Pagi ini saya akan berangkat ke Solo. Kereta
saya pagi, sekitar jam tujuh. Jarak dari stasiun dan tempat saya cukup jauh.
Saya akan berjalan dari kost sedikit dan naik trans Jakarta. Selama ini saya
bangun jam setengah tujuh pagi atau jam sembilan. Saya memutuskan untuk tidak
tidur saja dan tetap menyalakan lampu kamar. Kalau saya tidur dan mematikan
lampu, saya khawatir saya akan terlambat mengejar kereta. Meski dengan taksi
tercepat, sepertinya tidak akan dapat mencapai stasiun dalam waktu kurang dari
30 menit.
Hari ke-lima Januari tahun ini. Tahun pertama,
ketika saya merasa lebih menjadi orang yang berguna. Setidaknya, berguna bagi
diri saya sendiri.
Lagipula saya tidak terlalu ngantuk. Tiap Jumat
malam saya tidur pagi. Ya, hari Sabtu terasa begitu berharga. Karena saya bisa
bangun agak siang. Memasak sendiri makanan yang akan saya makan. Dan melakukan
hal-hal menyenangkan lainnya. Termasuk besok. Naik kereta adalah sebuah keajaiban
lain yang bisa saya rasakan.
Barusan, saya menonton kembali film favorit
saya, "An Education". Kemudian membaca-baca postingan lama saya selama satu tahun
kemarin. Lucu, bodoh, dan menyenangkan. Termasuk ketika saya menemukan catatan
di awal tahun 2012 kemarin. Rangkuman singkat tentang momen-momen selama tahun
2011. Tentang menonton konser band lokal favorit, nilai tugas kuliah, sepatu,
mantan pacar yang hanya beberapa saat, sebuah workshop dan ketertarikan saya
akan satu bidang, atau tentang sakit, sakit yang sebenarnya, bukan sakit hati.
Dan, lalu, saya melihat diri saya saat ini. Setidaknya,
satu tahun terakhir. Tidakkah waktu begitu hebat menunjukkan kuasanya? Meski semuanya
bisa saja berubah dalam hitungan detik. Tidakkah ada yang saling berkaitan satu
sama lain? Terangkai begitu apik, memanjang seperti karpet merah yang
mengantatkanmu hingga di istana indah? Meski kita harus selalu bersiap-siap
lari menyelamatkan diri jika istana itu hancur di kemudian hari. Tapi semoga
tidak.
Di awal tahun, minggu pertama sepertinya. Saya
terlalu percaya diri ketika mendapat panggilan tes tertulis satu media lokal di
Solo. Sebelumnya, saya ditelpon salah seorang redakturnya. Saat itu ada
lowongan reporter, jika saya tertarik, masukkan saya lamaran dan contoh
tulisan. Orang sombong memang layak dikalahkan. Merasa cukup spesial karena
berlatar belakang jurnalistik yang begitu kuat, anak komunikasi, anak persma,
tulisan pernah dimuat di koran, rajin ngeblog nggak jelas, pasti saya keterima.
Tapi, nyatanya, saya tidak mendapat panggilan apapun tuh. Jujur, sejak saat
itu, saya merasa khawatir dengan kemampuan menulis saya. Kekhawatiran itu
terjawab ketika saya membaca ulang blog saya barusan. Tulisan saya memang
jelek, kawan. Harusnya saya sadar sejak dulu.
Tapi memang saya mendua sejak sebulan
sebelumnya. Jika empat tahun lalu, keinginan saya tak terhalangi apapun untuk
menjadi seorang jurnalis. Keinginan itu lambat laun menghilang. Mungkin karena
pada dasarnya saya sadar, sebenarnya saya tidak mampu. Banyak hal kecil membuat
saya berfikir dan berfikir ulang untuk menjadi jurnalis. Tanpa mengurangi
sedikitpun rasa hormat saya pada profesi jurnalis. Semacam, warning sign.
