Sunday, November 20, 2011

…saling (hormat-menghormati)


Secara pribadi, saya menghormati segala jenis makhluk hidup. Maksudnya, nggak akan begitu saja membunuh mereka.

Harus punya alasan yang cukup masuk akal buat memukul mampus kecoak, meracun sampai sekarat tikus, atau membabat habis rumput. Dan belum punya cukup alasan buat membunuh manusia, bukan, bukan, tapi belum punya cukup keberanian. Pernah kan yah, marah banget, sampai pengen bunuh orang. Kayak misal, kalo nonton sinetron, saya tu pengen loh, ngebunuh aja tokoh-tokoh ibu tiri yang jahat dan kejamnya naudzubillah itu, yang telah dengan tega menyekap Amira dan mengirimnya ke Hongkong buat dijadiin TKW. Aduh, apaan coba, cewek seporselen Nikita Willy mau dijadiin TKW. Jangan dong. Nah, karena naluri membunuh yang tiba-tiba keluar itu, makanya saya jarang nonton sinetron. Saya nggak mau dong, pas lagi enek-eneknya, ntar tiba-tiba mencekik teman di samping saya. Nah kan yah, saya tidak punya keberanian buat ngebunuh manusia.

Seperti saya menghormati hewan-hewan berbulu, selama mereka juga menghormati saya. Walaupun takutnya setengah mampus sama anjing dan kucing, saya menghormati mereka dengan nggak teriak-teriak najis kalau ketemu mereka. Tapi memilih diam, benar-benar diam, sambil baca mantra, “nggak kelihatan, nggak kelihatan…” Pokoknya gimana caranya itu binatang-binatang nggak ngelihat saya, jadi mereka, hewan-hewan itu, nggak usah deket-deket saya. Heran deh, mereka juga suka cari-cari perhatian ke kita-kita kalau ngelihat kita, terus sok deket-deket. Apa deh? mereka kira, kita bakal kasih-kasih permen?

Nah, tapi tiba-tiba saya pengen deh, ngobrol sama seekor kucing monster. Iya, kucing monster, badannya yang terlalu besar itu bikin itu kucing jadi kayak monster. Kebayang kalo itu kucing adalah cewek berumur 24 tahun yang jomblo sepuluh tahun, dan rada-rada nggak pedean, mungkin itu cewek udah bunuh diri saking gemuknya. Saya belum pengen ngebunuh itu kucing si, karena pada dasarnya, saya belum menemukan alat yang bisa membunuh itu kucing sekali jeprat. Pisau di kostan aja mentoknya cuma buat ngiris bawang merah. Dan kalau di racun, saya nggak kebayang, siapa yang bakal ngebuang bangkainya? Lah wong cicak mati di kamar mandi A aja nggak ada yang buangin, nunggu si bude ngebersihin. Kalau saya si, mending pura-pura nggak tahu ada cicak mati di kamar mandi A, dan mending mandi di kamar mandi B.

Jadi, kenapa saya pengen ngobrol sama itu kucing monster? Padahal sama kucing-kucing lain, apalagi yang pernah sok deket suka nongkrong di kostan, saya cuek-cuek aja, walaupun mereka lebih kejam. Kucing berbulu cokelat terang yang diberi nama manda (oleh sebagian mbak-mbak yang lain dikasih nama tukiyem, tukiyem apa tukijah? Lupa deh). Pokoknya mah, itu manda nggak tahu lahir di mana, tapi tiap malam dia suka acak-acak tempat sampah di kostan sambil mendesah-ndesah sok seksi di malam hari. Apaan coba. Makanya, manda berhasil ngebawa satu kucing cowok (kayaknya cowok) sering masuk kostan juga, warnanya item gelap, suka lari-lari nggak jelas. Terus, karena ada dua ekor kucing cewek kegenitan dan kucing cowok, kalau malam mereka suka mengeluarkan bebunyian yang biasa disebut sebagai “suara kucing kawin”. Sampai kayaknya sempet ada yang mukul mereka saking brisiknya. Saya mending di kamar aja, abisnya, bukannya mirip suara kucing yang bahagia karena kawin, lah suara mereka kayak suara manggil setan. Kejam dan mengerikan. Sampai akhirnya pasangan absurd itu nggak tahu kenapa nggak pernah kembali lagi ke kostan, terakhir saya tahu, si manda hamil. Nggak tahu deh, pacarnya bertanggungjawab apa enggak, terus sekarang udah nglahirin apa belum. Semoga dia belum mati diracun.

Terus, tidak ada kucing di kostan. Tapi serius deh, ini kostan nggak ada yang sayang kucing, sayang kucing. Yess! Berati nggak akan ada yang ngemanjain kucing. Jadi kucing nggak betah.

