Showing posts with label cerita. Show all posts
Showing posts with label cerita. Show all posts

Monday, April 13, 2015

...pagi di satu sepi

Gwen masih menatap layar kecil ponselnya. Sedikit tidak percaya pada pesan yang baru saja dibacanya. Bagaimana mungkin Brian kesepian?



Bukankah Brian sudah terlalu biasa dengan kesendirian. Gwen tahu benar itu. Dalam bayangannya, Brian tak akan merasa kesepian dan sendirian selama masih ada tumpukan buku yang harus ia habiskan. Brian bahkan bisa hidup tanpa makan. Tapi Brian pasti akan mati lemas karena kejang-kejang sebab tak ada halaman buku yang bisa ia kerat kata-katanya. Gwen sering meledeknya, sebagai pemakan kata-kata. “Makan tuh, kata-kata.” “Kasih makan istrimu dengan kata-kata.” “Nanti besarkan anakmu dengan kata-kata.” Brian hanya akan menekuk satu bibirnya, mengernyitkan sudut matanya, dahinya berkerut seperti kaosnya yang kusut, memandang Gwen beberapa detik, seperti sedang berfikir dan lalu terbahak. “Benar juga. Akan kuberi makan anakku kata-kata. Biar dia jadi anak paling bijak sedunia.” Sambil berlalu, Gwen berteriak sebal, “Orang gila!”
Pun demikian, pesan pendek itu membawa Gwen pada keinginan untuk segera memesan tiket pesawat dan lalu pulang. Menemani Brian. Brian menghabiskan sepuluh tahun terakhir hidupnya, bahkan mungkin lebih, untuk membaca di kamar sempitnya. Kamar kostnya ketika kuliah dulu kini jadi seperti gudang buku, berantakan tak terurus. Tak ada penomoran, tak ada kategorisasi, meski tak sebanyak yang kau bayangkan, ruang 4x5 itu benar-benar menyesakkan. Tinggal lebih lama di sana mungkin akan membuat Brian mati kehabisan udara karena bau lembab kertas yang menyiksa. Atau tiba-tiba dia telah berubah menjadi kecoa, seperti Gregor Samsa. Gwen tak pernah betah berlama-lama di sana. Secukupnya saja. Biasanya meminjam buku, atau sekedar mencari Brian jika dia sulit ditemukan. Beruntung sekarang Brian tinggal di rumah kontrakan kecil yang lebih manusiawi. Rumah kecil dengan ruang tamu, dua kamar tidur, kamar mandi, dan dapur kecil, yang semuanya, tentu saja, penuh buku. Kecuali satu kamar yang ia minta untuk dijadikan kamarnya kalau dia pulang nanti. Ya, kau benar, dapur pun penuh buku. Buku tak laku pas bazar entah kapan dan akhirnya berakhir di dapur rumah kontrakan. Menumpuk, bau dan berjamur, berjejer dengan baskom-baskom sisa mie instan yang mulai menghitam. Brian biasanya duduk selonjoran membelakangi jendela besar di kamarnya, membaca, entah apa. Gwen tak pernah mau memperhatikan. Sekali lagi, Gwen tahu, Brian tak akan pernah kesepian. Selama ada selembar dua lembar bacaan di tangan. Seperti Gwen kecil juga tahu, hidupnya akan baik-baik saja, ketika Brian datang membawa sebatang es krim vanila di tangan.
Aih, Bri... padahal kau yang akan selalu ada ketika aku hampir mati karena kesepian. Gwen ingin meneleponnya, tapi terlambat, sebentar lagi Azan Magrib lewat dan Gwen harus segera pergi meninggalkan batu tempatnya duduk sekarang. Batu tempatnya duduk mencari sinyal di pinggir lapangan. Mungkin nanti, Bri...
Sambil jalan, Gwen tersadar. Entah kapan mereka terakhir bertemu dan saling bercerita panjang. Tahun baru lalu... lamanya. Lama sekali. Bulan depan sudah akan tahun baru. Hampir setahun lalu. Brian sibuk dan Gwen kini berada entah di mana. Gwen juga kadang masih tak percaya pada tempatnya kini berada. Menjadi guru dadakan pada sekolah di tengah perkebunan. Sekali Gwen mengirimi Brian surat dengan tulisan tangan, sebuah ucapan selamat lebaran dan sedikit cerita tentang kegiatannya kini dan banyak hal yang muncul di kepalanya ketika itu. Ketika di kota, Gwen selalu lupa untuk berusaha menghubungi kakaknya itu. Hidupnya baik-baik saja, pun pasti hidup Brian. Kalau ada apa-apa dia pasti akan menghubunginya. Seperti halnya Gwen yang pasti akan menghubunginya jika ada sesuatu. Brian membalas suratnya, tapi tak sampai di tangah Gwen, dan malah berakhir dengan kembali ke alamat Brian. Alamat Gwen tidak ditemukan kurier jasa pengiriman barang. Gwen tertawa terbahak sekaligus kesal. Alamatnya tak dapat ditemukan. Lalu Brian mengirimnya ulang dengan email: hal tersederhana yang bisa dia lakukan tapi ia abaikan demi mengalami sensasi tak biasa ketika saling berkirim surat seperti jaman perang. Teknologi termutakhir abad ini yang banyak merubah banyak hal... meski akhirnya Gwen tahu, surat balasannya itu diketik dengan komputer. Sedikit kesal, karena usahanya menulis dengan tangan tak dibalas sepadan. Malah ditertawakan. Karena Brian bilang di surat balasannya bahwa ia bisa membaca emosinya. Brian tahu, Gwen ingin pulang. Tapi tak bisa, karena beban “tanggungjawab” dan lain sebagainya... Gwen menikmati, tapi itu bukan dunianya. Gwen tak bisa berlama-lama pura-pura super bahagia, karena kenyataannya sebaliknya. Gwen bahagia, tapi rasanya tak biasa. Bahagianya berbeda... ada yang kurang. Entah apa.
Barangkali karena sekarang Gwen sedang ingin pulang. Sekedar menemani Brian.