Ya, sejak akhir 2011, saya memikirkan ulang
keinginan saya. Yang ada dalam pikiran saya hanya satu hal, biarkan saya tetap
menulis, meski itu hanya menuliskan cerita sehari-hari pada halaman blog. Dan jika
sebelumnya menjadi jurnalis adalah sebuah gambaran untuk mendapatkan uang, maka
semoga saya menemukan jalan lain mendapatkan uang atau karir atau apalah
namanya pada hal lainnya yang saya suka dan mampu lakukan.
Kalau kata novel-novel dan buku motivasi,
semesta mendengarkan dan bekerjasama.
Buktinya saya tidak diterima sebagai
jurnalis. Di manapun saya melamar pekerjaan sebagai jurnalis, tidak ada
tanggapan. Saya melamar di dua perusahaan, di Solopos dan di Femina. Semoga kelak
mereka akan meminta saya untuk menuliskan kolom tentang mode atau film. Amin Tuhan.
Tuhan pake huruf T besar.
Akhirnya, saya memutuskan untuk melakukan hal
paling benar yang bisa saya lakukan kala itu: MENYELESAIKAN SKRIPSI. Karena ternyata
tenggap membayar SPP tinggal sebulan lagi. Berkat doa semua umat, saya
menyelesaikannya. Ternyata mengakhiri satu hal yang kita benci itu benar-benar
menyenangkan. Semacam dengan lantang ngomong ke orang yang kita benci, “Aku
benci kamu, jadi kita nggak perlu berurusan lagi.” Lega. Dan tentu tidak bayar
SPP. Dan mengejar wisuda.
Dan wisuda ternyata gitu-gitu aja.
Mengharukan malah. Saya agak sesek waktu berjalan menuju kursi tempat duduk di auditorium.
“Anjing, besok saya ngapain?!” Semacam sedih, karena ternyata kita mencintai
teman yang kita benci itu. Kuliah, tugas, skripsi, teman-teman. Dan mungkin
kita tidak akan pernah bertemu lagi dengan itu semua, dengan rasa yang sama.
Saya ingin jalan-jalan. Seperti rencana
sebelumnya. Tapi tabungan saya tidak banyak dan saya ingin tidak lagi minta ke
orang tua saya. Entahlah, mungkin semacam ego untuk mengukur diri apakah kita
mampu hidup tanpa mereka. Ego anak muda yang sedang merasa muda, kata bapak
saya.
Tapi justru kesempatan datang mengajak saya
mengenal Solo lebih dekat. Ah, kenapa tidak dipuas-puaskan jalan-jalan di Solo?
Dan benar, ada satu warung tengkleng yang luar biasa ramai yang belum saya tahu
sebelumnya. Kelak saya akan bisa membuktikan kalau saya pernah tinggal di Solo
hampir lima tahun.
Merasakan kembali menjadi anak ayah dan ibu
saya. Kakak bagi adik-adik saya. Sebelum sore bersama koper besar entah berisi
apa menuju Jakarta.
Saya kira, saya akan magang di salah satu
agency besar di Jakarta dulu barang satu atau dua bulan setelah berhasil
mengumpulkan kembali tabungan untuk hidup selama di Jakarta. Baiklah, untuk
pekerjaan yang sama tapi lingkup yang berbeda, kenapa tidak? Toh, menurut
tanya-tanya waktu wawancara dulu, job desk-nya sama.
Saya gagal menjadi jurnalis. Saya juga gagal
magang di Ogilvy, gara-gara ragu-ragu antara mending magang atau mending cari
kerja lainnya. Tapi saya ternyata bekerja di televisi.
Waktu itu saya ngobrol bersama Agung, kawan
adu mulut di Kentingan dulu, kata dia, “Ingat nggak Di, dulu kita ikut Workshop
Metro TV sama Kompas, dan katanya kamu pengen kerja di Metro TV?”. Saya mencoba
mengingat. Walaupun tidak ingat. “Dan di Kompas juga pengen,” kata saya. Waktu
itu saya ketawa tanpa berhasil mengingat. “Dan iya si, kalau mau di TV ya, aku
maunya di Metro si,” lanjut saya. Maksudnya menjadi reporter mungkin yah dulu. Lupa
serius.
