Saya
percaya, cinta itu, tidak serumit yang pernah saya bayangkan. Pada saat
menonton film ini.
Iya,
saya kira cinta itu agak rumit. Meski ajaib. But, hei, life has its magically things, isn’t it? So love too.
Sedikit
demi sedikit, dan meski hanya sedikit, kita akan mengingat detil-detil kecil
ketika kita kecil. Donat rasa cokelat, gula bubuk yang bertaburan di seragam
pramuka, makan bersama si eyang yang beranjak menua, melepas sepatu dan berlari
ketika hujan, pacar pertama?
Dan
bukankah kita melakukannya hingga sekarang? Apa bedanya dengan menabung untuk
menonton konser grup idola dari gaji yang tak seberapa. Makan yang tetap saja
belepotan. Ingin selalu punya teman, meski kadang-kadang lebih senang
sendirian. Bertengkar dan saling menyalahkan, pergi begitu saja, lalu datang
kemudian hari saling mengakui kesalahan, memaafkan, dan semuanya menjadi biasa
saja untuk kemudian bertengkar lagi di suatu hari nanti.
Kita
tetap saja melakukannya. Meski ukuran celana telah berubah. Meski jumlah pacar
kian bertambah. Meski adik-adik sepupu yang masih SD menganggap kita begitu
mempesona karena kita telah dewasa. Padahal kita sama saja. Kita hanya tak lagi
memakai seragam dan berlari ke ketiak ayah kita ketika tak ada teman untuk
bermain bersama.
Tapi
satu hal membedakan antara kita sekarang, dan kita sepuluh tahun lalu:
sepertinya kita terlalu banyak berfikir beberapa tahun belakangan. Saya sih,
kalau kamu?
Nyatanya,
Sam (Jared Gilman) dan Suzy (Kara Hayward), dua bocah dua belas tahunan ini
berani menikah tanpa banyak pikir panjang. Tidak, sebenarnya poin utamanya
bukan tentang berani menikah atau tidak. Yang menjadikan “Moonrise Kingdom”
karya sutradara Wes Anderson sebagai komedi satir, indah, sekaligus ironis
adalah peran-peran dewasa yang, ya, semakin tua kita akan semakin terlalu
banyak berfikir dan menjadi kian rumit.
Kekacuan
di kelompok pramuka pimpinan Scout Master Ward (Edward Norton) yang begitu
teratur menjadi kacau ketika satu kursi kosong tak berpenghuni ketika sarapan
bersama. Satu anggotanya hilang. Laporan diterima oleh Chaptain Sharp (Bruce
Willis), yang kemudian memutari sekitar pulau dengan mobil patrolinya.
Semua
menjadi semakin rumit ketika anak gadis keluarga pengacara ternama di wilayah
situ juga menghilang. Padahal malam semakin larut, dan badai bisa saja datang
kapan saja.
Ya,
Sam dan Suzy, dua anak unik, kalau tidak mau disebut eksentrik, itu telah
memenangkan hatinya untuk perpetualang bersama. Sam yang hangat dan cakap
kepramukaan, Suzy yang dingin dan tanpa emosi. Mengingatkan kita akan indahnya
hal remeh temeh seperti: kenapa harus suka kucing?, Membacakan satu dua cerita kesukaan
sebelum tidur, berdansa pada alunan musik favorit, memasak makanan kesukaan, polosnya ciuman pertama, dan benda-benda kecil yang terlalu identik dengan seseorang yang pernah kita kenal.
Dan,
lalu kita akan bertemu dengan masalah orang dewasa: perselingkuhan, pernikahan
yang mengerikan tapi tetap dipertahankan demi anak-anak tersayang, kesendirian,
penolakan, teriakan-teriakan, dan sekali lagi, terlalu banyak berfikir.
Tidak
dengan cara-cara kasar, tentu saja. Jika tak mau peduli dengan kisah cinta
Willis dengan ibunya Suze, ini akan menjadi kisah kelompok pramuka heroik penuh
humor. Kisah persahabatan yang memenangkan sang protagonis. Kisah cinta pertama
yang berakhir manis. Dan film musim panas dengan gambar, karakter, dan naskah
yang baik.
Sederhana,
menohok dan menyakitkan, tanpa mengajak berfikir terlalu berat.
Ya,
ada baiknya, untuk hal-hal tak penting, kita memang tidak perlu telalu banyak
berifir. Pun demikian untuk hal-hal penting. Karena tanpa sadar, mungkin kita
sedang melakukan hal-hal heroik untuk diri kita sendiri.
_____________
foto dari sini
No comments:
Post a Comment