“Bri...” pagi, pagi sekali, menghubungi kakaknya.
“Gwen... kamu kenapa?” Brian menjawab dari sebrang. Suaranya tegas, ada nada khawatir di sana. Tidak biasanya Gwen menghubunginya sepagi ini. Kecuali...
“Bri. Aku nggak apa-apa. Aku sedang di desa. Aku baru bisa telpon kamu sekarang. Bri... Bri... suaraku kedengeran jelas nggak? Bri...?”
“Beneran nggak kenapa-kenapa? Tumben kamu telpon...?”
“Mumpung libur Bri... ini aku lagi lari, ke pinggir hutan yang baru saja ditebangi pohonnya. Di sini ada sinyal. Bri, Bri... suaraku jelas kan?”
“Iya...” Brian menjawab malas.
“Bri...”
“Apa...?”
“Bri, kamu baik-baik aja? Adi sms aku... mama sms aku... “
“Sms apa?”
“Kamu dan Maria, Bri...”
“Iya Gwen...”
“Kamu nggak apa-apa?”
“Aku nggak apa-apa. Kami nggak apa-apa.”
“Kenapa kamu nggak kasih tahu aku sendiri Bri?”
“Untuk apa?”
“Mungkin aku bisa menghibur kamu. Hihi...” Gwen menahan tawanya. Brian juga tertawa. Sedikit dipaksakan. Mereka berdua tertawa.
“Bri... kamu sedih?”
“Gwen. Masih pagi...”
“Bri, aku tidak punya banyak waktu untuk nelpon kamu. Jawab aja pertanyaanku. Bri, kamu sedih?”
“Gwen, ya ampun...” Brian membenci adiknya dalam kondisi seperti ini. Masih belum penuh kesadarannya ditelpon sepagi ini, dan Gwen sudah mulai menunjukkan sisi paling egoisnya. Untuk selalu dituruti. Ini sebenarnya jam berapa? Brian melihat jam dinding di sisi kanannya. Astaga, jam lima dua puluh. Dan di ujung sana adiknya sudah berada di pinggir hutan, mencari sinyal, demi menanyakan hal-hal seperti ini... sepagi ini.
“Bri... Bri! Kamu tidur lagi?”
“Hmm...”
“Bri, kamu sedih?”
“Gwen. Kamu mau dengar apa?”
“Adi bilang kamu kesepian.” Brian hampir tersedak menahan tawa mendengar kalimat adiknya. Adi, kawannya, bilang apa...
“Adi bilang apa?”
“Adi bilang kamu kesepian. Kalau bisa aku pulang ke Solo dan menemuimu. Kamu kesepian. Kamu butuh teman...”
Brian tertawa. Kali ini terbahak. Demi tuhan. Dia tidak kesepian. Dan kenapa Gwen...
“Bri, jangan tertawa seperti itu. Aku tahu, pasti berat untukmu. Tujuh tahun, bukan waktu yang singkat. Aku selalu membayangkan kalian menikah. Tahun ini, atau mungkin tahun depan. Bri, aku sedih mendengar kalian berpisah. Aku tidak dapat membayangkan kamu sendiri, tak terurus. ”
“Gwen. Sudah. Iya, kami, aku dan Maria berpisah. Tapi tidak sedramatis itu...”
“Bri... Kamu tidak perlu pura-pura menjadi kuat seperti itu...” Jika harus memilih satu hal yang akan membuat Brian membenci Gwen, adalah sifat sok tahu Gwen yang besar bukan kepalang. Dan Gwen selalu bisa mengatakannya ringan tanpa beban, tanpa dosa. Merasa benar. Selalu merasa benar. Selalu menjadi yang pertama tahu. Tak peduli bagaimana orang lain menerimanya. Tak mau tahu, atau tepatnya, tak ingin tahu, bagaimana orang lain menerimanya. Gwen kadang memang semenyebalkan itu. Terlebih ketika dia mulai bersikap memojokan. Dia akan memaksa. Memaksa mencari pembenaran atas segala rasa tahunya. Rasa tahu yang belum tentu. Meski bisa jadi segala duga, prasangka, juga asumsi Gwen benar. Brian sering dibuat kesal dengan cara Gwen mengatakannya. Raut muka dan pandangan mata Gwen menjadi seperti penyihir yang seketika bisa berubah menjadi burung hantu. Runcing, membunuh. Brian tidak pernah menyukainya. Brian membayangkan muka Gwen yang kini tengah perlahan berubah menjadi penyihir siluman burung hantu itu. karena ini masih pagi, siluman itu baru saja berubah menjadi manusia, setelah semalaman berburu bangkai-bangkai busuk untuk dimakan.
“Bri... halo Bri... Bri, suaraku kedengeran? Halo Bri? Bri, kalau kamu mau cerita, cerita aja Bri. Ceritain ke aku... nggak apa-apa...” Nah, benar, Gwen memang kadang menjadi siluman menyebalkan itu. Gwen sedang mulai memojokkannya. Kali ini, untuk kali ini, untuk rasa kantuknya yang terampas sepagi ini, untuk beberapa menit yang menjadi sangat menyebalkan, Brian tak ingin terpojokkan untuk hal tidak penting seperti ini.
“Gwen. Kalau kamu ingin bertanya kabar abangmu ini bagaimana, akan kujawab. Aku masih ngantuk Gwen. Telponmu ini membangunkanku terlalu pagi. Kalau saja aku tidak ingat ada adikku satu-satunya kini berada di pedalaman Sumatera, dan salah satu kemungkinan alasan dari banyak alasan nomor telponnya menghubungiku sepagi ini adalah karena bisa saja dia telah dicakar beruang tadi malam, aku tidak akan mengangkatnya. Dan sekarang Gwen, kamu sedang memaksaku menjawab apakah aku sedih, terpuruk, menangis? Oke, aku jawab. Iya, iya aku sedih aku berpisah dengan Maria. Apa aku terpuruk? Tidak juga, aku masih bisa memasak sarapanku sendiri, aku baik-baik saja. Apa aku menangis? Tidak Gwen, atau mungkin belum? Tidak tahu. Tapi itu sudah lama Gwen...  sudah dua bulan. Dan aku baik-baik saja. Banyak yang berubah, tentu saja. Tapi kami sudah memutuskannya... Kamu juga tidak perlu menghubungi Maria dan menanyakan hal-hal seperti ini. Maria juga baik-baik saja... tidak sedramatis itu... Kalau kenapa aku tak memberitahumu, karena, aku rasa...”
“bri.. bri... halo bri... kamu menangsi? Hah? Apa Bri?
“Aku tidak menangis. Gwen! Demi tuhan!” Brian berteriak.
“Bri. Aduh, maaf, sinyalnya jelek. Nah, nah... Bri... sudah jelas?”
“Gwen... telpon aku lima menit lagi. Aku mau ke kamar mandi dulu.”
“Hah...”
Brian memutus sambungan teleponnya. Bangun. Melihat pintu kamar mandi yang tak seberapa jauh dari tempatnya kini berada. Tangan kanannya menopang berat badannya, Brian bangun. Telapak tangannya menutup mukanya. Tangannya yang dingin menemukan hangat yang menguap dari nafasnya. Sudah lama Brian tak bangun sepagi ini. Setengah enam, dan masih kurang beberapa menit lagi. Brian menyambar sekenanya handuk biru yang teronggok di atas tumpukan koran lawas. Menyenggol kaleng bir entah kapan. Sedikit terhuyung dan hampir menabrak pintu kamar mandi di depannya. Menyalakan kran keras-keras. Dari kamar mandi, terdengar suara nada panggil ponselnya.
Brian membasuh muka, dan mengelapnya dengan handuk di pundaknya. Ponselnya masih berdering. Gwen, adiknya itu. Entah kenapa, untuk kali ini, untuk kali ini saja, Brian ingin mengabaikannya. Sekali ini saja.