Kerjaan saya, eghm, kerjaan yang akan membuat
orang bertanya: itu apaan ya? Agak nggak keren si sebenarnya. Man? Tapi saya
bisa ngrapiin kemeja calon presiden pilihan saya waktu pemilu 2009 lho… Hhhaa, Pak
Jusuf Kalla. Ya ampun, salaman aja saya seneng banget. Kalau 2014 beliau nyalon
presiden lagi, sepertinya saya akan tetap memilih beliau. Siapapun calon
wakilnya.
Hal-hal kecil macam, ruangan yang benar-benar
terpisah dari suasana ruang redaksi tivi, mas-mas Media Indonesia gondrong+drummer+lucu
di sebrang ruangan kalau mau jalan ke kantin, makan siang yang menunya sering
aneh, boleh datang jam 1 siang (kalau mau), tim kecil yang meski di belakang
kadang kesel sendiri tapi solid kalau lagi kerja (macam kentingan yang militant
gitu), orang-orang unik dan luar biasa di ruangan yang selalu bikin ketawa (sekaligus
stress karena kerjaan, kapan-kapan kita bahas satu per satu), dan
kesempatan-kesempatan langka macam: Pak JK itu tadi, sepatu saya dibilang keren
sama Marissa Anita waktu mau shooting promo 8-11, kata dia “Wauuuuww, that’s cute, coooool, I think I’ve to try wakai next time.”
Kata saya, “Ahahaha, *tersipu* you should
mbak…” (ini penting bgt!), atau ngobrolin tentang bonus akhir tahun sama dirut
kantor saya di sela-sela fixing teks marketing gathering (akhirnya saya tahu,
krisis Eropa berimbas pada bonus kawan!), dan Tomi Tjokro itu kalo dari jarak
kurang dari 5 cm itu macam Ariel Peterpan, eh, Noah loh… Dan, Prabu Revolusi
itu kalau pas lagi acara masak di 8-11, dia pasti nongol cuma buat nicipin
makanan, nggak ngomong apa-apa terus pergi gitu aja (ini hasil menonton berhari-hari
sama orang seruangan).
Dan akhirnya. Akhir tahun. Dan, saya tahu ini
tidak mudah.
Saya bosan di Jakarta. Bukan macetnya, bukan
kerjaan saya, bukan orang-orangnya. Sejujurnya saya masih terikat masa-masa
bersama teman-teman saya dulu. Kebetulan saya kadang tidak peduli dengan
ponsel. Saya jarang mengirimi mereka pesan pendek. Saya juga tidak punya
blackberry, jadi tidak bisa ngrumpi di BBM. Sempat rajin bertukar email super
panjang tiap waktu sama Vicky, tapi kemudian sepertinya kita sibuk. Bahkan saya
belum menyempatkan bertemu Kenyo, meski dia sudah tinggal di Jakarta.
Saya menikmati hari-hari saya di sini. Tapi
saya tidak lagi memiliki hubungan-hubungan pertemanan macam dulu ketika saya
kuliah. Kalau dengan orang tua, mungkin karena sudah terbiasa di kost dulu,
sudah cukup bisa teratasi, melalaui telpon mingguan orangtua saya untuk
bercerita hal-hal sederhana. Atau sms ajaib Lulu, seperti misal ketika dia
bertanya tentang soal Matematika atau dia harus nonton Cherrybelle tidak, atau
pertanyaan benar nggak sih, kalau nonton Chibi di Selamanik (kebun binatang di
dekat rumah saya) itu pasti penuh dan panas, semacam itu. Ada semacam ikatan
yang enggan mengendur di sana, bahkan meski kita jarang bertemu langsung.
Waktu saya bilang ke Uqi saya mau ke Solo, seperti
sebelumnya, saya bilang kalau saya bosan. Lalu saya ceritakan apa yang saya
rasakan. Ajaib, ternyata dia juga merasakan apa yang saya rasakan. Mungkin ini
akibar saya dan Uqi sama-sama harus berada di lingkungan yang benar-benar baru.
