Preface: Berikut adalah tulisan panjang yang saya tulis pada satu malam setelah sempat merasakan bermalamdi kebun. Sebuah pengalaman yang menyenangkan. Isi inti tulisan ini saya post dalam laman Blog PM Indonesia Mengajar, di sini. Di sini, baiklah, di sini lebih tentang saya... :)
Beberapa teman, kami pernah bercerita tentang ini: tinggal di
sebuah rumah kayu kecil, pada lahan dengan halaman penuh dengan bermacam
tumbuh-tumbuhan, sayuran, buah, dan berbagai jenis tanaman bumbu dan obat.
Udaranya sejuk, masih ada kabut yang setia menyambut sinar matahari pertama di
pagi hari. Tak perlu takut kehabisan bahan makanan. Sesekali mandi ke sungai.
Sepertinya menyenangkan.
Mungkin di sekitar lingkar Gunung Lawu, Merapi atau juga
Sindoro-Sumbing. Tawangmangu, Sarangan, Boyolali, Magelang, Salatiga,
Temanggung, atau Wonosobo. Atau bagi saya, saya akan memilih di sekitar Dieng,
tempat yang paling dekat dengan tanah kelahiran saya.
Itu cerita dulu, ketika saya masih kuliah. Kami tinggal di Solo.
Ketika melingkari Merapi menuju Magelang lewat Boyolali menaiki motor rasanya sangat
menyenangkan. Juga ketika bermalam ke Tawangmangu menjadi momen yang selalu
ditunggu-tunggu. Hijau dan sejuk.
Ketika beranjak ke Jakarta, cerita yang sama masih sering menjadi
tema ketika duduk melingkar pada satu kesempatan. Pun dari orang-orang atau
kawan-kawan yang baru saja dikenal. Situ Gintung, Sukabumi atau Lembang sering
terdengar, juga beberapa kampung-kampung kecil di sekitar Bogor dan Bandung.
Puncak jarang disebut. Ubud atau Batu, Malang juga sering terdengar. “Solo atau
Malang, kalau tua pengen tinggal di sana,” misalnya seperti itu. Jogja, Solo, dan
Malang bagi orang Jakarta, pun adalah kota yang menarik untuk menepi.
Saya, pilihan saya, jika harus memilih, akan tetap memilih Dieng.
Bertani kentang sambil memberi les Matematika dan Bahasa Inggris sepertinya
cukup menyenangkan. Atau mungkin membuka penginapan murah lengkap dengan kedai
penuh menu olahan kentang. Hhi.
Beberapa teman, dan saya, entah kenapa, memiliki gambaran “aku
ingin seperti ini...”, yang hampir sama. Ketika bertanya kenapa, barangkali
jawabannya adalah karena gambaran itu nampak menenangkan. Hangat dalam baju
rajut untuk menangkal dingin kabut. Makan hasil olahan tanah sendiri, tanpa
pupuk kimia tanpa bumbu pabrikan. Menunggu cucu datang... ah! Atau karena sering,
ketika tinggal di Jakarta misalnya, suara kendaraan termasuk asap-asapnya
menjadi begitu menyebalkan. Kami butuh gambaran ideal lain, yang jauh dari
semua itu. Dan ide tentang rumah kayu di Dieng misalnya, menjadi seperti mimpi
hangat yang menunggu untuk diwujudkan. Entah bisa, entah tidak.
Potongan kisah Mr. dan Mrs. Frederickson dalam UP menceritakannya
dengan indah.
Meski tetap, butuh dorongan kuat, kalau tak mau disebut desakan,
untuk mewujudkannya. Lihat bagaimana Carl dan Ellie kecil beranjak dewasa dan
menua dengan menyimpan keinginan berumah di tepi Paradise Fall. Untuk mewujudkannya,
mereka menabung sedikit demi sedikit yang akhirnya lebih berguna untuk membeli
ban mobil baru, berobat ke rumah sakit, atau memperbaiki atap yang tertimpa
pohon roboh. Kalau saja Carl tak harus dipaksa menghabiskan sisa waktunya di
rumah jompo, mungkin ia tak perlu mengikat ribuan balon untuk menerbangkan
rumahnya hingga Paradise Falls. Selain bercerita dengan indah, cerita pada
pembuka film mampu memberikan gambarannya yang lebih nyata. Tentang keinginan
itu.
