sayangnya, saat itu, jarang sekali saya melihat tawa, apalagi senyum, di muka Bu Botak dan mbaknya. Muka mereka tegang.

Dan kini, tawanya tak berhenti menyambut setiap pelanggan yang datang. Bahkan ia membocorkan rahasianya pada saya. Penggemar ayam kluyuk yang baru tahu kalau ayam kluyuknya dibuat dari tepung mayzena (dan kini, saya membocorkannya pada kalian semua).

Saya yakin, Bu Botak berduka atas meninggalnya Pak Botak. Seperti saya juga yakin, pasti ia menghormati Pak Botak, terbukti ketika ia membuka obrolan tentang Pak Botak, ia meminta maaf ketika ternyata pesanan saya belum siap, karena anaknya belum bisa memasak secepat bapaknya. Sekaligus saya melihat kekuatan pada diri perempuan yang selalu mencepol rambutnya ini. Semangat yang sama pada diri Pak Botak di masa hidupnya. Semangat untuk terus melayani pelanggan-pelanggannya. Kalau bukan karena semangat itu, saya yakin ia tidak lagi meneruskan warungnya, karena mungkin ia tidak terlalu kuat untuk memutar wajannya yang berat dan besar itu.

Kini, formasi warung mereka kembali lengkap, meskipun tanpa Pak Botak dan handuk putih yang selalu setia di pundaknya. Pak Botak kini tengah bersantai di warung barunya bersama-Nya, ah, mungkin juga masih gemar memukulkan penggorengannya. Hanya fotonya yang terus mengamati warung kecilnya itu di atas daftar menu yang dipajang memanjang di tembok bagian belakang. Kali-kali anaknya lupa mengecilkan api, ia mungkin akan membantu mengingatkan. Dan, ya, melihat tawa riang sang istri menyambut pelanggan, tentunya. Tawanya yang menyenangkan, dan, mengenyangkan.

Itulah barangkali alasan kenapa banyak pemilik atau semacam chef tempat makan tetap eksis hingga berumur senja, karena adanya semangat atau spirit dari orang tersebut. Dan, di warung Pak Botak yang sederhana, semangat itu sepertinya tak hilang begitu saja dengan meninggalnya beliau, tapi juga muncul dari semangat sang istri, Bu Botak. Barangkali, semangat itulah yang kemudian menyatu dengan aroma dan rasa masakannya. Ah, atau mungkin, barangkali, itulah cinta. Tidak hanya cinta antara mereka berdua dan keluarganya. Tetapi juga cinta kepada para pelanggannya, termasuk saya.   

Ah, iya, Rabu malam besok warung tutup, karena tetangga Bu Botak mantenan, ia akan turut rewang di mantenan itu. Oia, tadi saya diundang mampir ke rumahnya di dekat warung lamanya, kalau saja saya mau belajar memasak dan meracik bumbu-bumbu menunya. Asyik…

No comments:

Post a Comment