Thursday, September 8, 2011

...seandainya


Seandainya, surat pertamanya saya buka dua minggu lalu. Mungkin ceritanya akan berbeda dari delapan bulan lalu. Dan ada cerita berbeda pula dengan hidup saya yang sedikit konyol ini. Tapi, kita seharusnya tidak pernah bicara tentang “seandainya”.

Ini yang ingin saya jawab, untuk menjawab pertanyaan seorang teman tentang, kenapa saya tidak bersama dengan kawannya. Tapi saya tidak mungkin menjawab ini dengan mulut saya sendiri. Entahlah, saya nggak ingin memberi kata-kata konyol dan harapan konyol lagi sekarang. Sama seperti saya sudah kapok dengan aturan-aturan konyol yang pernah saya buat, dan nyatanya menambah konyol hidup saya.

Bukannya harusnya semua menjadi biasa saja yah. Sama seperti menjadi biasa sajanya, ketika kamu bicara tentang menjadi ikhlas, dan kemudian emang menjadi sangat biasa saja. Ya karena ikhlas itu, karena logowo itu. Pada akhirnya emang benar-benar bisa jadi legowo dan bersikap biasa saja dan tenang. Dan, yah, harusnya semua orang bisa.

Kayak ibu saya bilang barusan, “Udah, jangan pernah bilang ‘seandainya-seandainya’ terus. Orang masih muda kok. Selesaikan yang ada di depanmu. Orang hidup itu ada tahapannya sendiri-sendiri kok.”

Jadi, mari kita hilangkan kata, “seandainya”. Khususnya untuk masalah cita, dan cinta. Hmm…

No comments:

Post a Comment