Monday, September 5, 2011

...merah


Merah. 120. Mulai.

Pagi ini, seperti biasa. Semua tergesa. Semua bergegas. Hari ini, Senin lagi. Masih seperti biasa, ada sugesti. Hari ini terkutuk, hari  ini busuk, hari ini akan berakhir dengan buruk.

Semua melambat. Semuanya terhenti. Seperti de javu. Berulang. Setiap waktu. Ada momen yang terhenti. Barangkali, di ruang sana adalah mereka yang sama. Orang yang sama, pada waktu yang sama, di ruang yang sama. Di sini. Sedikit kesempatan menarik nafas, menyisir rambut, membalas sms, menelepon, merapikan bedak, mengulas lipstik, menggigit sepotong roti, meneguk aqua, mengecek jam, membeli koran, tertawa ringan, meluruskan dasi, atau berdoa.

Dan saya ada didalamnya. Bersama mereka yang juga melihat saya sebagai orang yang sama. Pihak yang senasib, pribadi yang memiliki hak sama atas ruang, waktu, dan momen yang sama. Saya yang menjadi melankolis setiap kali berhenti di waktu ini. Saya yang tiba-tiba menjadi pemikiri sok kritis ketika mata mulai melihat nanar ke sekitar. Saya yang selanjutnya merasa bodoh dan tolol tidak bisa berbuat apa-apa atas semua protes di kepala. Saya yang pada akhirnya hanya mampu pada tataran menikmati semua ini hampir setiap hari. Setiap hari, dalam waktu hidup saya. Hingga entah kapan.

***

Hanya sedikit cerita, diwaktu yang entah mengapa dan entah oleh siapa, hanya dibuat dengan dua digit angka. Dengan matahari yang terus bergerak sebagai pertanda. Dengan segala tanda yang membatasi. Ada empat ruang. Hanya ada satu yang boleh bergerak. Jika dua, atau bahkan tiga bergerak bersama itu sama dengan celaka. Keempatnya tidak mungkin dan tidak akan bertemu dan bersama di satu titik. Tak selamanya seimbang itu bertemu di tengah, bermassa sama, bergerak bersama. Tidak selamanya.

Jika ruang pertama terbuka, ruang kedua, ketiga, dan keempat harus tertutup. Begitu seterusnya. Tak boleh ada dua pintu terbuka dalam satu waktu bersamaan. Ibarat sebuah pintu air, jika dua pintu terbuka bersama dalam waktu yang tak seharusnya dibuka bersama, maka bencana turut keluar bersamaan dengan dibukanya kedua pintu. Ada kalanya kita berhenti untuk hanya berdiam. Cukup untuk berdiam dan memberi kesempatan yang lain bergerak. Cukup hanya untuk melihat. Barangkali bisa sambil belajar dan mencerna setiap gerak yang tercipta. Bukankah kadang gerak bisa menciptakan momen indah yang bahkan tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Dengan suara, bahkan dengan lukisan terindah.

Suara-suara yang sama juga terdengar di ruang besar tak bertembok dengan pancuran air bulat ditengah. Seandainya semua orang mampu memainkan alat musik, atau setidaknya tahu bagaimana mencipta nada, pasti iramanya tak akan semenakutkan ini. Setidaknya tidak akan membuaat orang yang baik-baik saja secara fisik dan mental tiba-tiba menjadi sakit. Senyum lebar berubah menjadi kerutan kening dan diikuti mulut yang mengatup tak nyaman, hingga mood memburuk dan mulut mulai merutuk. Bukankah mulut yang merutuk adalah sebuah ketidakpuasan dan ketidaknyamanan akan sebuah keadaan?

