Friday, September 30, 2011

...the one?


Waktu itu hampir tengah malam, salah seorang teman terbaik saya, dia menangis sesenggukan di kamar saya. Ada yang benar-benar mengganjal tentang hubungannya dengan laki-laki(nya). Saya nggak pinter masalah hubungan laki-laki – perempuan. Saya juga tidak pandai berkata-kata bijak. Tapi waktu itu saya bilang semacam ini, “Mungkin kita nggak akan masalah dengan hubungan macam apa pun. Kita udah gede lah, harusnya udah bisa mikir bijak buat menghormati hubungan-hubungan kayak gini. Tapi, sadar nggak sih, dalam konteks hubungan macam apa pun, mau pacaran lah, mau enggak lah, mau langsung nikah aja lah, bahkan cuma gebetan, kita pengennya cuma ada kita seorang. We just wanna be the one.

Dan anehnya, teman saya itu ngebenerin kalimat saya. Diantara sesenggukannya, dia iya-iya-iya aja. Dan, kayaknya emang benar kalimat saya itu. Dalam hubungan kayak gitu, siapa sih yang mau diduain? Kok rasanya naif sekali. Kok rasanya ajaib sekali.

Eh, catetan aja si yah, maksudnya yang udah ada komitmen di antara keduanya loh yah. Kalau perkara kita suka sama orang, terus orang itu nggak suka sama kita, tapi suka sama orang lain, yaudah, sana, suka aja sama orang lain. Mau kita menunggu atau diam, atau gimana, terserah sajalah. Beda dong, sama orang yang ngumbar kalimat-kalimat macam orang lagi pedekate ke semua orang. Malas sekali kalau tahu ada orang yang kayak gitu. Macam ng-mumumu ke semua orang gitu? Huih. Macam mengumbar senja ke semua cewek gitu? Iih. Apalagi kalau udah jelas-jelas, hubungannya nggak cuma sekedar teman. Aaaaiihh sekali deh. Itu namanya menyebalkan. Fufufuuuu sekali.

Waktu itu saya dan teman saya, hampir setuju, bahwa, kalau emang dua orang itu benar-benar punya niatan bersama, entah mau dikultuskan dalam ikatan berpacaran, atau ber-entahlah-an dengan, harusnya, keduanya benar-benar siap. Buat, ehm, njadiin kita satu-satunya (dan kita juga tentunya yah, tidak lupa). Makanya, harus adalah ruang dan waktu untuk membicarakan itu dengan serius. Dan, kami juga setuju, niatan itu harus diikuti dengan perbuatan sejalan. Walaupun macam pramuka, tapi rasanya itu cukup fair. Ngapain ribet-ribet kebanyakan omong kalau cuma mau bermain-main. Macam ngapain ribet bikin bermacam janji kalau bakal dibuat lebih ribet setelahnya.

Dan lalu, saya nulis ini sambil ngaca nggak sih?

No comments:

Post a Comment