Benar. Foster the People baru saja mengajak Jakarta berlari. Tapi saya bukan bagian dari sekian orang yang boleh saya bilang beruntung telah berhasil mendapatkan tiket di kelas festival A dengan harga 350.000. Bukan harga yang mahal saya kira, untuk band yang diniati untuk sekedar main dari pub-ke-pun, tapi celakanya mereka menjadi benar-benar terkenal. Tapi, saya mendengarkan mereka.
Bicara tentang trio Mark Foster (vokal, keyboard, piano, synthesizer, gitar, programming, dan perkusi), Cubbie Fink (bas), dan Mark Pontius (drum dan perkusi), maka saya akan juga akan berkenalan dengan karakter Robert. Biar bagaimanapun, saya justru terlebih dulu mengenal Robert daripada double Mark dan Cubbie. Robert mulai terkenal di sekitaran bulan Agustus lalu, setidaknya saya pertama-tama tahu dia ketika bulan Ramadhan dulu. Tapi, Foster the People, para penciptanya, mereka resmi bersama sejak 2004 (kalau nggak salah). Dan biar bagaimanapun, Robert lah yang menjadikan mereka harus keliling dunia dan digilai-gilai perempuan baik-baik seperti saya.
Apakah Roberts adalah laki-laki oh-wauw dari California, yang bagi saya dan dua teman saya, layak dilap-lap kringetnya selayaknya Mark Foster pas lagi mainin gitar, piano, synthesizer, dan menggoyang-goyangkan kepalanya? Mari menduga-duga. Yang pasti, Robert membawa pistol dan siap menembakannya ke siapapun. Termasuk saya.
Robert adalah karakter dalam single “Pumped up Kicks”. Mari mencoba mengenal Robert dari definisi ini: “Robert's got a quick hand. He's looking 'round the room, he won't tell you his plan. He's got a rolled cigarette, hanging out his mouth, he's a cowboy kid.”
Semacam keren kan Robert ini? Laki-laki yang misterius, menggantung rokok di mulutnya, sementara matanya menatap entah ke mana dan berfikir keras tentang rencananya. Kita hanya melihatnya, kita menerka-nerka, “Kenapa sih, Robert ini?”. Lalu, ternyata, dia: “Yeah, he found a six shooter gun. In his dad's closet with a box of fun things, I don't even know what. But he's coming for you, yeah, he's coming for you.” (Pumped up Kicks)
Karakter Robert yang absurd sama absurdnya dengan bebunyian yang mereka ciptakan. Sama dengan atmosfir yang kemudian jadi absurd ketika mendengar mereka. Saya keranjingan single ini dan mendengarkannya berkali-kali dari dalam bus malam yang AC-nya dingin dan kacanya berembun, atmosfir yang tiba-tiba berubah menjadi, semacam memabukan. Bahkan sampai sekarang ketika saya tanpa sengaja mendengarnya. Mungkin karena efek synthesizer, beat yang terjaga dan berhenti di saat yang tepat, tepukan tangan, dan siulan, yang menciptakan keriangan setelah keluar dari ketakutan (yang tercipta dari suara si Mark Foster, yang bernyanyi menggunakan pengeras suara), dan semua itu konsisten terjaga sejak intro hingga akhir lagu.
Mendengar “Pumped Up Kicks” mengingatkan saya pada berantakannya Peter, Bjorn, and John (PBJ), synthesizer kekanak-kanakan-nya Owl City, dan beat menyenangkan ala Jamiroquai. Aih, gaya saya, kayak mudeng aja. Saya dan teman saya, Dita, di awal-awal mendengarkan “Pumped Up Kicks” sempat bercanda bahwa, “Dengerin ini enaknya sambil minum bir dan moving dikit-dikit kali yah, apalagi kalau ada mas seganteng mas Foster ini dah. Sumpah dah.” Lagu ini emang anthem, kayaknya mereka nggak salah melemparnya menjadi single pertama sebelum peluncuran full version album. Macam “Runaway”-nya Jamiroquai yang cocok diputer di rave party, atau, kalau bagi saya dan Dita, puter pagi-pagi, maka kamu bakal ke kamar mandi, milih baju dan dandan dengan happy.