Gwen menelpon Brian sekitar sebelas kali. Tak satupun diangkat. Matahari mulai tinggi dan menyengat, meski masih sepagi ini. Entah sudah berapa belas nyamuk yang sudah mampir di betisnya yang tak terjangkau celana tidur tujuh per delapan polos berwarna hitam. Mungkin Brian masih belum bisa bercerita tentang perpisahannya dengan Maria.
Gwen mengirim pesan pendek. “Bri, i’m sorry to bother you this early. Let me know if you’re okay enough to talk to me. Ak baik2 aja. Udh g ada beruang di sini. Tp td ada babi lewat. Atau hubungi aku klo km udh mendingan. :)”
Brian membuka pesan Gwen. Membacanya sampai tanda titik dua dan kurung tutup andalannya itu. Brian bisa membayangkan Gwen yang tersenyum. Gwen memang selalu tersenyum seperti itu. Gwen selalu menutup kalimatnya dengan senyum lebar yang menarik cantik dua sudut mulutnya itu. Mengingat Gwen yang selalu berkata seakan tanpa dosa, seberapapun menyebalkannya dia, membuat Brian tersenyum. Brian merindukannya.
Brian hanya perlu memencet dua tombol ponselnya sebelum ponsel Gwen berbunyi.
“Bri...”
“Gwen. Kamu punya waktu berapa lama untuk mendengar aku bercerita?”
“All is yours, Bro! Aku hari ini libur.”
“Oke, cari tempat paling nyaman di pinggir hutan itu...”
“Oke, bentar Bri. Aku balik ke tempat tadi dulu. Hold, hold. Hallo Bri, jelas nggak suaraku Bri... jelas nggak?”
“Jelas...” Brian menjawab enteng. Terdengar suara tawa Gwen di sana. Sementara itu sudah cukup menghiburnya. Dan pucuk mata Brian menangkap dua kaleng bir sisa entah kapan. Dan beberapa kaleng bir yang menumpuk di tempat sampah dekat pintu menuju kamar mandi.
“Bri... Hai...”

