Saturday, January 28, 2012

...heiho, sekaten, here we go!


Saya kira, rasa senang dan tumpahnya itu adalah, ketika saya menyadari bahwa, barangkali, setelah ini, saya tidak lagi memiliki kesempatan seperti semalam. Atau malam-malam sebelumnya.



Saya tidak suka keramaian yang teramat-sangat. Sangat, dan sangat. Banyak orang dan suara yang tidak jelas. Termasuk konser musik, yang penyanyinya saya nggak mudeng atau outdoor dan berangin atau panas. Termasuk sekaten. Hampir lima tahun di Solo, sepertinya saya tiap tahun ke sekaten. Jadi, saya datang ke keramaian?

Akhirnya iya. Waktu pertama kalinya ke sekaten tentu karena saya penasaran sekaten itu apa… dan kalau tidak salah, itu adalah jaman tahun pertama menjadi anggota LPM dan harus liputan, jadi, waktu itu saya tidak di sekatennya malah, karena terlalu sesak, tapi di keratonnya. Termasuk waktu prosesi gunungan, saya waktu itu motret, jadi juga di keraton dan ikut dibelakang rombongan untuk masuk Masjid Agung. Walaupun sampai gunungan diturunkan, saya memilih mundur dan memotret dari kejauhan, karena ratusan orang yang berebut gunungan. Dan hanya memperhatikan satu kawan saya yang memanjat salah satu tiang masjid untuk mengambil gambar. Saya dehidrasi.

Tahun kemarin saya juga ke sekaten, bersama kawan-kawan LPM, karena waktu itu habis semacam rapat terus ingin keluar bersama. Hanya muter-muter dan membeli kerak telur. Karena kita datang sabtu malam, dan sekaten penuh dengan lautan manusia, dan kita bingung, jadi kita hanya berjalan mencari tempat paling longgar dengan jalan membentuk iring-iringan kereta. Waktu itu saya memegang kencang tas Hasan yang jalan paling depan, dan dibelakang saya Syauqi memegang tas saya juga. Sumpah, sesak.

Itulah masa saya benar-benar pengen naik bianglala.

Setahun berburu pasar malam, dan tidak kesampaian.

Karena beberapa teman tahu saya bener-bener pengen naik bianglala, atau istilah lainnya dermolem/dermolen/dremolem/dremolen, (waktu saya belum tahu namanya saya menyebutnya “kurungan manuk”, karena nanti kita akan naik semacam rumah burung), satu malam saya diajak ikut ke sekaten. Ahahai, waktu itu kita bertujuh. Dan, tentu saja, saya riang gembira sampai sana, dan tujuan pertama adalah bianglala di bagian paling depan sekaten. Cuma lima ribu. Ahahahai.

Saya kira saya akan naik sebuah “kurungan manuk”, diputer pelan ke atas, lalu melihat lampu dari atas. Iya, saya seneng melihat lampu. E, tapi, e, tapi, sialnya, bianglalanya diputar sangat cepat dan digoyang-goyang tempatnya, dan, lamaaaaaaaa. Setengah permainan saya masih bisa menikmati dan teriak-teriak girang. Tapi, setengah setelahnya, yang ada saya mual tidak karuan. Saya lemes, mes, mes, meessssss.

Tapi kita ingin bersenang-senang malam itu. Jadi, saya ikuti naik permainan bernama “ombak banyu”, nanti, kita akan di semacam-ombakan gitu (???), jadi diputar cepat sekaligus meliuk ke atas dan ke bawah. Dan, hahaha, saya memilih turun di dua menit pertama. Badan saya tidak karu-karuan. Dan, iya, sebelum akhirnya saya benar-benar muntah sembarangan di rumput sekaten. Aish. Benar-benar memalukan. Sebelum saya hanya duduk dari bawah, sementara Leila, Dhimas, Nanda, Nindya, Zulfa, dan Julia melambai-lambaikan tangan dari atas. Dan saya membalasnya pelan, sambil membersihkan sandal, tangan, dan rambut saya.

Saya merasa, saya benar-benar tidak jodoh dengan permainan-permainan macam itu.

Tapi saya tentu tidak akan melewatkan ajakan sahabat-sahabat baik saya, kebetulan kita lama sekaaaali tidak berkumpul bersama, padahal biasanya kita sering makan bersama sambil ngobrolin berbagai tugas kuliah. Saya, Leila, Maman dan Tika (pacarnya), Ajik, Maulana, Pusa, Dini, dan Andre, dan plus teman kost Pusa.

Saya berjanji tidak akan naik yang aneh-aneh lagi. Karena kita berangkat sendiri-sendiri, saya, Leila, Tika, dan Maman yang pertama-tama sampai. Kita menunggu teman-teman dengan duduk di deretan kursi untuk menunggu penumpang kereta kelinci. Okai, lima belas menit pertama baik-baik saja, tapi, menit-menit selanjutnya adalah suara yang sangat ramai dan kepala mulai pusing. Begitupun yang dirasakan Leila dan Tika. Mamannya motret ke mana-mana. Sambil menunggu, kita naik kereta kelinci. Hhhaaa… permainan paling santai. Tapi, e, tapi, ternyata tidak juga. Karena kereta kelinci memiliki semacam sirine yang super kerassssssssss. Dan, itu cukup membuat kita mengernyitkan dahi.

