Wednesday, January 18, 2012

...discount up to 80%


“Discount up to 80%”. Perempuan mana yang tidak berhenti, membaca, dan kemudian tersenyum setelahnya?

Perkara langkah selanjutnya adalah masuk ke dalam toko atau memilih mengabaikan, saya percaya, ini semua tergantung kadar keimanan tiap orang. Jika seseorang masuk, lalu membeli apapun yang di-diskon-kan itu, barangkali sebagian dari kita akan menyebutnya kalap atau sebagian yang lain akan bilang, “Kamu beruntung, bisa dapet potongan 80 persen.” Atau jika seseorang memilih untuk masuk, ikut terbawa suasana, tapi tidak membeli apapun dengan berbagai alasan, akan muncul dua komentar juga, pertama pasti dia memang tidak membutuhkan benda-benda diskonan itu, kedua barangkali dia memang tidak tertarik, meski kadang dalam perjalanan pulang akan terbesit semacam perasaan menyesal berlebihan, “Seandainya tadi aku beli…”. Terakhir, golongan orang yang tidak akan terlalu peduli dengan berbagai macam diskon, hanya ada satu alasan: dia hanya membeli apa yang dia butuhkan, berapapun harganya. Tapi akan lebih baik jika dapat diskon.

Itulah kenapa saya tidak terlalu suka ke pusat perbelanjaan jika memang tidak ada tujuan, karena iman saya lemah. Bisa dipastikan hingga batas 75%, jika ke pusat perbelanjaan saya bisa saja menenteng satu bawaan untuk dibawa pulang. Entah hanya sebatas bros kecil sampai kaos tidur, atau memakan makanan yang tidak perlu saya makan. Hingga akhirnya saya sadar, banyak hal yang tidak perlu saya beli pernah saya beli. Dan itu tidak boleh diteruskan. Pertama, itu tidak terpakai dengan maksimal. Kedua, banyak hal lain yang lebih saya butuhkan. Saya menyadarinya dalam setahun belakangan, dan, saya mencoba untuk tidak bodoh.

Atas dasar apa kita membeli sesuatu tanpa berfikir panjang, mungkin kita akan menjawab: lucu (teman saya pernah bertanya berkali-kali, “Atuna, tolong, definisikan lucu…”). Kedua, ada cukup uang di dompet atau kartu kita. Maka terjadilah, kita belanja berkali-kali, lalu menyadari berkali-kali, bahwa kita sudah memiliki hal yang sama tanpa terpakai dengan maksimal.

Walaupun saya dari dulu juga bukan golongan “shopaholic”, tapi entah kenapa, pada satu hari saya tersadar, saya memiliki beberapa tas dengan model yang sama. Jangan bayangkan saya punya ratusan tas, tidak, tapi tiba-tiba bagi saya itu menjadi berlebihan. Mungkin akan lebih baik jika saya membeli tas dengan model berbeda dan lalu saya bertanya, “Kenapa saya membeli tas yang sama padahal saya tahu saya sudah memiliki model serupa sebelumnya?” dan “Kenapa saya membeli tas, padahal saya tahu, masih ada tas lain yang bisa dipakai?”. Lalu saya punya jawaban, “Karena motifnya berbeda”, “Karena bahannya berbeda”, “Karena lagi diskon”, “Karena warnanya berbeda”, “Karena lucu aja…”. Lalu saya sadar, saya harus berhenti membeli tas pundak dan tas-tas macam apapun lainnya. Itulah wake-up call yang membangunkan saya. Selain kenyataan bahwa, bergant-ganti tas juga bukan hal yang akan menandakan hal baik dari diri saya. Dan, toh kebanyakan tas itu juga tidak terpakai.

Tapi, tetap, musuh terbesar adalah kalimat “discount up to 80%”.

Sebelum akhirnya, dari beberapa kali pengalaman, saya menemukan beberapa hal tentang ini, alasan untuk tidak tertarik penawaran diskon (berapapun): pertama, barang diskon, apalagi kalau bukan barang promo (produk baru), biasanya adalah produk sisa dengan kualitas rendah, apalagi kalau diskonnya sangat besar. Oke, akan ada yang bagus, tapi itu adalah satu banding sekian, kalau memang tertarik, memilihlah dengan culas, misal itu baju, perhatikan sampai detail jahitan dan ukuran. Kedua, jika itu adalah produk model terbaru, perhatikan harga dengan seksama. Akan ditemukan harga yang sama dengan barang serupa dengan range harga di kisaran sama. Misal, kita membeli celana merek Coolteen di kisaran harga normal antara 150.000 hingga 200.000, dan, pada harga diskon akan dinaikan hingga 400.000, benar? Dan ini juga berlaku untuk bonusan macam “beli 2 gratis 1”. Dua alasan itu cukup memberikan gambaran bahwa diskon itu menyesatkan.