Suara Gwen yang bercampur tawa itu membuatnya sadar sepenuhnya. Brian siap bercerita.

Wednesday, April 9, 2014

...where the mind is without fear






“Haloo…” Gwen menjawab dering telpon genggamnya. Malas.
“Mbak Gwenda, ini Dita front-desk Mbak…” ujar suara di ujung sana.
“Oh, iya Dita. Ada apa?”
“Ada paket buat Mbak Gwenda. Ini baru dateng, mau Mbak ambil sore ini atau besok pagi aja?”
“Oh, besok pagi aja Dita. Ini masih di meeting di luar. Paket apaan emang? Saya nggak lagi pesen barang…”
“Kurang tahu mbak, kecil tapi agak berat. Kalau gitu saya simpenin buat besok ya mbak. Udah mau jam pulang kantor soalnya…”
“Oh, oke. Thanksss yah…”
“Sama-sama mbak…”
“Oia, Dita, ngomong-ngomong paketnya dari siapa ya?”
“Oh, ini, paketnya dari… Dari Benitez Bayu Mbak…”
“Oh…”
“Saya simpenin ya mbak. Jangan lupa besok diambil.”
“Oh… iya, iya… makasih ya Dita…”
“Sama-sama Mbak Gwenda…”

Klik.
Ben. Paket apaan? Dan, dari Ben?

Paginya, Gwen menuju meja resepsionis di kantornya. Mengambil paket yang ditujukan untuknya. Meneken di buku pengambilan paket. Menuju mejanya di pojokan, menghadap kaca dan pemandangan Jakarta. Menyalakan komputernya. Melihat bungkusan kertas kado warna-warni berlapis plastik berlogo merek si jasa pengirim. Dari Benitez Bayu, di Banda Aceh. Ngapain Ben di sana?
Dan Ben, ada apa dia mengiriminya paket segala? Sudah lebih dari tiga tahun, sejak Gwen terakhir bertemu Ben. Di teras depan. Melihat pohon mangga tersiram hujan. Ah, Ben…
Gwen mulai membukanya. Pertama-tama, mengupas habis si plastik pembungkus dengan cara menariknya agak keras, si plastik memuai menjadi sedikit lebih panjang, sebelum akhirnya menipis dan kuku Gwen bisa dengan mudah untuk membuat satu lubang kecil, dan lalu merobeknya, memaksa si kotak warna-warni keluar. Gwen sedikit tertawa. Pasti Ben nggak bisa nemuin kertas kado yang lebih serius agar bisa dijadikan kertas pembungkus. Sejak kapan Ben jadi warna-warni pastel gini? Gwen tertawa lagi. Membaca kembali nama di pojok bagian pengirim, “Benitez Bayu – Banda Aceh”. Tulisan tangan Ben. Kecil rapi, sedikit miring ke kanan, memanjang di tiap kaki huruf. Seperti pohon bamboo jika dilihat terbalik. Memutar kotak tak terlalu besar itu. Membaca namanya di sana: Gwenda Rahman, nama kantornya, Sentral Senayan III Lt. 11. Jalan Asia-Afrika No. 8, Senayan. Dan lalu nomor telponnya. Ini juga tulisan tangan Ben. Lalu Gwen membuka tiap isolasi dengan rapi. Pasti Ben membungkusnya sendiri, duga Gwen. Karena lem menempel di sana-sini, tak rapi.
Isinya sebuah buku. “Tagore dan Masa Kanak” oleh Rabindranath Tagore. Sebuah kumpulan cerita pendek.
Selembar kertas yang dilipat jadi dua menyempil di balik sampul buku berwarna cokelat yang memiliki jumlah halaman tak lebih dari 200 itu.

