Thursday, January 5, 2012

...sibuk!


Pada satu sisi, entah di mana, di dalam ruang terdalam dirinya, dia, perempuan itu, sesungguhnya tidak bisa. Dia menangis sendirian di tengah malam. Terisak, teramat sangat. Menutup mukanya dengan bantal bersarung biru. Tangisnya tak bersuara. Menahan sesak yang terus dibebat. Diam. Dia bangun. Mencari minum. Suaranya hilang. Tersengal. Dia tak pernah ingin menangis seperti itu.

Menyalakan lampu. Menatap bayang mukanya di depan kaca. “Jeleknya”. Itulah kenapa dia selalu ingin tertawa…

Lama dia menahan sesaknya. Hingga satu masa ketika entah apa membuatnya menangis. Lagi. Membuatnya tiba-tiba diam tak bersuara. Mengarahkan pandang matanya di satu titik entah di mana. Di satu titik ketika dia memiliki semuanya. Diam. Diam. Dia hanya diam. Dan dia kembali menangis. Dia tetap menangis dalam diam.

Aku hanya memandanginya kebingungan. Dia menangis di mana saja. Bahkan ketika kita makan bersama. Setelah tawanya yang lepas dan guraunya yang lugu. Tiba-tiba dia diam. Menceracau pada satu masa ketika dia memiliki satu nama. Lalu kita diam. Kita sadar. Sama-sama tahu. Dua detik setelah ini, dia akan diam dalam waktu yang lama. Tangannya berhenti mendorong nasi ke mulutnya. Dia akan diam. Meminum habis air di gelasnya. Lalu aku akan melanjutkan makan. Dan dia akan kembali. Menangis dalam diam.

Dan kita makan setiap hari. Dan dia melakukannya setiap kali.

Lalu dia bertanya padaku tentang:

“Kamu tahu, betapa sulitnya perpisahan yang dilakukan sendirian?”

Aku diam. Menatap mata bulatnya. Matanya bicara lebih banyak daripada mulutnya yang sekarang lebih banyak diam.

“Tidak ada sepasang mata lain yang mampu meyakinkan bahwa ini memang sudah usai. Tidak ada kata, peluk, cium, atau langkah beranjak pergi, yang mampu menjadi penanda dramatis bahwa sebuah akhir telah diputuskan bersama.”

Aku masih diam. Dia diam. Tunggu lima detik. Dia akan mencari tisu dari dalam tasnya. Lalu aku akan membantu mengambilkan barang satu ada dua helai untuknya. Menenangkan tangannya yang gemetaran dan nafasnya yang mulai tersengal. Bola matanya memerah. Iya, dia menangis. Menyekanya sendiri. Mencoba memberi senyum terbaiknya. Menggigit-gigit bibir bawahnya. Menelan ludahnya sendiri.

“Atau sebaliknya, tidak ada sergahan yang membuatmu berubah pikiran, tidak ada kata ‘jangan’ yang mungkin, apabila diucapkan dan ditindakkan dengan tepat, akan membuatmu menghambur kembali dan tak mau pergi lagi…”

Kali ini dia tersenyum. Matanya kembali mencari sesuatu entah di mana yang seperti pernah dimilikinya. Aku ambilkan kembali tisu untuknya. Kali ini dia benar-benar menangis. Air mata keluar dari mata mataharinya. Dia kembali menggigit-gigit bibirnya. Lalu dia mencoba tertawa dan menyeka air matanya.

“Kamu pun tersadar, itulah perpisahan paling sepi yang pernah kamu alami.”

Dia diam. Lama. Dua menit. Mengerjapkan matanya berkali-kali. Tersenyum. Dan lalu aku juga ingin menangis. Menangis sekeras-kerasnya. Untuknya.

“Kenapa aku memilih menangis di sini? Biar aku tak menangis lagi, karena malu mereka semua melihatku. Atau biar mereka semua tidak pernah tahu, kalau aku menangis karena kehilangan sesuatu. Karena yang mereka tahu, aku menangis karena makanan ini terlalu pedas…”

Dia tertawa. Aku tertawa. Kita tertawa.

Tapi aku tahu. Nanti malam. Besok, atau entah kapan. Dia akan mengirim pesan padaku, “Aku nangis lagi. Ini sulit”. Aku tahu aku harus kejam padanya. Biar dia, perempuan itu, tak perlu menangis lagi. Barusan aku jawab pesannya, “Sibuk!”

Setelah itu, dia akan tertidur. Membalas pesanku, “Iya. Nggak jadi nangis.”

Tapi aku tahu, benar-benar tahu. Dia menutup wajah mataharinya di bawah bantal bersarung biru. Di sampingnya, satu boks tissue berwarna kuning. Lalu dia menyimpan handphone dan semuanya di satu laci kamar. Besok pagi, suaranya serak, matanya sembab. Dan kita akan sarapan bersama. Tapi dia berlagak tertawa secerah matahari pagi. Padahal, kau tahu, dua minggu ini pagi selalu mendung. Matahari tak ada cerah-cerahnya. Jangan pernah menirunya.

No comments:

Post a Comment