Monday, January 30, 2012

...titik balik antara mimpi dan kenyataan (hasil menonton An Education)


 “The life I want, there’s no shortcut.” – Jenny Mellor

Jenny Mellor *ketika memutuskan untuk meninggalkan sekolahnya.

Siapa itu Jenny Mellor?

Dia adalah perempuan muda berumur tujuh belas tahun dari kelas menengah Inggris dan hidup sebagai bagian flower generation pada awal medio 60-an. Seperti setiap perempuan muda penuh mimpi, impian Jenny sederhana. Menjadi seorang perempuan berpendidikan lulusan Oxford, kelak akan mengunjungi atau justru tinggal di Paris –berbelanja, menikmati film dan musik bagus, menikmati seni kelas tinggi, dan memiliki suami mapan. Sempurna dan sederhana, kan?

Jenny hanyalah seorang siswa sekolah khusus perempuan dengan peraturan yang ketat, bermain cello, dan pemilik nilai tertinggi dalam kelas sastra (sastra Inggris), sekaligus memiliki nilai buruk untuk kelas latin. Tapi, bukankah setiap perempuan memiliki mimpi, yang dengan cara apapun, dia akan berusaha untuk meraihnya? Meskipun ia pandai dan sadar akan kepandaiannya, bukan berarti hidup Jenny tanpa tekanan. Apalagi, ayahnya begitu berambisi memasukan Jenny ke Oxford. Dengan dalih mahalnya biaya pendidikan, Jenny seringkali hanya diam melihat kekolotan ayahnya.

Dan, bagaimana jika pada satu hujan yang deras, seorang pria, yang bisa saja mewujudkan semua mimpi Jenny datang dalam hidupnya?

Bukan seperti Graham, teman dalam kelas cello yang menyukai Jenny, tapi seorang pria dengan segala hal yang bisa saja, memenuhi semua keinginan Jenny. Dia adalah David, seorang pria mapan, flamboyan, pintar, kolektor barang-barang seni, menyukai musik, dan yang pasti, mampu mewujdukan mimpi Jenny ke Paris.

Ketika David mampu menarik perhatian Jenny, - dan tentu saja David tertarik pada Jenny, pun berhasil menarik perhatian kedua orang tua Jenny yang kolot. David berhasil melepaskan Jenny dari diri seorang gadis SMA menjadi seorang perempuan yang dicintai. Jenny pun jatuh cinta. Jenny mendapatkan sesuatu yang ia mimpikan di masa-masa dewasanya kelak. Konser musik klasik, makan malam di restoran mahal, galeri seni, pakaian-pakaian indah, bepergian ke luar kota di akhir pekan, dan, tentu saja: Paris.

Parisssss....!!!!
The life that Jenny ever dream...
Bukan hal biasa bagi seorang Jenny dan latar belakangnya. Bahkan, bisa dibilang, Jenny tidak menyangka ia mendapatkan semua yang ia inginkan. Jenny menikmatinya. Itulah kehidupan yang ia inginkan, telah ia genggam. Hidup yang ia dapatkan dari seorang David. Maka, tidak menjadi luar biasa pula ketika Jenny memilih keluar dari sekolah ketika David melamarnya. Ya, Jenny lupa akan keinginannya masuk Oxford. Bahkan kalimat dari Miss Stubs, guru Sastra Inggrisnya dan kepala sekolahnya tidak ia pedulikan. Dengan bangga ia memamerkan cincin tunangannya. Baginya, inilah hidup yang ia impikan.

Maka, cerita dalam hidupnya menjadi lain dan akan berubah, ketika tanpa sengaja Jenny menemukan surat di dashboard mobil David. Malam itu, mereka sekeluarga akan makan malam bersama untuk merayakan lamaran David. Jenny diam dan menahan sesak meminta David mengantarkan mereka kembali ke rumah. Jenny tahu, ada yang salah dalam keputusannya untuk menerima lamaran David.

A girl, treated like a woman, a dream come true uh? *ini sebelum makan malam merayakan lamaran David.

“Mr. and Mrs. Goldman,” begitulah tertulis dalam amplop surat yang Jenny temukan. Ya, David ternyata sudah menikah.

Tapi David pecundang. Bukan lagi gentleman yang mewujudkan semua mimpi Jenny. Meski menyatakan akan menceraikan istrinya, nyatanya David tidak berani menemui kedua orangtua Jenny untuk memberikan penjelasan. Hidup Jenny berhenti. Tidak ada hidup indah seperti dalam mimpinya, dan ia, bukan lagi seorang siswa sekolah menengah.

