Perempuan
itu bercakap bersama sahabatnya. Mereka lama tak bercakap. Dan siang itu, si
sahabat menagihnya untuk bercerita. Mereka biasa bercerita apa saja. Diantara
pohon jambu dan kursi beton, perempuan itu mulai bercerita. Tentang seorang
laki-laki, yang tiba-tiba mengatakan, bahwa laki-laki itu kelak akan
menikahinya. Mereka tertawa. Si sahabat tertawa paling keras, seolah ada
kemenangan. Laki-laki itu kawan si sahabat juga.
“Dia gila.
Dan dia, bilang tidak mau ganggu aku lagi. Tapi kelak, beberapa tahun lagi,
jika aku masih sendiri. Dia akan datang dan menikahi aku….” perempuan itu mulai
cerewet. Sahabatnya masih tertawa, semacam ada kebahagiaan di matanya.
Perempuan
itu sebenarnya gusar. Antara senang, ketakutan, dan sebal. Satu minggu yang
lalu, ia menolak mentah-mentah laki-laki itu. Ia sempat memilih untuk tidak
memiliki laki-laki saja. Sewaktu kecil, perempuan itu, pernah berkhayal, kelak
dia besar, akan banyak laki-laki menyukainya. Pasti seperti putri yang
diperebutkan puluhan pangeran. Perempuan kecil itu bodoh sekali, umpatnya, dia
belum tahu betapa rumitnya hubungan antara laki-laki dan perempuan.
Sahabatnya
masih tertawa. Perempuan itu kebingungan dibuatnya. Apa yang harus
ditertawakan? Hei, dia kebingungan.
“Kalian
harus bicara,” kemudian katanya.
“Iya. Benar,
kita memang harus bicara. Aku sudah ingin bicara dari dulu, tapi dia tak pernah
memberi kesempatan. Atau mungkin aku yang tak pernah memberi kesempatan. Atau
memang bagi kita tak pernah ada kesempatan…” perempuan itu menatap sekeliling.
Sahabatnya
menyodorkan kertas-kertas berisi puisi dan buru-buru membuka komputer
jinjingnya.
“Kamu harus
baca puisi ini…” sahabatnya menunjuk sebaris judul puisi Goenawan Mohamad,
“Kwatrin Tentang Sebuah Poci”. Pada
keramik tanpa nama itu/ kulihat kembali wajahmu// Mataku belum tolol, ternyata/
untuk sesuatu yang tak ada// Apa yang berharga pada tanah liat ini/ selain
separuh ilusi?// Sesuatu yang kelak retak/ dan kita membikinnya abadi// 1973.
“Barangkali
itu yang ada di pikiran lelakimu itu. Makanya dia tidak mendekat sekarang, tapi
nanti…”
Perempuan
itu cuma diam membaca. Tapi sebenarnya ia membaca mengulang berkali-kali.
Adakah orang mencintai sebegitu besarnya? Dan jika lelakinya melakukannya,
betapa bodohnya dia tak bersama lelaki itu. Untuk apa menunggu bertahun-tahun
lagi, jika mereka bisa bahagia sejak sekarang?
Si sahabat
menunjukan satu puisi lagi, “Atau seperti ini?”
“Di Ujung
Bahasa” Goenawan Mohamad. Kita menunggu
malam/ dengan HP yang diam// Mungkin akan jatuh bunyi “tidak”/ bersama dering
yang dimatikan// Dan cinta kita/ bersembunyi// di ujung bahasa yang tak
dilanjutkan// di mana Entah mendaku waktu/ dan ruang// dan kita akan
berkata-kata/ dan akan berpura-pura// mengertinya// 2011.
Perempuan
itu terlihat tersenyum pelan. Ia tahu apa yang ia inginkan. “Ya, aku dan dia
harus bicara. Akan bicara,” katanya.
***
Perempuan
itu menemui lelakinya. Berharap ada beberapa kata-kata, hingga ia bisa berkata
“Ya”. Tapi mereka hanya berjalan, berjalan, dan berjalan. Hanya pertanyaan,
pertanyaan, dan pertanyaan. Tentang sepuluh tahun mau jadi apa, tentang masa
depan, tentang menjadi bijak, tentang buku, tentang senja. Ia hanya mengulum
senyum. Nyatanya, ia senang berada di sampingnya. Ia tak canggung. Bahkan ia
tak perlu terlalu gengsi untuk membenarkan kancing kemejanya yang lepas
tiba-tiba di depannya. Ia tak perlu menjadi perempuan paling berharga di dunia.
Ia ya dia. Hingga malam menuju pagi dan angin terlalu dingin. Ia belum berkata
“Ya” atau “Tidak”. Meskipun ia tak tahu, jawaban itu untuk apa. Hingga ia
merasa, rasanya lelaki ini tak begitu mencintainya, lelaki ini tak
menginginkannya. Lelaki ini tak ingin ada di hidupnya.
Satu waktu
mereka bercakap saja. Hingga pada satu kalimat, lelakinya bicara, ia harus
pergi. Entahlah, ia seperti mengucapkan, “Harus pergi untuk bisa tinggal”.
Perempuan itu tak mengerti, kenapa harus pergi kalau bisa tinggal? Ia
menanyakan sekali lagi. Jawabannya masih sama. Lelakinya memilih pergi. Ia
tidak mengerti, jika baru saja lelakinya bilang dia jatuh cinta padanya. Kenapa
harus pergi? Kenapa dia tak tinggal saja? Apa pula kalimat, “harus pergi untuk
bisa tinggal”? Kali ini perempuan itu memberi dia kesempatan untuk tinggal
selama dia mau. Dan dia, lelaki itu, tetap memilih pergi. Baiklah, katanya
pasrah.
Perempuan
itu menatap langit-langit kamar yang terang sepetak. Pantulan dari sebuah neon
di beranda sana. Ia lupa puisi Goenawan Mohamad lainnya, yang sempat ia minta
fotocopikan pada sahabatnya di sore itu, “Di Beranda Ini Angin Tak Kedengaran
Lagi”.
… Aku pun tahu: sepi kita semula/ bersiap kecewa bersedih tanpa
kata-kata// Pohon-pohon pun berbagi dingin di luar jendela/ mengekalkan yang
esok mungkin tak ada//
Ia mungkin
akan bercerita pada sahabatnya esok hari. Mungkin dia akan sedikit getir dan
bercerita, “Laki-laki itu, dia tidak mau tinggal. Percuma dia bilang dia jatuh
cinta….” Dan mungkin perempuan itu semakin tidak percaya cinta. Mungkin
sahabatnya akan memberi puisi yang lain. Mungkin ia akan menyimpan kata “Ya”,
entah untuk siapa. Mungkin dia akan melupakan cinta.
Mungkin dia
hanya ingin menunggu hujan… dan, di bulan ketika hujan besar-besarnya nanti, ia
akan dewasa dalam angka. Dan dia tak lagi butuh macam kata jatuh cinta.
Barangkali dia akan membuang kata “ya”. Barangkali…
Hanya
barangkali. Perempuan itu masih kecil. Dia masih labil.
Solo, 3 Oktober 2011
___________
No comments:
Post a Comment