Di depan saya melintas seorang wanita tua yang menggenjot cepat sepeda kumbang berisi dua keranjang besar krupuk. Ya, sepertinya itu krupuk. Saya yakin itu krupuk. Makanan ringan dalam arti konotatif dan denotatif kesukaan satu teman saya. Yaitu teman saya orang Pekalongan yang sepengetahuan saya, tidak bisa makan tanpa krupuk. Sungguh krupuk dengan segala macam jenis dan rasanya itu menjadi keunikan dan keanehan tersendiri dalam budaya makan kita.

Saya jadi membayangkan renyahnya memakan krupuk dan sekaligus gondok karena teringat harus membayar satu bungkus krupuk dengan harga yang saya rasa kurang wajar. Kurang wajar untuk ukuran krupuk. Saya yakin semua tahu berapa harga standar satu bungkus krupuk ukuran warung makan. Ya, tidak sampai seharga satu potong kue donat dari sebuah bakery terkenal, apalagi yang tokonya impor dan berkelas internasional. Sungguh saya ikhlas lahir batin membayar mahal seratus kali lipat harga sebungkus krupuk. Dan, saya tidak merutuk. Walaupun, keduanya tetap tidak memberikan kekenyangan yang sama bukan? Dan saya lalu merasa konyol.

Wanita itu, wanita yang membawa dua keranjang besar krupuk itu, sesekali oleng ketika truk sampah berwarna kuning disampingnya berusaha mendahului wanita itu. Keranjangnya bercat hijau, dengan tulisan entah apa yang kurang jelas terbaca. Wanita tua itu memakai baju bermotif bunga berwarna coklat terang dan kuning tua. Memakai maksi panjang yang sesekali terangkat ketika mengayuh sepedanya. Tidak fashionable sama sekali. Apalagi ditambah krudung slup-nya. krudung slup, krudung yang bisa dipakai secara langsung masuk kepala dan rapi seketika. Tanpa bermacam peniti atau aksesoris yang ditempel melingkar dari depan dada hingga kepala bagian belakang.

Ia, barangkali adalah seorang ibu tua dengan tiga cucu yang dititipkan padanya. Sementara suaminya sudah meninggal dunia, dan kedua anaknya merantau entah dimana. Cucunya masih duduk di bangku SD, sehingga ia harus melakukan kegiatan yang menghasilkan uang. Setidaknya untuk tabungan piknik cucunya kelak. Atau, bisa saja ia seorang perempuan tua yang tak mau menghabiskan waktu hanya dengan menunggu suaminya pulang membawa segepok uang, atau anak-anaknya mentransfer uang tiap bulan. Bisa saja. Toh semuanya bisa menjadi cerita di pagi yang seharusnya segar ini.

Pemandangan selanjutnya adalah si wanita itu yang mulai tak terlihat dan saya yang tiba-tiba ingin makan krupuk. Diikuti oleh banyak kendaraan bergerak ke kanan dengan segala merk dan warna. Dengan segala bentuk dan dengan segala ekspektasi saya. Dan saya mulai menyipitkan mata, seraya menunggu mulut mulai merutuk. Lalu memalingkan muka pada sisi kanan saya.

Melihat sepasang siswa-siswi berseragam SMA yang sedari tadi tak berhenti tertawa bersama sambil sesekali berbicara, dan tak henti untuk mengencangkan pegangan tangan si siswi pada paha si siswa. Entah mereka berbicara tentang guru mereka yang membuat mereka tertawa, membicarakan teman mereka yang sering mereka perolok, atau bahkan menertawakan kekonyolan diri mereka sendiri. Mereka nampak bahagia. Dan tak perlu ada ekspektasi berlebihan selanjutnya.