Hai, Gew..
Kudengar kau akan jadi guru, Gew? Benar? Kudengar juga, kau akan mengajar di satu daerah pedalaman? Atau semacam terpencil? Benar?
Aku ingin bertanya, “Kenapa?” Ada apa di sana, di balik alasanmu itu? Meninggalkan kursi yang pasti sangat kau cintai yang kau datangi hampir tiap pagi itu? Kursi yang juga kadang kau benci. Tapi kutahu, selembar-dua lembar-tiga lembar jawabanmu tidak akan cukup untuk menampung semua alasanmu. Maka aku tidak akan bertanya “Kenapa?”.
Bolehkah kuucapkan selamat? Selamat, Gew…
Karena mungkin ini hal yang sangat kau inginkan saat ini… aku hanya menebak. Aku tidak tahu. Karena kau yang selama ini kukenal akan selalu berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkan apa yang kau inginkan, bahkan ketika kau sadar kau tidak akan mendapatkannya, sampai kau lelah sendiri dan lalu mencari satu hal lagi yang pantas kau ingini. Aku tahu kau tidak akan memilih dan melakukan hal-hal yang tidak kau inginkan. Kau selalu memikirkan banyak hal. Mulai dari tujuan, rencana, hingga kemungkinan-kemungkinan dan cara menyelesaikannya. Kebiasaan membuat analisis SWOT-mu kukira belum hilang hingga sekarang. Mungkin malah semakin terasah. Jadi, kusimpulkan saja sendiri, kau pasti telah berfikir panjang, jikalah benar kau akan berangkat untuk menjadi guru, meski sebentar, di satu tempat jauh entah di mana. Aku turut senang. Aku senang, karena dengan dunia belajar-mengajar ini, kamu akan belajar. Mungkin jawabanmu akan seperti itu. Sejauh ini aku mengenalmu, biasanya jawabanmu akan seperti itu. “Minimal aku mendapatkan pelajarannya…” adalah kalimat andalanmu.
Ini buku Tagore. Di sini ada cerita lucu tentang calon guru dan murid-muridnya. Bacalah. Aku yakin kau akan suka…
Semoga nanti aku bisa berjumpa denganmu Gew. Dan mungkin kita bisa bercakap panjang lebar… bicara sangat panjang sampai kau ngantuk tertidur. Ya, semacam itu. Bercakap-cakap saja, bercerita tentang hal-hal tak penting dan keseharian yang membosankan. Melihat seberapa kuat kita melawannya setiap hari. Semoga waktu itu akan datang, Gew.
Dan, panjangkan lagi rambutmu, Gew. Karena di sana, orang memotong rambut tidak dengan gunting cukur dan mereka merapal mantra. Jangan potong rambutmu di luar sana, hhha…  pesanku itu saja.

Banda Aceh, 6 April
Ben

Gwen tersenyum. Mengingat surat pengunduran dirinya yang sudah seminggu ia simpan di laci meja. Menguatkan lagi niatnya.


“Where the mind is without fear and the head is held high
Where knowledge is free
Where the world has not been broken up into fragments
By narrow domestic walls
Where words come out from the depth of truth
Where tireless striving stretches its arms towards perfection
Where the clear stream of reason has not lost its way
Into the dreary desert sand of dead habit
Where the mind is led forward by thee
Into ever-widening thought and action
Into that heaven of freedom, my Father, let my country awake

Where the Mind is Without Fear – Rabindranath Tagore.

Monday, December 30, 2013

...kembang api: dalam merah, hitam, dan biru


Tujuan perjalanan singkatku kali ini agak padat.