Yang lain belum juga datang. Jadi kita memutuskan masuk arena sekaten dan mulai memotret. Ajakan tempo hari emang untuk foto-foto saja. Kebetulan, Solo sedang tidak hujan dan udara cukup segar. Selang lama, teman-teman yang lain datang, dan kita mulai jalan-jalan. Lalu Pusa menantang semuanya naik kora-kora. Saya tidak setuju. Sebagian yang lain setuju. Tapi saya akan tidak naik, begitu pun Tika. Kita motret saja, kata saya.

Tapi ini adalah pertemanan bukan? Tika akhirnya naik, setelah Maman berhasil membujuk. Dan saya dibelikan tiket, baiklah, mari kita naik kora-kora, yang pada kali sebelumnya berhasil membuat Nindya, tepar sehari-semalaman setelah naik kora-kora.

Oke, saya ketakutan pas saya di ketinggian. Tapi Dini, yang duduk di samping saya malah lebih ketakutan. Sampai nangis nggak jelas. Dan Leila, di samping saya yang lain, justru santai. Dan, ternyata, setelah turun, justru Maman teman saya yang tadinya sangat bersemangat yang merasakan efek jackpot permainan seperti itu.

Rasa mual di perut, gemetaran di seluruh badan, pusing di kepala, mata berkunang-kunang, dan keringat dingin.

Setelah menyelesaikan foto-foto dan beberapa teman masih asyik motret, kita berlanjut ke pasar Gede, di sana, tiap imlek pasti penuh dg lampion. Kita menyempatkan foto-foto sebentar, untuk kemudian makan. Saya tadinya mau tidak makan, karena perut yang agak tidak karu-karuan dan dompet saya ketinggalan (sempat kepikiran hilang, tapi ternyata benar-benar ketinggalan).

Kita makan rica-kare, dan saya tambahkan banyak-banyak jeruk nipis, dan saya makan sampai habis. Dan, perut saya kembali tenang. Ahahahi, sepertinya saya lapar. Tapi, intinya adalah, semalam, dan malam-malam sebelumnya, ketika saya hampir tidak kuasa menolak ajakan teman-teman untuk keluar bersama, sekedar makan atau ke mana, atau ke mana. Itu karena, sekarang, kita jarang banget bisa tertawa bersama semacam itu.

Seperti semalam, waktu makan, saya sadar, sudah lamaaa sekali tidak bertemu Dini dan Ajik dan ngobrol tentang banyak hal. Sampai saya sadar, kapan lagi bisa makan seperti itu lagi bersama-sama… mereka…

Kita memang penggemar rica-kare di perempatan Novotel-Sami Luwes. Dulu, sering sekali kita makan di situ. Sampai semalam kita sadar, lamaaa sekali tidak bertemu. Dan, saya akan segera ujian juga. Dan mereka juga masih dengan bermacam kegiatan, macam jadi kontributor berita dan lain sebagaianya… ah, saya jadi sentimentil sekali yah.

Tapi apa yang lalu tidak menjadi sentimentil, kalau kita sadar, kesempatan semacam itu sudah menjadi sangat langka, dan kita semua ternyata sama-sama merindukannya…

Seperti saya tidak menyangka pas satu teman saya bilang, “Ngajak atuna mangan ki neng kare ki loh, rak neng nggon steak. Ho’oh?” Hhhaaa. Iya, mereka semua masih mengingat saya yang sukanya makanan Jawa dan agak tidak suka dengan daging. Walaupun seminggu kemarin ngidam KFC…

Ah. Gitu lah, pokoknya.

Lupalah saya sama betapa bikin mualnya permainan dan ramainya sekaten, karena lampunya indah dan anak-anak banyak tertawa. Termasuk teman-teman yang tertawa menertawakan orang yang kena jackpot setelah naik permainan di sekaten.

3 comments:

  1. jujur, baca postingan ini sambil dengerin

    "The Mountaneering Club Orchestra - The Inland Ice Part 1: The Ascent"

    bikin hati terenyuh dan haru. mungkin klo postingannya ditambahin lebih banyak. bisa jatuh nih air mata. hahaha

    baca tulisan ini, mengingatkan akan indahnya pertemanan. akan senangnya berkumpul dengan teman2 dan melakukan pengalaman2 yang telah kita rindukan bersama2. :))

    dan saya sangat2 suka dengan kalimat pembuka dari postingan ini.

    "Saya kira, rasa senang dan tumpahnya itu adalah, ketika saya menyadari bahwa, barangkali, setelah ini, saya tidak lagi memiliki kesempatan seperti semalam. Atau malam-malam sebelumny"

    yup, pengalaman berharga hanya akan terjadi satu kali. dan tidak akan ada pengalaman yang sama persis dengan pengalaman tersebut lagi.

    karena itulah mengapa pengalaman tersebut disebut sebagai pengalaman yang berharga..

    ReplyDelete
    Replies
    1. pertama-tama, siapa itu The Mountaneering Club Orchestra mas?hhhi... :]

      iya, kebayang kalau tidak bisa jalan-jalan bersama-sama lagi, bahkan sekedar makan bersama, padahal dulu sering banget bareng... sekarang udah nggak ada yang gontok2an debat ngerjain tugas kelompok, pada sibuk ngerjain skripsi sendiri-sendiri... kalaupun ketemu, udah terlalu stress dg skripsi,...
      ah, kan, jadi ikut sentimen deh... :)

      makasih yah mas Pondra...:)

      Delete
    2. itu band contemporary classical post-rock yg emang gak terkenal.. hehe

      yup, masa2 indah tersebut akan menjadi kenangan tersendiri. :)
      oke, sama2

      Delete