Tapi, pada satu sore. Si Nita teriak-teriak. Eternit kamarnya jebol. Dan di bawah kursi, tersangkanya meringkuk sok ketakutan nggak penting berharap kita merhatiin dia yang kayaknya terkurung di kamar nita lebih dari dua hari. Tapi apa ye? Mending ngelihatin bude dan pakde benerin eternit dan bantu nita siap-siap bersihin kamar dari pada ngurusin kucing. Sampai akhirnya si kucing keluar dengan sendirinya, lalu kita sadar, ya ampun, itu kucing gede bener.

Udah, lupalah masalah kucing. Sampai kemarin siang. Kita makan bareng di depan tivi, duduk manis di kursi (rada nggak layak disebuh sofa), ngobrol-ngobrol santai. E, tiba-tiba itu kucing lewat di depan kita. Saya cuek aja, cuma angkat kaki. Takut dia deket-deket. Ternyata enggak. E, tiba-tiba dinar teriak sambil ketawa-ketawa, “Iiii, kucingnya pipis di kantong”. Ya ampun. Saya diam.

Jadi, di bagian samping sofa itu ada semacam kantong. Biasanya bisa buat simpen majalah-majalah atau emas batangan lah. Tapi karena ini kostan dan posisi sofa di depan, dan kemungkinan kita bakal lewat situ kalau pergi ataupun pulang, maka beberapa orang, sering menyimpan kunci kamar disitu. Dengan pengalaman kunci hilang dan ketinggalan yang cukup parah, akhirnya, sejak beberapa tahun belakangan, saya juga menyimpan kunci kamar di situ. Jadi, tahu kan, kenapa saya diam?

Terus si nita melanjutkan, “iya, dulu juga pernah lihat…” Ampun yan kedua. Jadi itu kucing udah sering kencing di situ gitu? Astaga. Lalu saya kebayang harus segara mencuci bersih gantungan kunci saya yang boneka karung kucing itu (nah, saya udah obses pengen bunuh semua kucing, tercermin dari gantungan kunci kan?). Untung emosi saya lagi stabil, jadi saya memutuskan untuk terus makan. Besok cari tempat nyimpen kunci lagi.

Tapi jadi heboh, ketika, teman penyimpan kunci mulai datang. Hhhaa. Ini menyenangkan. Pertama, si Kiky. Dia tahu ketika kunci udah di tangannya, sambil jijik-jijik aneh, dia cuma bilang, “kayaknya harus cuci kunci deh, tapi entar deh, ngantuk banget aku…” Lalu kiky masuk kamar, dan kayaknya tidur. Nah, malamnya, giliran mita yang heboh. Teriak-teriak nggak jelas dan nggak berani ambil itu kunci. Sampai diambilin bude.

Huh, apa deh itu kucing? Semena-mena membuat wilayah kekuasaannya dengan cara yang menjijikan gitu. Dan ya kenapa harus di situ gitu deh? Ini deh kenapa saya pengen ngobrol sama itu kucing, kalau nggak ketakutan duluan sih maksudnya. Saya, dan kiky, dan mita itu kan udah dari kapan taun nyimpen kunci di situ. Lah iki, kok yo, kucing anyaran wae congkak nge-teng-tengin itu kantong. Pake air kencing pula. Apa deh maksudnya? Nggak ada po, cara lain yang lebih manusiawi?

Karena pada akhirnya kita yang kalah. Nyebelin. Kita jadi nggak nyimpen kunci di situ lagi. Jadi males lihat itu kucing. Dan lama-lama mungkin juga pengen ngebunuh itu kucing kalau masih kebanyakan tingkah. Kayaknya digantung di pohon jambu cukup kejam. Gantung dan diemin seminggu, bakal jadi mitos hantu kucing gantung di kostan sepuluh tahun lagi.

Endingnya, karena masih sangat-sangat terbiasa. Si mita barusan heboh mencari-cari kunci. Lalu dengan cukup tenang dibimbing firza pada satu kesimpulan, “mit, kamu simpen di kantong kali”. Dan yap, bener. Di sana. Lalu mita cari-cari alat untuk mengambil itu kunci dari itu kantong. Hhha. Saya belum kena, yess. Saya sudah menemukan tempat terbaru untuk menyimpan kunci. Jadi, saya nggak perlu berhubungan dengan tempat kencing itu kucing.

Tapi intinya, itu kucing dengan pedenya nggak menghormati kita, jadi, rasa-rasanya, kita juga boleh nggak ngehormatin dia. Tunggu aja. Dan kayaknya, emang kedudukan kita sebagai manusia dan binatang hampir sama. Bahkan, dalam cerita ini, kita nggak ada apa-apanya dibanding kucing itu. Walaupun banyak yang bilang hewan itu nggak punya otak, saya jadi curiga sebenernya mereka punya otak yang cukup oke. Buktinya mereka punya cara buat ngalahin kita, ya dengan kencing itu tadi. Sumpah yah. Menyebalkan.

Mungkin pasukan amerika perlu rame-rame kencing bareng di timur tengah biar nggak usah repot-repot ngebomin dan memicu perang, biar warga sipil yang nggak tahu apa-apa nggak mati sia-sia. Hloh?!

No comments:

Post a Comment