Dan, akan lain cerita jika kita bisa menyesuaikan “kesesatan” diskon dengan kebutuhan kita. Akan lebih bijak jika kita memanfaatkan diskon dengan kebutuhan kita.

Misal, ehm, ingat diskon beberapa produk F&B dan toiletries di supermarket tertentu? Biasanya akan ada diskon atau bonus jika kita membeli satu set perawatan dari satu merek tertentu, ini bisa dimanfaatkan, karena biasanya, produk-produk itu akan melakukan semacam ‘branding’ per empat atau enam bulan sekali, sehingga memungkinkan mereka mengadakan promo, dan belilah produk dengan ukuran terbesar. Mungkin kita akan mengeluarkan uang lebih besar, tapi, produk ukuran besar akan lebih lama habis. Atau, justru, kalau tidak mau mengeluarkan uang terlalu besar dengan sekali belanja. Lakukan sebaliknya, belilah satu, hanya saja, belilah di warung atau eceran. Pertama, itu akan (terasa) lebih murah, kedua, kita akan membantu pedagang warung untuk terus menjalankan usahanya. Sesungguhnya, penjual di warung itu lebih manusiawi daripada supermarket. Mereka tidak memberikan janji-janji palsu macam diskon-diskon itu.

Atau, jika kita membutuhkan sesuatu dan belum mendesak, tahanlah keinginan mendapatkannya sampai musim diskon. Kapan musim diskon yang sehat? Bukan lebaran atau hari kemerdekaan, tapi akhir dan awal tahun. Kenapa, khusus untuk produk fashion, itu adalah akhir dan awal tren. Pertama, tren sebelumnya harus habis, nah, ini, bagi beberapa orang yang harus mengikuti tren mungkin bukan pilihan, tapi, kalau mau pintar, pilihlah produk yang lebih klasik. Kedua, awal tren memungkinkan adanya promo ‘new arrival’.

Tapi, pada akhirnya, kata “diskon”, “bonus”, atau “potongan” dan lainnya itu tetaplah akan menarik mata untuk sekedar membaca atau melangkahkan kaki memasuki toko. Tapi, pemilik kendali atas tangan kita yang akan menarik sejumlah uang atau mengeluarkan kartu adalah diri kita sendiri.

Kunci utama, yang tengah dicoba saya dan teman saya Intan adalah: pertama, kalimat “Butuh nggak, butuh nggak, butuh nggak?” Jangan hanya karena gelas berwarna kuning, lalu saya membelinya, padahal gelas saya sudah kuning. Dua, hindari komentar “bagus”, kalau itu nggak bagus. Patok standar kita, patok benda atau produk seperti apa yang paling “pas” dengan kebutuhan kita, apapun, termasuk merek sabun, mi instan, baju, tinta printer, atau bahkan gadget. Ketiga, buat list ketika akan belanja, terutama untuk barang-barang kebutuhan. Jangan sampai membeli kopi satu pak, padahal kamu nggak minum kopi. Keempat, patok budget. Berapa besar uang yang kita siapkan untuk sepasang sepatu, tentu ini akan berbeda tiap orang, dan pastikan angka yang kita pertaruhkan adalah yang tidak akan membuat kita puasa seminggu, hanya karena sepatu yang sama dengan yang pernah kita punya. Kelima, pergilah ke pusat perbelanjaan hanya ketika kita “butuh” sesuatu. Keenam, percaya diri. Kita pasti lebih tahu apa yang kita butuhkan ketimbang toko dengan merek apapun. Jangan percaya begitu saja pada penawaran mereka.

Tentu, ini juga adalah pesan untuk diri saya sendiri hasil mencoba belajar dari saya sendiri dan beberapa orang di sekita saya. Meskipun saya belum berhasil sempurna, tapi, prosentase keberhasilannya sudah “up to 80%”, loh. Mari kita coba lagi…

No comments:

Post a Comment