Laki-laki itu raja kata-kata. Baginya, kata-kata adalah
segala-galanya. Seperti rakyat yang setia membayar pajak dan memperkaya
dirinya. Hingga akhirnya ia bisa memainkan kata-kata selayaknya serdadu yang
siap mati dalam perang dan menjadi kebanggaan. Di atas kepalanya, terhias indah
dan sedikit angkuh sebuah mahkota, terbuat dari kata-kata.
Kata-kata menjelma menjadi sepiring nasi lengkap dengan
telur dadar setengah matang dan segelas susu putih kental manis, serta segelas
lagi air putih. Juga menjadi sebuah apel merah setengah termakan, tak pernah
habis, seperti Adam barangkali kemudian melempar apel yang baru setengah
termakan, ketika ia sadar bahwa apel itu akan membuatnya tak kembali ke surga.
Setiap pagi kata-kata tertata rapi dalam sebuah meja bundar
berkursi lima. Dari situlah kata-kata memulai hari untuk berkelana dan menjadikan
semuanya berakhir kacau, hancur, dan indah bersamaan. Laki-laki itu menjadi
satu-satunya orang yang duduk diantara empat kursi lain yang dibiarkan kosong,
karena memang tak ada satupun orang lain yang mau menemaninya sarapan dengan
kata-kata. Laki-laki itu, sebentar lagi akan menguasai dunia dengan kata-kata.
Dengan jas berwarna hitam, dasi biru bergaris-garis biru tua, serta pantofel
buatan Itali, ia bersumpah akan menguasai dunia dengan kata-kata.
Ialah si raja kata, si raja yang hanya senang menguntai
kalimat, tak peduli itu dosa atau pahala. Baginya, membuat jutaan rakyatnya
percaya adalah segalanya. Menjadikannya daulat sebagai raja. Satu-satunya raja.
Yang akan membawa negara bangsanya pada masa depan bercahaya. Cukup dengan
huruf-huruf yang tertulis pada lembaran surat kabar yang tak lebih hanya akan
menjadi alas tidur pengemis di malam hari yang basah pada sebuah emperan toko.
Majalah mahal yang hanya dibeli karena si empunya merasa tak cukup elit jika tak berlangganan, tiap tahun ia akan mengepak
kumpulan majalahnya dan meloaknya, hingga seorang mahasiswa tak berdompet tebal
membelinya kembali lalu bersumpah serapah atas segala kata-kata tak berguna di
dunia.
Si kotak empat yang mampu berkata-kata itu juga
menyiarkannya. Dihantarkan oleh seorang pembaca berita yang tak lebih seperti
biduan, berbaju merah dan mengenakan rok pendek. Tak lupa gincu merah, semerah
darah. Kurang seksi apa dia di layar kaca? Ia, si pembaca berita yang jelita,
bercerita tentang rajanya yang baru saja membuat rangkaian kata dan
menyisipinya dengan nada-nada dari tuts piano, petikan gitar, dentuman halus
drum, dan sesekali tiupan saksofon. Si raja tak sadar, ia baru saja merusak
nada dan irama. Tapi si jelita tak mau mengatakan yang sebenarnya, ia tak mau
merusak wibawa si raja, ia terus-terus saja memuji dan memuja. Ia bahkan tak
tahu jika air ludahnya sedikit demi sedikit muncrat dan mengotori bross
berbentuk setangkai bunga mawar di dadanya.
Di satu warung internet, seorang pemuda membuka sebuah situs
berita. Si raja mau menikahkan putri bontotnya. Di mesin pencari semua tentang
nya. Lagi-lagi si raja berkata, bahwa ini perkawinan agung untuk negara. Kelak,
si putri dan calon suaminya akan turut membangun negara. Mereka akan turut
merumuskan kebijakan ekonomi negara dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Si
putri berjanji tak hanya akan menjadi bintang iklan shampoo berambut indah,
tapi juga memikirkan bagaimana menyelamatkan jutaan anak di negerinya agar tak
lagi kelaparan, selain dia akan mencoba untuk melahirkan anak-anaknya tepat di
hari kemerdekaan.
Raja kata terus berbicara. Ia keluar di mana saja. Ia
mengeja A hingga habis semua huruf disusun menjadi sebuah kata untuk
dijadikannya pidato esok lusa. Pelan-pelan, kata-kata menjadi makanan yang
setiap hari dimakan semua orang. Entah nutrisi entah racunnya, kata-kata terus
mengikuti laju darah menuju hati serta otak. Di otak, kata-kata turut membangun
rencana. Di hati, kata-kata disaring racunnya.
Terlalu sering kata-kata beterbangan tak berguna. Semua
orang turut berkata-kata saja. Tak mau lagi memahami makna. Lagi dan lagi,
kata-kata menjelma menjadi udara yang diam-diam dihirup semua warga. Dari penjagal
sapi, hingga pengawal raja. Tak tahulah apakah rakyat mencintai si raja yang suka
berkata-kata. Belakangan, beberapa orang mulai gerah dengan hantaman kata-kata.
Mereka berkata bahwa kata-kata hanya citra. Mereka membrondong balik dengan
kata-kata. Turut serta menyesaki lembaran berita dan gambar bergerak yang bisa
bicara. Dunia semakin penuh dengan kata-kata. Si raja hampir menguasai dunia…
***
Seorang gadis tuli dan buta hari ini akan belajar tentang
matematika. Ia meraba-raba rangkaian titik-titik timbul dan tertawa-tawa.
Seorang guru yang hampir gila karena kata-kata memperhatikannya sembari berdoa:
semoga dia tak pernah sembuh dari tuli dan buta, biar dia tidak ikut gila. Dia
yang akan menyelamatkan dunia…
Si raja tak akan mampu menguasai dunia, seutuhnya.
[]
(Solo, Februari-November 2011)