Tentu kita tidak lupa bahwa Jenny bukan siswi bodoh. Dia adalah kandidat terkuat untuk belajar sastra di Oxford. Dengan rendah hati ia meminta kepala sekolahnya untuk diizinkan mengikuti ujian kelulusan. Sayangnya, ia tidak mendapatkan kesempatan itu. Saat itulah Jenny menyadari, tidak ada jalan pintas untuk mewujudkan hidup yang ia bayangkan. Ada tahapan-tahapan tertentu dalam hidup yang harus dilewati untuk menuju kehidupan dalam mimpinya itu.

Dan, salah satu tahapan itu adalah, pendidikannya. Oxford, bagi Jenny.

Inilah titik balik dimana Jenny sadar, ia justru mengacaukan hidupnya sendiri. Tapi tentu bukan seorang Jenny, ketika ia tidak mampu mewujudkan harapannya. Dengan bantuan Miss Stubs, gurunya, yang sempat ia anggap memiliki kehidupan membosankan, tapi, nyatanya memiliki kehidupan yang menyenangkan dalam standar Jenny.

Keberaninnya mendatangi rumah David dan melihat istri serta anak David, menemui kepala sekolah, menemui Miss Stubs, kembali membuka buku-bukunya, menuliskan esainya, berdamai dengan perasaannya sendiri dan dengan kedua orang tuanya, justru menjadi tahapan penting dalam kehidupan Jenny. Tahapan atau titik balik yang tentunya dimiliki oleh setiap orang. Di bagian inilah, emosi saya sebagai penonton diaduk-aduk dan ikut terseret mengikuti perasaan dan pemikiran Jenny.

Bagaimana kalau saya Jenny? Bagaimana kalau kita Jenny?

Apakah kita akan cukup berani menemui istri dari laki-laki yang jelas-jelas melamar kita? Memohon kembali ke sekolah padahal kita tahu pasti kita akan ditolak? Kembali belajar? Dan, kita melakukannya sendiri?

Saya membayangkan, jika itu adalah saya. Barangkali itu semua yang melakukan ayah saya, sementara saya menangis berhari-hari di dalam kamar. Karena begitulah budaya kita, orangtua selalu ikut campur dalam segala hal. Atau entahlah, karena itu adalah masalah Jenny, bukan saya.

Tapi Jenny nyatanya mampu membuat saya berfikir agak panjang. Apa yang terjadi di London, Inggris sana hampir lima dekade lalu, barangkali baru terjadi di masyarakat kita baru-baru ini, atau setidaknya satu atau dua dekade ini. Seberapa besar, kesadaran akan pentingnya belajar dan mengejar apa yang kita (perempuan) inginkan? Atau dalam hal lain, pilihan awal Jenny untuk memilih pernikahan dan kehidupan menjadi seorang istri masih menjadi pilihan pertama beberapa orang di masa kini, bahkan mungkin saya, jika dihadapkan pada kondisi yang sama. Ah, ini nglantur saja.

Karena sesungguhnya sejak pertama menonton film ini awal tahun lalu, saya jatuh cinta dengan karakter Jenny dan segala yang ada dalam film ini. An Education adalah film karya sutradara Lone Scherfig yang diproduksi pada tahun 2009. Cerita dalam film ini adalah kisah adaptasi dari memoir Lynn Barber, seorang jurnalis perempuan di Inggris, yang dimuat pada majalah Granta, sebuah majalah yang memuat cerita pendek.

Iya, ini adalah kisah masa muda Lynn yang diperankan dengan apik oleh Carey Mulligan. Dan bukan pilihan salah ketika mengadaptasi cerita ini menjadi film drama, yang bagi saya, sangat perempuan. Sosok David, yang diperankan oleh aktor Hollywood Peter Sarsgaard , pun mampu menarik hati untuk menjatuhkan pilihan padanya. Ketimbang “reading English”, istilah yang digunakan untuk menggambarkan tentang belajar sastra Inggris. Gambar dan dialog yang sederhana namun berisi menjadi poin lain, selain cerita dan karakter Jenny yang begitu kuat, yang menjadikan film ini menjadi film favorit saya, dan membuat saya menontonnya berkali-kali. Tapi baru ingin menuliskannya sekarang.