Tapi, Foster the People sepertinya tidak main-main dengan album debutan mereka, “Torches”. “Helena Beat” dan “Houdini”, dua single andalan mereka selanjutnya, sepertinya sudah jadi the next have to play para DJ. Rahasia mereka, sekali lagi saya ingin bilang, ada pada synthesizer dan kecerdasan memadukan riff gitar, dentuman drum, suara yang unik, dan, pengulangan frase yang menjadikan satu lagu terasa tepat. Yes, this is “IT”.
Khusus untuk vocal, mari kita sebut Mark Foster ini jenius. Saya nggak ngerti kenapa dia bisa menyanyi dengan seperti itu. Iya, saya suka para vocalis yang bisa menyanyi dengan suara falsetto sedemikan rupa, dan dia melakukannya sesekali, lalu kembali pada suara normalnya, lalu kadang-kadang dia terdengar seperti anak kecil dan lalu kembali pada suara aslinya lagi. Man? Iya, ini subjektif saya saja. As a vocalist, he should be like that. Dan saya juga bakal bilang, senyumnya angkuh, rambutnya berantakan, matanya acuh, dan mukanya tipe “babyface”, dan, semua perempuan suka laki-laki semacam itu. Dan dia mendirikan band ini setelah masa-masa depresi ketika dia berusia 21 tahun. Tiba-tiba saya merasa, dialah Robert.
Dan, maka, “Torches” adalah tentang semua yang terjadi pada seorang Roberts. Seorang yang gelisah, ketakutan, misterius, perokok akut, dia mempunyai pistol, dan dia siap menembakan pistolnya ke siapapun, ayahnya, saya, bahkan kamu. Usia Robert ada di kisaran 21 hingga sekitar 25-an. Seperti saya, ataupun kita, dia marah, dia bersaing, dia sempat kalah, dia juga pernah ingin tidak kelihatan, dia patah hati, dia tergila-gila, dia jatuh cinta, dia dihianati, dia berteman, dia berpesta, dia banyak ingin tahu, dan Robert juga orang yang kuat, dan tahu bahwa hidup ini adalah miliknya dan dia tahu apa yang dia mau dan apa yang harus dia lakukan. Dia bilang, “I’m a superman and it's my show” (Colors in The Walls).
Itulah kenapa saya mendengarkan mereka.
Walaupun, sejujurnya saya merasa semua lagunya adalah tentang menjadi “lelaki”. Saya merasakan beberapa sifat-sifat laki-laki tergambar dari lirik-lirik yang ada di beberapa lagu di album ini, dalam bayangan saya, itulah pikiran Robert. Misal, dalam “I Would Do Anything For You”, saya merasa itu adalah gombalan-gombalan sesat banyak laki-laki di dunia yang sesungguhnya bakal bikin perempuan manapun klepek-klepek. Dan, saya berani bertaruh, setiap laki-laki pernah melakukan sama seperti apa yang dia lakukan. “Now I understand upon myself. Never want again in the way I said it. I don't know what the plan is but you can share, with me. Cause I'll be listening ear. To everything you say I won't turn away. And I'll listen up and out my heart and I must say, that I love you so”. Ya, laki-laki kadang nggak tahu caranya ngomong ke perempuan, kadang, pasti kalian diprotes oleh para perempuan, “Hei, aku nggak suka loh, cara kamu ngomong kayak gitu, bisa nggak sih, lebih halus…?”, maka, kalian pasti akhirnya lebih memilih untuk diam dan mendengarkan, daripada salah ngomong, atau bagaimana pada akhirnya kalian hanya akan “Iya, iya, dan iya…”. Ya, karena satu alasan, laki-laki seperti itu mencintai perempuannya. “Ooh La La I'm fallin' in love and better its this time than ever before. Ooh La La I'm fallin' in love and better its this time than I've ever known.” (I Would Do Anything for You)
Atau bagaimana Robert yang sedikit (atau banyak) egois dan ambisius. Dalam “Hustling (Life on The Nickle)”, mereka bilang: “You got to push, got to shove. I've got to eat before they eat me”; “I'm the king of the city. I'm a roach and they're all primates. This is meal time. Real life”; “I've been right. I've been wrong. My smokes have come and gone. I've been crazy. Been fed enough to not wind up dead. And I'm lonely. My eyes have been closed to the world. Cause the world's got nothing for me.” Man? Those things show who you are. Seriously.