Lebih ke: benarkah? Atau, sebegitu harusnya kah untuk tinggal di
atas bukit di kaki pegunungan? Karena sepertinya kita juga menikmati rutinitas
dan segala yang ditawarkan kota besar. Karena sebenarnya, di Jakarta pun kabut
masih ada ketika subuh tiba.
Saya menyimpan keinginan itu. Barangkali juga teman-teman saya
lainnya, dan orang-orang yang pernah bercerita pada saya. Atau mungkin sekedar
menyimpannya, untuk nanti berbagi cerita ketika topik itu muncul dalam satu
perbincangan. Tapi sekaligus, ketika saya menyimpannya, karena barangkali itu
memang hanya cukup untuk disimpan. Tidak harus untuk diwujudkan.
Bisa jadi karena saya toh sesungguhnya bukan orang kota. Saya
lahir dan besar di pedesaan. Meski tidak di atas bukit dan kabut hilang bersama
klakson angkot pertama yang lewat menuju pasar. Ide itu tak terlalu membeludak
di kepala saya. Sensasi tinggal di rumah susun menjadi lebih menantang bagi
saya.
Tapi cerita ini barangkali bisa sedikit mewujudkan keinginan itu.
Jika ternyata kelak tak pernah ada rumah kayu yang menghadap timur di kaki
gunung.
****
Pagi itu dingin. Semalam hujan deras datang
mengguyur dan membuat tanah di sekitar begitu lunak ketika terinjak. Saya habis
menumpang tidur di rumah panggung Wak Arip, salah satu warga Talang Tebatrawas,
lokasi SD penempatan saya. Tapi hari itu saya bukan sedang di talang, saya
sedang di kebun. Mengikuti Wak Arip dan keluarga behume.
Behume. Hume adalah kebun dalam Base Rambang, bahasa asli warga Melayu
Rambang. Mereka mendiami desa-desa di sekitar Kecamatan Rambang Kabupaten Muara
Enim, satu wilayah yang terdiri ratusan hektar perkebunan karet dan kelapa
sawit.
Wong Rambang, mereka
menyebut diri mereka yang memang keturunan asli orang-orang Rambang. Tak hanya Wong Rambang, di wilayah ini memang
banyak terdapat suku pendatang, terutama dari Jawa. Bahkan orang-orang Jawa ini
tersebar dalam satu daerah berisi ratusan kepala keluarga yang tinggal dalam
satu wilayah yang disebut Daerah Trans, sebuah koloni besar sisa kesuksesan
masa orde baru: transmigrasi. Wong Jawe,
mereka menyebutnya. Ada pula Wong Ogan,
yaitu mereka para pendatang yang asalnya dari sekitar Sungai Ogan, sekarang
masuk dalam wilayah Kabupaten Ogan Komering Ulu ataupun Ogan Komering Ilir,
dengan bahasa asli Base Komering.
Sebutan wong, atau
orang, yang menunjukkan asal daerah di daerah Sumatera Selatan biasanya merujuk
pada wilayah di sekitar sungai, mengingat banyaknya sungai-sungai besar yang
mengalir di wilayah ini. Selain itu, sungai merupakan jalur transportasi utama
warga di masa lalu. Sungai-sungai itu, pada akhirnya menyatu di arus Sungai
Musi yang mengalir ke Kota Palembang. Di Rambang sendiri, mengalir Sungai
Rambang yang berarus deras membelah di tengahnya.