Dan tentu saja, berpisah dengan kawan-kawan terdekat yang dulu selalu bersama. Ya,
saya sendirian. Si Uqi juga. Dan tentu saja, membangun kualitas pertemanan itu
tidak secepat membalik telur mata sapi di penggorengan.
Saya merindukan kualitas itu. Saya ingin
sekali menemani Vicky menunggu penguji datang menuju ruang ujian. Saya ingin
makan brambang asem. Saya ingin melakukan apa saja tanpa menerima reaksi “Wah…”,
karena teman-teman saya tahu saya suka nggak jelas. Itu yang terjadi dua bulan
ini. Bukan berarti saya tidak nyaman dengan lingkungan saya sekarang. Tapi
memang saya sadar, sebaiknya memang ada jarak yang jelas dalam hubungan professional
pekerjaan dan kedekatan pribadi yang lebih intens.
Atau mungkin, jangan-jangan, karena saya
tidak bertemu teman-teman sebaya ketika bekerja, sementara merekalah yang saya
temui lima hari seminggu? Bisa jadi. Saya ingat, hari pertama saya masuk,
manajer saya bilang, kurang lebih: karena Diyah tidak melalui program
development program fresh graduate, nanti penyesuaiannya secara bertahap. Ah,
tapi saya kira bukan ini alasannya. Banyak orang tidak melalui program DP. Ini kenyataan yang harus saya terima, tentu
saja mereka adalah tim yang hebat. Terlepas masalah usia, toh kelebihannya,
saya justru bisa mencuri ilmu sebanyak-banyaknya dari mereka yang pengalamannya
sudah berkali lipat dari saya. Anggap mereka adalah guru, dan saya adalah murid
yang akan belajar secara langsung. Dan digaji.
Apapun alasannya, ini proses. Saya juga dulu
sendirian di Solo, di tahun pertama menemukan satu sahabat. Lalu bertambah di
tahun-tahun setelahnya. Hingga saya merasa sangat nyaman di sana.
Saya hanya merindukan teman-teman saya. Saya
merindukan Solo.
Kebetulan saya masih menyimpan libur ganti
hari. Kebetulan deadline tahun baru sudah menyusut. Kebetulan Vicky ujian. Kebetulan
saya dapat ijin libur. Dua jam lagi saya ke Solo. Bismillah. Mungkin ini bukan
kebetulan, ini kesempatan.
Jadi, tahun 2012 itu, em, semacam lanjutan
cerita dari tahun 2011 sepertinya. Cerita yang lebih indah dan pelajaran yang
lebih banyak. Pun semoga tahun ini. Dan tahun selanjutnya. Saya sudah memiliki
beberapa rencana, saya tidak yakin akan berjalan dengan lancar. Karena jalan
tol yang mulus pun ternyata rawan kecelakaan. Jadi, biar ceritanya terus
bersambung rapi macam gerbong kereta api sajalah…
Sambil menulis ini dan menunggu adzan Subuh
dari masjid depan kost, “Vagabond”-nya Beirut back to back terus.
Left the vagabonds// A trail of stones// Forward to find my way home now// As the air grows cold// The trees unfold// And I am lost/ and not found// And who knows/ who knows/ who knows///
Sepertinya resolusi tidak lagi penting. Karena
kesempatan selalu datang tak terduga. Dan seringnya, di saat yang tepat. Tapi
kita menyadari setelah semuanya terjadi.
And who
knows? Lets life…
ugh.. aku suka iri dengan orang macam kamu di...
ReplyDeleteyang spontan, tanpa mikir dulu ini itu bikin segepok rencana tapi toh lewat juga
pasti bahagia mau ngapain gak perlu kepikiran ntar gimana ntar gimana ntar gimana.
kepikiran lah aliiiiin... :))
Deletespontan ngambil keputusan juga udah dipikir-pikir kok. hhhi... tapi kadang kita berani apa enggak. berani setelah jalan, harus lebih berhemat, misalnya... berani jauh dari teman2, dari keluarga... hhhi...
etapi, seru loh, banyak yang nggak keduga...
tapi kayaknya kita ttp harus punya rencana besar yang pengen dituju si. biar kita juga seneng. yeeaaaa...;)