Mendarat sekitar jam delapan dengan penerbangan pertama, lalu bertemu orang dari kantor pusat, memberikan beberapa draft baru untuk rencana tahun depan dan membicarakan laporan progres pekerjaan di cabang. Sorenya bertemu Maria, lalu melewati malam tahun baru bersama keluarga besarnya. Kebetulan mereka sedang berkumpul di kota ini. Makan malam bersama dan melihat pesta kembang api. Sebelum kembali pulang dengan kereta api jam lima sore, siangnya aku berjanji untuk bertemu Gwen. “Siangnya saja Bri, aku sedang tidak ingin berpesta,” kilahnya ketika kuajak sekalian untuk merayakan malam tahun baru bersama keluarga Maria. Sedang tidak ingin berpesta, katanya. Kukira Gwen memang sudah cukup kenyang melewatkan pesta demi pesta. Apalagi sekedar melihat kembang api warna-warni dan minum segelas dua gelas wine. Tapi sebenarnya Gwen hanya kuat minum segelas wine. Dia gampang mabuk. Minum sebotol kecil bir saja Gwen sudah teler. Kalau tidak bolak-balik ke kamar mandi dan bicara terlalu banyak, ya ketiduran dan mulai mengigau tak jelas. Tapi Gwen memang banyak bicara. Kelihatannya saja pendiam dan pemalu. Berikan satu pertanyaan padanya, Gwen akan menjelaskan panjang lebar seperti tak ada waktu lain untuk sekedar bercerita karena sebentar lagi dunia akan hancur lebur. Meski pada orang yang tak dikenalnya, atau baru dikenalnya, Gwen memang nampak tak mampu bicara banyak selain menjawab “iya,” “tidak,” atau “tidak tahu.” “Aku tidak bisa percaya begitu saja pada orang yang tak kukenal,” katanya. “Lagi pula aku tak tahu maunya semua orang. Kukira, secerewet-cerewetnya kita, tidak semua orang akan menerima juga. Katanya kalau bicara dengan orang baru harus hati-hati. Bukan?” lanjutnya. Terakhir bertemu Gwen sebenarnya tiga minggu lalu. Tapi sayang tak sempat banyak bercerita. Gwen diburu waktu karena harus menyelesaikan urusan pekerjaannya. Kami hanya sempat bertemu sebentar, tak ada juga setengah jam. Kami hanya sempat bertanya kabar dan aku memberikan buku yang sudah kujanjikan untuknya. Buku lawas kumpulan surat Kartini dan dua buku yang baru kuedit, untuk kado ulang tahunnya. “Untuk Gwen, yang ingin jadi guru,” kataku. Gwen tertawa seperti hantu pemakan bayi dalam dongeng orang Jawa seperti biasa. “Aku masih punya beberapa buku yang belum kubaca, tapi aku janji aku akan segera membacanya,” jawabnya setelah berterimakasih. “Mana satu buku lagi yang mau kau pinjamkan?” Ah, dia ingat rupanya. Aku berjanji untuk meminjaminya satu buku klasik, setelah pada satu siang dia mengirimiku pesan singkat, “Buku Boris Pasternak terbitan Djambatan 200rb-an itu mahal tidak?”, yang kujawab, “Kemahalan. Di sini 70 ribu. Tak usah beli kalo merasa kemahalan, nanti kupinjami punyaku.” Gwen tahu buku itu dari seseorang, entah siapa,  yang membuat lagu mendayu karena salah satu tokoh di buku itu. Siang itu, dia bercerita tentang seseorang itu. Seorang laki-laki, tentu saja. Anehnya, aku tidak khawatir. Laki-laki ini, aku yakin, tidak akan membuatku merasa khawatir, setidaknya sampai siang itu. Karena jika tentang seorang laki-laki dan Gwen, ada yang lebih membuatku khawatir. “Oke, terus bagaimana kabar orang yang ingin kau kenalkan padaku itu?” wajah Gwen berubah drastis. Ada huruf “O” seperti menggantung di wajahnya, mulutnya menganga karena kaget kalimatnya kupotong, sementara bola matanya bergerak mencari jawaban, menjelajah segala benda yang ada di meja. Lalu Gwen tersenyum manis. Bertanya “Yang mana?” Pura-pura lupa. Kusambut dengan tertawa saja dan beruntung karena akhirnya Gwen benar-benar lupa. “Bri, aku jarang sekali ketemu kamu. Setahun sekali saja sudah sangat beruntung. Aku tidak akan bercerita tentang hal-hal tak menyenangkan. Tapi mungkin kamu harus tahu, laki-laki yang ingin kukenalkan padamu itu, mungkin tak akan pernah kukenalkan padamu…” ucap Gwen akhirnya, sebelum pamit. Ternyata dia tidak lupa. Dia sedari tadi menata kata-kata. “Kenapa?” kutanya. “Karena dia tak menyukaiku. Mana mungkin kukenalkan padamu.” “Kenapa dia tak  menyukaimu? Dan, apa dia harus menyukaimu untuk sekedar kaukenalkan padaku?” Aku agak penasaran. “Aku tidak tahu. Mungkin aku menakutkan… Dan ya, dia harus menyukaiku terlebih dahulu sebelum kukenalkan padamu…“ Gwen tertawa. “Kenapa?” aku masih bertanya. “Berhenti bertanya kenapa, Bri…” Gwen mulai malas. “Karena kamu akan membencinya, jika tahu dia tak menyukaiku, Bri…” lanjutnya. “Karena kamu menyukainya?” tanyaku lagi. Gwen hanya tersenyum seperti biasa, ketika ia ingin menjawab “Ya” tapi dia tak ingin menjawabnya. “Bri, antar aku ke depan…” pembicaraan selesai. Selama ini aku selalu awas, jika Gwen mulai bercerita tentang orang-orang di sekitarnya, terutama jika itu adalah tentang seorang laki-laki. Meski aku tak selalu mengingat nama-namanya, akan selalu ada beberapa detil cerita yang mengusik. Bukan hal mudah untuk melihatnya menatap nanar ke sekitar dan mulai menangis. Tak selamanya tentang laki-laki, tentu saja. Hanya satu nama yang pernah membuatnya menangis di pagi buta. Tak bisa tidur dua malam. Dan setelah hari itu, hari-harinya perlahan berubah. Sejak itu, ada bulan-bulan di mana Gwen tak terkendali, begitu istilahnya dulu. Terbang ke sana ke mari seperti kain tipis terlepas dari lipatan dan tertiup angin bulan Oktober yang kering dan kencang. Meski bagiku, justru itulah waktu di mana Gwen benar-benar memegang sendiri keinginan-keinginannya. Hidup Gwen, hiduplah. Hidup seperti yang selalu kau inginkan. Dan jangan jatuh cinta lagi. Tapi aku tak pernah mengatakan yang terakhir. Siapa aku melarang Gwen jatuh cinta lagi? Kukira pun Tuhan, tak ingin Gwen tak jatuh cinta lagi. Gwen mempercayai Tuhan, jadi kupikir pertimbangan Tuhan yang tak akan melarang hambanya jatuh cinta akan menjadi jawaban Gwen jika aku bilang padanya, “Gwen, jangan jatuh cinta lagi.” Kadang aku berharap, bahkan pernah berdoa juga, agar Gwen jatuh cinta saja pada laki-laki yang juga menyukainya. Bukan malah mengejar-ngejar laki-laki entah siapa, yang ujung-ujungnya tetap tak akan memilihnya. Bukan apa-apa, hanya saja, bukan hal mudah untuk melihatnya menatap nanar ke mana saja dan lalu mulai menangis. Termasuk ketika ia bersama dengan laki-laki yang mencintainya tapi Gwen tak bisa jatuh cinta setelah sekian waktu bersama. Ujung-ujungnya sama saja, ternyata. Alasan lain kenapa aku tak berani mengatakannya, juga karena hal ini. Karena sesungguhnya, siapa pun tak akan mampu menahan gembira yang sama ketika Gwen jatuh cinta. Matanya bercahaya. Detil kecil tentang roti hangat isi daging pun rasanya seperti kau memakan hidangan dari surga. Rasanya tak lekas hilang dari lidah. Gwen memiliki kemampuan untuk menularkan keriangan semacam itu. Jadi kupikir, kenapa ada seorang lelaki yang tak menyukainya? Ada yang mampu untuk tak menyukainya? Yah, meski, tentu saja, Gwen kadang menyebalkan. Apa mungkin karena itu? Bisa jadi. Tapi, kukira, ada lebih banyak alasan untuk menyukainya daripada untuk tidak menyukainya. Bahkan jatuh sayang padanya. Kukira… dalam perkiraanku saja. Bukan dalam perkiraan laki-laki itu, atau siapa pun. Gwen, Gwen...
Ah, sudah hampir mendarat. Meski Gwen sedang tak ingin berpesta, sepertinya dia harus ikut aku malam ini. Aku harus bilang padanya, “Gwen, bangun! Hidup Gwen, hiduplah. Jangan jatuh cinta lagi. Ini yang terakhir.” Aku tak harus menunggu hingga tahun depan dan membiarkan adikku itu merana sendirian nanti malam.  