Jika “Torches” (bagi saya), adalah tentang hidup dan masalah-masalah si Robert. Maka dalam single “Love”, di sana ada Mark dan Sarah. Mark dan Sarah yang jatuh cinta, di sini tak ada Robert dan segala kegelisahannya.
Dan saya kira, Foster the People, memang sengaja mengajak kita keluar sebentar dari segala kegelisahan yang disadari ataupun tanpa disadari, mengepung kita sehari-hari. Seperti Robert yang diam-diam memiliki senjata dan bersiap membunuh siapapun, kita juga memiliki “senjata” itu. Maka, mereka juga memiliki “Call It What You Want”, “Warrant”, “Waste”, dan “Broken Jaw”. Atmosfir yang mereka bawa mengajak kita keluar dari kepungan tembakan di luar sana, seperti sebelumnya saya bilang, bahwa mereka memabukan dan absurd. Dan, kadang kita ingin melakukan banyak hal yang memabukan dan absurd itu, kan? “I've broken every law. All the words come out my broken jaw.” (Broken Jaw)
Seperti ketika kita jatuh cinta.
Mari kita coba ikuti kisah cinta Mark (entah Mark yang mana... :p ) dan Sarah yang menyenangkan ini:
“Hello my name is Mark. I play gentleman's games. And I just slip through and creepin'. Through the night's parade, I shake a hand or two, I tip my hat to you. I'm always runnin' and a-jumpin', Like a fool who would do. On through the wild I see, She's sees me. We could be something, it's exciting. I wanna run away. But I don't move, I stay. I talk to her, I say. Y-y-y-you were meant for me. Oh! I can't speak. I think I'm falling in…
LOVE, LOVE, LOVE. It could be a wonderful thing. Like love. It make you crazy…
LOVE, LOVE, LOVE. It could be an incredible thing. Like love. Make you happy. It's amazing…
Sarah, she's a cougar. Got moves like barracudas. On the hunt for the runs. That left gone the twenty-to-yas. Got her head up high. High heels that match her thighs. And she be spending lots of money. Her friends, think she's real funny. She used to say "look at me", "you will see that I'm a queen". Got experience to give up. Like you never lived. But all the boys just run. She never has a fun. Oh yeah, but Sarah. She don't care, she keeps looking. Cause she's hoping for…
LOVE, LOVE, LOVE. It could be a wonderful thing. Like love. It make you crazy…
LOVE, LOVE, LOVE. It could be an incredible thing. Like love. Make you happy. It's amazing…
I got the fever. Got the fever. Got the fever. She's got the fever. Got the fever. Yeah, finally love. He's got the fever. Got the fever. Got the fever. The've got the fever. Got the fever. Yeah finally love…”
---
Dear, Robert and Mark
Yeah, you will see that I'm a queen.
Regards,
Sarah.
jujur, saya tidak begitu tau tentang Foster the People karena memang jarang mendengarkan musik mainstream. teman2 memang banyak yg sudah mendengarkan lagu2 mereka (yg 'Pumped Up Kicks' tentu saja), dan bahkan, sepupu keponakan yg masih duduk di bangku SD pun senang dengan lagu ini. namun saya belum pernah mendengar 1 pun lagu mereka. haha.. hingga akhirnya saya pun penasaran dan mendengarkan lagu mereka lewat youtube setelah membaca blog di atas.
