Jika saja ini bukan tentang satu
generasi yang cukup berpengaruh, mungkin film ini tidak akan ada apa-apanya selain
tentang: sebuah perjalanan terburu-buru seorang penulis muda yang, maaf, naif.
Tapi ini adalah adaptasi dari salah
satu karya yang tak terlupakan dari novel berjudul sama karya Jack Kerouac. Dan lalu pun kita akan tahu, bahwa kisah yang ada di sini adalah sebuah
pengalaman pribadi yang sang penulis coba bagi. Tentang masa muda Kerouac,
tentang kisah perjalanannya, tentang seorang pelopor Beat Genaration: On The Road.
Kita akan bertemu Sal Paradise (Sam
Riley), yang baru saja kehilangan ayahnya. Saat itu akhir medio 40-an. Sal seorang
penulis, dan ia sadar benar akan menulis sesuatu yang penting. Kita juga akan
bertemu dengan Carlo Marx (Tom Sturridge), kawan Sal sesame penulis. Dan selanjutnya,
kita akan berkenalan dengan Dean Moriarty (Garrett Hedlund) dan Marylou
(Kristen Stewart). Mungkin awalnya Sal belum tahu, perkenalan mereka akan
menjadi catatan penting baginya.
Meski ini kisah Sal, bintang yang
sebenarnya di sini adalah Dean Moriarty. Dean Moriarty, yang hanya dengan
mengucapkan namanya saja, kita akan mengingatnya sebagai seorang laki-laki
menyebalkan tapi diinginkan. Rapuh dan selalu mengingkarinya. Dan naif.
Kata “naif”, juga terlintas jika
mengingat karakter Sal. Bagaimana dia memuja Dean, sebagai seorang sahabat yang
mengajarkannya tentang mendapatkan kebebasan, sayangnya tergambarkan terlalu
naif, jika tidak mau menyebutnya bodoh.
Ini memang kisah nyata. Di mana Kerouac
dan sahabat-sahabatnya, termasuk Neal Cassady, karakter asli dari Dean Moriarty.
Dan di kisah nyata ini, seperti halnya kenyataan pada umumnya, ada relasi-relasi
rumit yang unik. Jika memang pencarian jati diri menjadi tujuan Sal, maka kisah
pertemanan dan cinta menjadi jalan untuk sampai. Tapi jika jati
diri itu pada akhirnya mewujud pada sebuah buku, maka kisah-kisah dalam film
ini sekaligus sebagai kendaraan tempat Sal menumpang dan bertemu
teman-temannya.
Sayangnya, kisah yang, bahkan Francis
Cappola merasa kesulitan menuliskan naskahnya, maka Walter Salles sepertinya justru
lebih kesulitan lagi untuk menerjamahkannya menjadi bahasa film yang utuh. Setelah menyelesaikan filmnya, saya merasa membutuhkan emosi yang lebih padat di sana.
Karena pada kenyataannya, kita hanya akan berpindah dari satu lokasi ke lokasi
lain, dari satu pesta ke pesta lain, dan dari kuasa Dean ke kuasa Dean yang
lain.
Mungkin seseorang akan bertanya, “Bukankah
memang ceritanya demikian?” Ya, bisa jadi. Tapi sepertinya ketampanan para
karakternya saja tidak cukup. Hedlund terlihat begitu biasa. Pun dengan Riley
yang justru terlihat, sekali lagi, naif. Begitupun dengan begitu banyaknya
lokasi yang harus dikunjungi. Emosi-emosi tentang satu tempat yang bisa jadi
menjadi lebih personal dan indah, terlalu cepat berlalu tanpa reaksi berarti. Terburu-buru dan tak mendapatkan apapun. Bahkan pada bagian yang menurut
cukup emosional, seperti pada pertemuan Sal dan Terry, seorang petani kapas
yang ia kenal di bus.
Saya justru menyukai bagaimana Stewart
memagang kendali atas dirinya di sini. Saya suka Kristen Stewart yang tahu
bagaimana caranya harus membuang muka untuk sesuatu hal tidak terlalu penting atau
ketika terluka tanpa harus menangis. Ups, saya hampir bilang kalau saya tidak suka
Stewart yang bingung memilih antara vampir tampan atau manusia srigala seksi,
tapi saya baru ingat, saya hanya sempat menonton "Twilight" setengah jam.
Untungnya, Salles tidak lupa untuk
memberikan gambar-gambar indah yang membuat siapapun ingin keluar
dari kamarnya. Menjelajah tanah-tanah tak dikenal. Dan kemudian kembali, pada
satu tempat bernama rumah. Untuk kemudian merasa begitu kaya, dan membagikan
kekayaan itu dalam sebuah karya.
Ya, setidaknya kita tahu, Sal
menuliskannya.
Kini justru saya bertanya pada diri
saya sendiri, “Bagaimana jika memang film ini menginginkannya demikian adanya?” Bisa jadi.
No comments:
Post a Comment