Wednesday, September 25, 2013

...mengigau



Demam tinggi dan lalu pingsan menyadarkanku bahwa mengingatmu menjadi hal yang tak terlalu sia-sia 

Kau selalu bertanya tentang lima tahun lagi kita akan seperti apa
Dulu kujawab, sarapan bersama bayi kecil kita di minggu pagi
Atau menuju toko roti kesukaan dan menunggu roti isi daging begitu keluar dari mesin pemanggang di senja hari
Meski lima tahun terlampau cepat, kupikir tak apa, jika harus menyelesaikan sisa hariku hingga berpuluh-puluh tahun lagi bersamamu

Melakukan hal yang sama dan tak akan pernah bosan
Ya, aku tak pernah bosan mengulang hal yang sama bersamamu
Membagi setengah porsi nasi padangku
Mengambil seluruh sayur dan sambel ijomu
Menyibak ikal rambutmu
Sedikit memejamkan mata demi kecupan selamat malam di antara dua alisku
Tertawa terbahak karena kacamata kita bertabrakan ketika kita buru-buru berciuman

Tapi banyak hal tak pernah sama lagi
Kita berubah dan tak lagi mampu menyesuaikan
Bahkan ada satu waktu di mana mengingat namamu saja membuatku mual
Juga satu waktu di mana kita saling bermusuhan
Kita menemukan bahasa baru yang mewujud dalam diam
Hingga satu malam kita sadar, pada akhirnya kita akan saling melupakan

Kapan terkahir kita bertemu?
Di teras, di depan kita ada pohon mangga, kau mengenakan kemeja kotak-kotak coklat yang membuatmu nampak lebih tampan berkali-kali lipat
Apakah aku pernah bilang kau sebenarnya sangat tampan waktu kita bersama? Maafkan aku jika dulu pelit pujian...sama seperti kau yang lebih sering mengumbar makian, terlebih ketika membaca koran pagi seribuan.