ReplyDeletesaya pun juga sempat heran, kenapa band yg (meminjam istilah di atas) main dari pub-ke-pub tiba2 bisa terkenal dan menjadi mainstream sperti ini. apakah karena Glee memainkan musik mereka??? hehe
setelah mendengarkan Foster The People, saya pun menjadi ingat akan Two Door Cinema Club. entah kenapa, tapi menurut saya musik mereka hampir sama. band indie yg muncul di era myspace ke sini, dengan permainan bass yg kental, dan ditambahi sedikit synthesizer.
dan setelah membaca tulisan di atas, terbesit juga dipikiran, apakah ini yg namanya post-punk revival?? mengingat, cerita yg digambarkan di atas sangat berhubungan dengan cowok yg 'rebel', dan musik synthesizer.
namun apapun label yg diberikan, tetap saja Foster The People menjadi salah satu band indie yg sukses di era sekarang ini.
Kebetulan baru pernah denger Two Door Cinema Club yang What You Want...dan, mereka jg pernah ke Indonesia yah...
ReplyDeleteHm,
mainstream dn non mainstream, bakal sejauh mana sih kita mengukur mreka? Aku kira FTP tadinya adlah indie jga, mungkin karena mereka lagu mereka masuk chart top40, di indonesia diputer sama prambors, dan, diar, konsernya pasti bakal penuh...? Tp ttep mereka g semainsteam Katy Perry kayaknya....:)
Post-punk revival?? *aku nggak ngeh dg istilah2 itu.
Jadi keinget, kalau sempet dengerin Club8, dan mereka indie juga loh... Tp nyatanya, byak yg dengerin mereka. Atau MEW deh, ttp byk yg dengerin mereka jga, how?
Ttg shintesizer, setuju kl itu tambah mewabah pasca myspace, kl yg ckup berhasil, setahuku sih Owl City...hhhe,,wlopun mungkin buat bbrapa orang yang suka efek2 musik yg kaya dn klasik, musik hasil synthesizer bkn pilihan.
But, hei, bukannya paling asik tu, ngedengerin satu lagu yg kerasa enak di telinga kita??
mungkin sekarang ini ukuran mainstream dan non-mainstream itu diukur dari populernya seorang artis/ sebuah band dan tentu saja label yg menaunginya. klo artis/band tersebut sering bersliweran dan beredar di televisi dan radio, atau majalah2 dan berita2, maka bisa dibilang itu mainstream.
ReplyDeleteklo sekarang indie itu malah jadi kayak suatu 'genre'. genre yg tentu saja memiliki suara yg berbeda dari genre pop/rock mainstream. tp bisa juga artis/band disebut indie, karena label mereka jg bukan label mainstream.
contohnya seperti yg disebut, Club 8 dengan indie pop swedianya. di Indonesia memang terkenal, (karna dulu juga pernah konser di sini) namun musiknya khas indie pop. untuk alasan mew sama juga dengan alasan Club 8.
saya jg tau istilah post-punk revival dr temen. blm tau dengan mata kepala sendiri, band2 yg termasuk post-punk revival. intinya, musik post-punk (musik era 80an) yg diangkat ulang di tahun2 sekarang ini.
setuju, Owl City memang berhasil merakyatkan musik synthesizer. mungkin klo nyari yg setipe bisa dengerin Lights. mirip Owl City tp versi cewek.
hehe.. setuju juga dengan ini. paling enak itu ngedengerin satu lagu yg kerasa enak di telinga kita.
iya, pernah tahu, mbedainnya, dari buzzing media sama label. ehm,,aku nggak mudeng kalo harus mbedain kayak post-punk2 gitu deh mas...:)
Deleteaku juga dengerin Katy Parry kok, yah, gitu deeeh... yang enak di telinga... :)