Saturday, May 26, 2012

...analisis isi [] analisis diri


Tentang peran diri dalam sebuah relasi.



Tentang beberapa hal yang terasa janggal, namun diam-diam diamini. Tentang adat yang terasa menyekat dan berat namun terus melekat. Tentang banyak kesalahpahaman yang kadang perlu penjelasan panjang namun seakan tak ada yang mau mendengarkan. Tentang kendali diri dan kembali pada diri. Untuk bersiap dan bersikap sekaligus.

Seperti kebetulan yang terencana, beruntun beberapa hal agak mengajak diam. Barangkali tidak perlu diobrolkan karena memang demikian adanya. Tapi melihat sesuatu yang kecil daripada berkutat tentang banyak hal yang besar kadang lebih menyenangkan. Seperti kolase yang dari kejauhan membentuk gambar jelas, ketimbang dilihat dari dekat. Kita akan pahami maknanya setelah mengupumpulkan yang kecil, menyatukannya, dan kemudian menarik garis makna dari tiap kepingnya.

***

Pagi tadi, ada satu re-tweet menarik sekali.

Ini dia: “wadon sempurna kuwe ora matre, ora manja, ora seneng belanja, ora ana” (perempuan sempurna itu tidak matre, tidak manja, tidak senang belanja, tidak ada).

Saya retweet balik. Ada saya dan satu teman perempuan lain. Lalu, si pe-retweet pertama, yang notabene adalah seorang kawan laki-laki, me-mention kami, sederhana saja, “uhuk…”, menggoda. Ah, iya, tentu saja ini hanya sebatas tweet-tweet biasa, sebagaimana kami juga saling mengenal baik dan biasa bercanda.

Tapi sebentar, karena saya membalas twit tadi dengan kalimat ini: “makanya perempuan itu g sempurna sebelum disempurnakan laki-laki njul... :)))))))”. Kalimat ini bisa menjadi sangat multi-makna. Selain memang dalam sistem kita, laki-laki itu ya pasangannya perempuan. Oke, kecuali mereka yang memilih korelasi hubungan sejenis.

Dalam konteks tadi, kata “sempurna” itu merujuk pada seorang perempuan yang tidak matre, tidak manja, dan tidak senang belanja. Tapi dalam pikiran saya, maka tugas laki-lakilah menyempurnakan seorang perempuan: untuk memberikannya kebutuhan materi, memanjakan, dan terimalah bahwa perempuan sepertinya memang selalu suka belanja.

Sementara twit pertama yang saya tidak tahu, si admin itu perempuan atau laki-laki (tapi sepertinya laki-laki), mengajak keberatan. Seakan-akan, dia menginkan gambaran perempuan seperti itu, tapi ternyata, tidak ada.

---

Ah, jadi untuk apa menggugat yang memang sudah ditahu. Bukan dalam hal negatif yah.

Saya kira, kenapa perempuan senang belanja, itu karena memang naluriah karena harus terbiasa memilih yang terbaik. Makanya, biasanya, pengurus pasti menempati posisi “yang harus berbelanja memenuhi barang-barang kebutuhan”. Dalam beberapa hal, perempuan tahu mana yang lebih baik dan sesuai kebtuhan.

Tentang relasi antara perempuan dan laki-laki yang agak kejam adalah sebenarnya. Apalagi teringat cerita salah satu teman yang masih dalam garis keturunan orang asli Bali. Tentang adat setempat yang menempatkanperempuan dalam posisi lemah, sementara laki-laki menjadi seakan bebas tanggungjawab. Seakan terbolak-balik, di sini, laki-laki tak lagi menjadi pelindung yang lahir secara alami.

Apakah saya membela-bela perempuan, tentu saja, saya perempuan. Tapi saya tentu bukan ahli dalam hal feminisme, saya tidak sekeren itu, tentu saja. Tapi pada akhirnya, saya percaya tiap orang punya hak atas dirinya sendiri. Untuk menentukan sikap dan berbuat.

Terlepas anggapan wajar dan apa adanya, kadang memang ada perempuan yang sangat minus, begitupun laki-laki amat minus. Bahkan dalam diri, kita tetaplah seperti baterai dengan dua kutub, negatif dan positif. Nah, inilah pada akhirnya kekuatan kita untuk menentukan peran diri dalam sebuah relasi.

Saya perempuan macam apa sih? Apa yang harus dilakukan dalam kondisi tertentu. Meski kadang tak selamanya dianggap baiiiik oleh semua. Kita punya kendali diri. Apalagi jika ternyata kita masih hidup dalam lingkaran dengan adat-kebiasaan yang begitu kuat, sementara di sisi lain kita telah menceburkan diri sebagai masyarakat dunia yang (merasa) bebas, dilematis sana-sini.

Bahkan kadang saya takut bicara karena bisa saja saya malah pada satu saat nanti, dengan kebutuhan tertentu, justru harus melakukan sesuatu yang sebelumnya saya anggap keliru.

Tentu saja kita tidak ada yang sempurna.

Tapi bukankah kita selalu punya kesempatan untuk memperbaiki.

Diri.

No comments:

Post a Comment