Monday, June 27, 2011

A crazy little thing (called love)

Saya menyebutnya sebagai “unyu”, ketika melihat film ini.

Tentang seorang anak sekolah dasar, entahlah, disebut sebagai M1, M2, M3, dan seterusnya, dalam jenjang studi di Thailand sono, yang saling jatuh cinta dengan segala macam peristiwa konyol nan serasa romantis bagi ABG seperti saya (?). Kenapa unyu? Karena membuat saya tertawa-tawa sendiri di pagi hari sambil menunggu berpuluh-puluh lembar gambar yang harus di print
Tertawa-tawa sendiri dan sesekali sesenggukan pula. Sambil mengingat betapa ribetnya dunia percintaan. Apalagi yang terjadi dengan tokoh-tokoh cerita di film. Anak-anak sangat muda yang mencintai begitu tulusnya. Tidak seperti kebanyakan dari kita, yang barangkali mencintai atas alasan-alasan dan tujuan-tujuan tertentu.
Ada satu kalimat di beberapa scene terakhir, yaitu ketika si tokoh utama, Nam, perempuan yang ketika muda bisa dibilang tidak begitu oke, hingga akhirnya menjadi begitu oke, berucap tentang, “menggunakan cinta sebagai kekuatan untuk berubah lebih baik.” Cerita berakhir happy ending, mengingat ternyata si pemeran pria Shone, juga sebenarnya mencintainya, bahkan sejak ketika mukanya tidak begitu oke tadi. Dan tentang statement si Shone, bahwa, “aku ingin melihatmu mencoba.” Dasarnya memang film, terus ceritanya mereka dipertemukan kembali sembilan tahun kemudian pada sebuah acara televisi. Jadi, ceritanya keduanya menjadi orang hebat. Begitulah, meskipun rada jeglek.
Itu film. Bagaimana dengan that crazy little thing di dunia nyata? Jika ternyata setelah menunggu beberapa tahun, akhirnya Nam berani mengatakan pada Shone bahwa dia mencintai Shone. Seberani dan seyakin apa, atau seteleh apa, hingga akhirnya seseorang menyatakan cinta pada orang lain? Walaupun ternyata ketika itu, Shone baru saja seminggu berpacaran dengan teman sekelasnya.
Atau lebih ekstrem lagi, bagaimana Shone, menjaga perasaannya bertahun-tahun juga, hanya melihat Nam, karena Nam disukai teman dekat Shone. Dan ketika Nam menyatakan cintanya, dia terlanjur pacaran dengan teman sekelasnya, hingga ia berani menunggu hingga sembilan tahun untuk menunggu Nam pulang dari Amerika. Mereka terpisah begitu lama dan mereka dipertemukan kembali. Jika dalam kehidupan nyata dihadapkan pada situasi demikian, berapa lamakah akan mampu bertahan? Barangkali hanya beberapa orang yang mampu bertahan dan menjaganya dengan baik.
Karena hidup yang sebenarnya tidak menghabiskan roll-roll film dan memiliki durasi yang tak terbatas. Kesabaran juga pasti ada batasnya. Semampu apa seseorang, dari kita, menunggu untuk hal-hal demikian? Tanyakan pada rumput yang bergoyang.
Atau lebih tepatnya. Saya ingin bertanya, seberapa yakinkah kita mencintai seseorang. Hingga berani mengatakannya. Meskipun resiko terburuknya adalah dengan tidak mendapatkannya. Untuk kemudian, seberapa beranikah kita untuk mempertahankannya? Hingga sadar, bahwa, cinta itu cukup memberi banyak kekuatan untuk lebih baik.
Baiknya saya tanyakan pada diri saya sendiri dulu, sepertinya.
Seringkali film terlalu besar mempengaruhi kondisi psikologis. Semoga kemudian tidak menjadi melo-dramatis. Semoga dapat memberi kekuatan tersendiri, yang positif.

No comments:

Post a Comment