Secara pribadi saya memang menyukai film dengan karakter utama seorang perempuan yang kuat. Selain tampilan karakter yang kuat (akting si aktris), dan juga karakter yang digambarkan kuat. Dan di sini, Carey Mulligan berhasil menggambarkan karakter Jenny yang kuat dengan “kuat”. Membuat saya sekaligus menimbang: jika saya sekarang harus dihadapkan pada pilihan atas laki-laki atau menyelesaikan belajar saya. Saya akan memilih untuk menyelesaikan belajar saya, barangkali.

Dan tentu saja, saya tertampar sekaligus setuju, dengan kalimat “The life I want, there’s no shortcut.” Tentu saja, seperti nasihat banyak orang atau kata-kata bijak banyak orang, ada tahapan dan waktu tersendiri dalam hidup kita. Tentang menjadi apapun yang kita inginkan. Lalu saya percaya tentang adanya jalan yang berbeda dan kesempatan yang berbeda bagi tiap orang. Lalu saya teringat nasihat ibu saya, tentang menjadi “Sabar, ikhlas, dan legowo (berbesar hati)”. Maknanya hampir sama. Intinya, ketika kita melakukan sesuatu, mungkin kita akan melakukan kesalahan, tapi kita harus terus berusaha yang terbaik bukan, apapun hasilnya, kita harus menerima dan terus mengusahakan yang terbaik. Itulah sabar, ikhlas, dan legowo. Ibu saya lahir tahun 1967, ibu saya seorang Jawa tulen dan Muslimah tulen pula, bukan Jenny Mellor ataupun Lynn Barber, seorang Inggris dan Katolik, tapi mereka sama-sama perempuan. Dan, mereka sama-sama mengajarkan untuk menjadi seorang perempuan, yang kuat (?).

Aduh, saya kenapa ini?

Ini bukan review film, ini cuma curhat kok. Jangan bandingkan dengan tulisan di rumahfilm atau cinemapoetica. Saya menonton film ini dua kali dalam seminggu ini. Dan, mungkin, saya pernah mendapatkan semua yang saya inginkan sebelumnya. Tapi, pada akhirnya saya tahu, seperti halnya Jenny juga sadar di kemudian hari, tidak ada jalan pintas untuk semuanya. Termasuk setiap tahapan ketika kita berusaha menyelesaikan “those education things”. Inilah tahapan yang harus dilewati…

Bukan hanya oleh seorang perempuan, tapi oleh semua orang…

Kita, yang pernah bercita-cita ingin menjadi apapun, walaupun begitu membenci sistem pendidikan di kampus kita, semoga tidak pernah lupa untuk menyelesaikan ini semua. Ada baiknya kita selesaikan ternyata. Karena setelah ini, akan banyak hal yang lebih besar yang akan kita pelajari…

Ya, Jenny belajar di Oxford. Jenny melupakan kisahnya dengan David. Jenny memulai tahapan hidupnya tanpa jalan pintas apapun…

“So, I went to read English books, and did my best to avoid the spicy, spotty fate that Helen had predicted for me. I probably looked as wide-eyed, fresh and artless as any other student. But I wasn’t. One of the boys I went out with, and they really were boys, once asked me to go to Paris with him. And I told him I’d love to, I was dying to see Paris, as if I’d never been.”

Ini, Helen dan Jenny. Hellen itu semacam oh-wauw dan anggun banget kan??
*(Helen itu, dia pacar teman David, Danny. Mereka biasanya double-date gitu, tapi merahasiakan atau tepatnya tidak berani mengatakan kepada Jenny tentang status David yang sudah menikah. Helen, katakanlah, merupakan tampilan yang diimpikan Jenny juga, dia fashionable dan benar-benar gambaran perempuan anggun yang menyenangkan, walaupun agak bego dan menganggap belajar agak kurang pentin)

Kind a, move-on. Uh?

Dan, perempuan mana yang tidak ingin, sekedar menginjakan kaki di Paris, melihat lampu-lampunya, memakai Chanel No. 5 (yang asliiiiiii!!!!), dan, melakukannya dengan seorang laki-laki yang dicintainya dan mencintainya, dan dia yang mewujudkan itu semua…??? But wait, there will comes that time when you’ll get it all. Be patient.

Teretetetttt… mule ngayal! 

*anyway, saya lupa, dari siapa saya mendapatkan film ini. serius. ada aja di laptop saya. kandidat pertama, dapat dari sahabat dan abang saya Agung Purnama atau, dari seorang kawan yang addict film bagus, Ardyan M. Erlangga (Yandri) waktu dia berkunjung ke Solo. siapapunlah, terimakasih... :)

No comments:

Post a Comment