Mulai memutar kepala, sambil tetap menyipitkan mata. Tanda tak menikmati udara yang ada, tanda pura-pura berfikir. Dan saya bergerak. Sekeliling, adalah sama. Pagi milik semua umat. Pekerja necis berdasi dan berhak tinggi yang nyaman berada di jok mobil masing-masing sambil mendengarkan radio atau melihat berita di televisi delapan inchi. Milik siswa-siswi yang harus menuntut ilmu dan diharuskan menjadi pelanggan setia pagi selama enam hari, dan akan memilih hari minggu untuk sesekali tak bercumbu dengan pagi. Mereka berdesakan dalam segala macam angkot, bus kota, sepeda motor, atau kursi belakang mobil orangtua. Mereka hanyalah satu contoh dari sekian ribu karakter lain yang berebut ruang dan cerita di pagi hari.

Meskipun pagi yang sama tak pernah terulang lagi, meskipun pagi di ruang yang berbeda bukanlah pagi yang sama. Dan pagi, bagi orang lain menjadi hanya sekedar pagi. Namun bagi sebagian yang lain adalah permulaan. Dan bagi sebagian yang lain lagi, adalah sebuah cerita.

Yang terpenting dari ruang dengan tembok waktu dan jarum jam yang semakin merapat di sebuah waktu yang disebut pagi ini, adalah sebuah tanda yang bermakan. Sekelompok tiga sekawan yang saling mengingatkan. Tiga tanda yang bijak, pemerhati, dan berkuasa. Bijak dan selalu ditunggu, ditunggu untuk memberikan waktu untuk bergerak. Untuk mengejar waktu atau apa saja yang tak bisa lagi diulang.

Pemerhati yang seringkali tak diperhatikan. Pemerhati yang hanya dianggap sebagai pelengkap meskipun memiliki kemampuan memberi isyarat. Isyarat bahwa ada kalanya untuk tidak memaksakan sesuatu atau lakukan yang ingin dilakukan untuk sebuah alasan. Bukankah manusia kini sering tak begitu peduli dengan isyarat, dengan intuisi. Sehingga hanya tahu untuk buru-buru mengejar sesuatu.

Ia yang berkuasa. Ia yang berkuasa memberhentikan semua. Dan saya disini karena dia. Karena kemampuannya memberhentikan waktu dan mengajak saya mulai belajar berfikir dan merespon. Dan saya merindukannya. Merindukan ketika saya tiba-tiba menjadi orang yang peka. Orang yang sadar bahwa ada perbaikan ketika berhenti. Ketika dalam waktu yang jika dihitung dengan tarif telepon akan berharga ribuan rupiah ini,  waktu berhenti. Jarum jam berhenti, kotak digital berhenti. Hanya plang angka merah yang berjalan. Dan hitungannya bukan merupakan hitungan waktu. Itu bagi saya. Dan saya menikmati ketika ditahan untuk berhenti. Bukankah di ruang ini jika lebih dari satu pintu terbuka bersama itu sama dengan celaka?

Untuk itu ia ada. Menahan untuk menghindari celaka. Percuma saja sirine dibunyikan sedemikian rupa. Ketika ia ingin kita berhenti, kau tak akan boleh melangkah sedikitpun. Jangan pernah bunyikan klakson tak sabar ketika ia belum mengijinkanmu berjalan. Atau mulutmu akan mulai mengeluarkan sumpah serapah yang hanya akan merusak semuanya, terutama suasana hatimu sendiri. Sudah saya bilang, ia yang berkuasa. Biarkan dia menyala merah. Ya, merah. Merah di pagi hari pada dua menit yang tak terdeteksi ukuran waktu.

Tapi sepertinya hanya saya yang peduli dengan cerita di ruang milik bersama ini. Bagi yang lainnya, hanya ada untuk segera bergegas. Dan, saya ingin segera makan krupuk.[*]

*cerita terakhir yang saya buat dan punya ending. saya buat buru-buru cuma dua jam akhir tahun lalu, demi sebuah buku antologi. yang lucunya, dapat nilai 52 dari skala 100. betapa jeleknya. saya posting, buat teman saya yang (katanya) pengen baca cerita buatan saya. semoga setelah ini kamu mengkritik saya yah... amin. semoga... :)

No comments:

Post a Comment