Wednesday, July 13, 2011

...easy A?


Saya percaya belajar tidak berhenti di nilai A. Bagi saya, belajar adalah sesuatu yang tak pernah selesai.

Tapi ganjaran nilai A, siapa yang tidak mau? A. Sempurna. Sebuah bayaran atas kerja ‘belajar’ selama satu semester. Yang kadang, demi itu, apa saja dilakukan. Mulai dari nyontek sana-sini, belajar mati-matian sampai muntah, lembur tugas sampai pagi, atau sebuah niatan tulus membuatnya sempurna dengan belajar dan mengerjakannya sungguh-sungguh.

Saya sendiri addict mempunyai nilai bagus. Menurut ego saya yang terdalam, menjadi lebih baik dari sebelumnya, atau menjadi yang terbaik diantara yang lainnya adalah kepuasan tersendiri. Saya menangis ketika saya mendapat rangking 6 di kelas tiga SD. Tapi, di lain waktu, saya sadar diri, bahwa saya bukanlah, the people who studying hard to make an A point. Saya pemalas. Tak heran, saya cukup puas, jika deretan nilai saya B, B, dan B. Cukup terhibur dan berbahagia dengan nilai standar tanpa huruf C.

Bagaimana dengan target? Salah seorang teman sempat merasa cukup kecewa (yah, sepertinya sangat kecewa), tentang nilai total satu semester ini. Di awal semester, kami sempat bercakap tentang target nilai total mata kuliahnya semester ini. Sehingga memperbaiki nilai-nilai semester sebelumnya. Saya percaya dia bukan orang yang main-main dengan niatnya dan serius dengan targetnya itu. Seperti saya sempat cukup senang, ketika tahu, salah satu nilai ujiannya bernilai 100. Ya, 100. Nilai sempurna dalam bentuk angka.

Serta cukup bingung harus menjawab apa, ketika pada satu percakapan pendek, dia bilang, dua mata kuliahnya terancam E. E, kebalikan dari A, adalah nilai gagal. Walaupun akhirnya saya lupa dan dia juga lupa. Dan pesan pendeknya sore tadi, tentang nilai yang tidak sesuai tergetnya, adalah masalah terbesar dia sekarang. Saya yakin, apapun yang saya katakan, tidak akan cukup menghibur.

Karena saya juga mengalaminya. Meskipun bukan tentang target. Walaupun alasan saya lebih egositis, (terkesan) maksa, dan sedikit tidak bertanggungjawab. Ketika sebuah tugas yang bagi saya harusnya mendapatkan nilai terbaik seperti yang lain. Hanya saja, saya tidak mendapatkannya. Saya seperti ingin meledak, mengetahi bahwa, apa yang saya lakukan tidak mendapatkan nilai sepadan. Bukan karena hasilnya buruk, tapi karena syarat prosedural yang seringkali tidak mempunyai kebijaksanaan. Padahal secara essensial, saya percaya tidak lebih buruk dari yang lain. Tapi, sejak kapan alasan prosedural dan penilaian mempunyai kebijaksanaan? Malah jadi saya sendiri yang tidak bijak bukan?

Satu hari saya cukup dibuat emosi dan tidak bisa berkata apa-apa hanya tentang masalah nilai itu. Hingga di hari kemudian, saya disadarkan, bahwa, belajar tidak berhenti pada nilai-nilai. Karena ketika kita melakukan apapun dengan tulus, maka hasilnya, adalah hasil terbaik yang kita buat. Dan, sepertinya teman saya itu yang mengatakannya.

Katanya lagi, “Jangan mengeluh. Ini bagian dari pengorbanan”.

Saya percaya. Dia (dan saya) mempunyai nilai lebih dari sekedar A atas semuanya. Juga kita semua. Kalian, yang tidak selalu mendapat niali A

:D

No comments:

Post a Comment