Kemarin aku membaca satu novel yang agak membosankan, tapi memiliki bagian depan yang sangat menarik

Kisahnya sederhana...
Tentang perempuan yang menunggu kekasihnya datang hingga berpuluh-puluh tahun lamanya, tapi sang kekasih tak pernah datang, yang datang justru sepucuk undangan, lalu si perempuan membuat surat begitu panjang untuk kekasihnya itu: mengingatkannya akan kisah-kisah yang terlewatkan

Aku tidak akan melakukannya, tenang saja
Aku tidak lagi mengenangmu sebagai orang yang, akan kutunggu-tunggu hingga aku menua
Kupikir aku tak sedramatis itu

Aku hanya sedang berpikir-pikir saja
Aku tidak akan lagi menyia-nyiakan laki-laki yang berbaik hati mau bersamaku dan aku tak mau lagi melakukan hal-hal bodoh, mengorbankan waktu, tenaga, dan perasaanku bagi hal-hal yang...aku bahkan tidak tahu untuk apa.

Apakah kau masih menyimpan ini di kepalamu?
Ide tentang bertemu seseorang, lalu jatuh cinta, dan saling tergila-gila. Lalu jatuh cinta lagi, berkali-kali, tak pernah berhenti, berulang setiap pagi, setiap hari: dengan orang yang sama.

Apakah kita pernah merasakannya? Kita pasti hanya akan tertawa. Aku bahkan sudah agak lupa tentang apa saja yang kita lalui bersama. Saling membacakan cerita. Memasakkan sarapan. Bertukar film romantis. Berkirim puisi dan lagu-lagu. Atau kalimat-kalimat nyinyir dan pembelaan-pembelaan panjang yang selalu berakhir diam. Tak pernah ada kata maaf, dan tak pernah saling memaafkan. Kita hanya pernah saling jatuh cinta. Kemudian itu semua hilang, karena diam-diam aku membencimu. Sangat membencimu. 

Bagaimana mungkin seseorang yang tadinya begitu kita cintai bahkan mungkin kita akan rela melakukan apa saja untuknya....tiba-tiba menjadi begitu kita benci?
Apa setelah itu kita masih akan percaya jika cinta memang benar-benar ada?
Atau mungkin mencoba belajar apa yang kata orang realistis: menikahlah ketika usiamu sudah cukup matang, mapankanlah pekerjaanmu...memiliki anak, dan lain, dan lainnya.

Tapi kau pasti tahu, aku orang yang paling tidak realistis yang pernah kau kenal.
Aku bahkan mau mengajakmu ke luar angkasa, jikalah saja pada satu pagi dini hari kita bertemu UFO, tak apa kita tak kembali ke bumi, asalkan bersamamu.

Aku kaget aku kuat hidup tanpamu. Tanpa puisi-puisi genit kawannya kawanku yang sering kau tertawakan dan sengaja kau baca keras-keras. Tanpa siapa pun. Aku kaget aku mampu menjadi manusia biasa. Ah, kita lama tak bercerita. Coba saja kau tahu bagaimana aku melewati 8 bulan di tahun sialan ini. Kau akan percaya aku telah benar-benar belajar untuk menjadi manusia biasa. 

Banyak hal terjadi, banyak hal berubah.

Kadang aku mengira, adakah lelaki sebaik kau di sana yang akan bilang padaku, "Tidur, jangan berpikir lagi. Hiduplah di mimpimu"
Kadang aku menduga, tidak ada lagi. Aku terlalu lama bermimpi soalnya, jadi aku melewatkan banyak gegap gempita dunia nyata.
Tapi aku sering berharap masih ada, yang jangan kau tapi, aku sudah tak bisa lagi jatuh hati lagi padamu. Dia yang dengan caranya sendiri merobohkan dinding-dinding tebal yang perlahan kubangun sejak kita saling meninggalkan. 

Tapi aku takut, kehadiran seseorang atau siapapun hanya akan membuatku kembai menjadi sosok manja yang tak punya pegangan. Mengeluhkan segala hal, merepotkan banyak hal, memikirkan terlalu banyak hal, kau tahu hal-hal seperti itu? Ya, bahkan aku lupa bagaimana caranya tersenyum manis dan menjawab pertanyaan tanpa muka menyelidik. Aku telah terbiasa awas untuk tak mudah tersesat ke dalam mata seseorang demi dapat tetap kembali berpijak dengan kakiku sendiri. 

Mungkin sekarang wajahku berubah persegi. Dan aku tak pernah tahu kau sekarang di mana...

Banyak hal terjadi. Bahkan aku belum bercerita tentang rutinitas harianku yang...mulai membosankan. Seperti menyelesaikan tiga tugas yang biasanya harus dikerjakan selama satu semester hanya dalam satu minggu. Kau tahu, pasti aku akan berlari padamu dan menangis terisak hingga tertidur sebelum kau ajak makan dan kau antar pulang.

Hidup memang berat, katamu. Dont turn away, dry your eyes, mengutip satu lirik lagu.

Ya, hidup memang, agak, berat.

Kukira, itulah kenapa akhirnya aku demam tinggi dan lalu pingsan. Dan anehnya, aku mengingatmu. Entahlah, sepertinya kau hadir di salah satu mimpiku.