Banyaknya sungai besar inilah, pada akhirnya yang menjadikan
tanah-tanah di Sumatera Selatan subur. Sebagian menghasilkan tanaman pangan
seperti padi, sebagian besar lainnya merupakan tanah rawa yang sangat cocok
untuk tanaman perkebunan berusia panjang. Tak hanya itu, di dalamnya juga
terkandung banyak mineral minyak. Termasuk di Rambang. Di antara rerimbunan
pohon karet atau kelapa sawit, di sana terdapat satu atau dua sumur pengeboran
minyak.
Tapi minyak adalah milik mereka yang memiliki teknologi tinggi dan
berbicara hal-hal yang terlampau rumit. Wong
Rambang, Wong Jawe, Wong Ogan, dan warga kebanyakan di Rambang lebih senang
berbicara tentang kebunnya. Salah satunya, adalah tentang behume. Berkebun.
Istilah behume digunakan
bagi mereka yang tengah membuka kebun baru. Dalam hal ini, khususnya adalah
perkebunan karet. Daur hidup karet alam sendiri melalui masa waktu yang sangat
panjang. Satu batang pohon karet alam bisa disadap untuk diambil getahnya
hingga puluhan tahun, setidaknya hingga 30 tahun. Tergantung kualitas bibit
yang ditanam. Ketika pohon-pohon karet tak lagi mengeluarkan getah putihnya,
itulah saatnya bibit baru ditanam di sana.
Untuk membuka lahan baru itu, tak bisa sembarang merobohkan
pohon-pohon lama dan menggantinya begitu saja. Pertama, pohon-pohon tua harus
ditumbangkan dan tanah harus disiapkan ulang. Nugal, atau membakar pohon-pohon tua menjadi cara sederhana yang
paling efektif. Jika dilakukan dengan baik dan bertanggungjawab, negal tidak akan menyebabkan polusi asap
seperti sering terjadi di wilayah Riau. Salah satunya dengan tidak membakar
sekaligus wilayah perkebunan yang terlampau luas. Sebelum membakar wilayah
perkebunan yang pohonnya telah tua, warga juga menyiapkan jarak antara yang
bersih dari dahan dan daun kering ke wilayah perkebunan di sekitarnya untuk
mencegah menyebarnya api ke wilayah yang tak diinginkan.
Nugal biasanya
dilakukan ketika musim kemarau datang. Agar tanah bisa diolah ketika musim
penghujan berikutnya datang. Tanah yang terbakar beserta arang-arang dari
batang pohon menjadi pupuk alam yang akan menyehatkan tanah secara alami. Menuju
saat tanam dimulai, tanah juga dibersihkan dari akar-akar tua untuk mencegah berkembangnya
jamur akar putih, salah satu jamur perusak tanaman karet. Gulma-gulma dan
rumput-rumput liar juga dibersihkan. Sebelum akhirnya bibit-bibit karet baru
ditanam dalam jarak-jarak yang presisi antara satu dengan yang lainnya.
Pohon karet muda baru bisa diambil getahnya pada usia enam atau
tujuh tahun. Orang-orang di Rambang menyebutnya sebagai Nakok, bahasa lokal untuk menyadap. Selama masa tunggu ini, mereka
belum bisa nakok batang karet. Dalam masa tunggu inilah, behume dimulai.
Di Hume
Hal terpenting yang harus dilakukan ketika behume tentu adalah memastikan bibit karet tumbuh dengan baik.
Tidak terserang penyakit tanaman ataupun tidak dirusak binatang buas. Namun
demikian, dalam tujuh tahun, tentu banyak hal lain yang dapat dilakukan di
sini.
Pemilik kebun, atau biasanya diwakili para penggarap kebun, mula-mula
akan membangun rumah panggung sederhana di tengah kebun. Cukup untuk ruang
depan, satu kamar, dan dapur. Rumah panggung juga dibangun tak terlalu jauh
dari sumber air. Beberapa ekor anjing turut menemani, untuk berjaga-jaga
jikalau rombongan babi hutan, kera-kera, atau orang jahat datang.
Dalam rumah panggung inilah, nantinya si pemilik atau penggarap
kebun akan tinggal setidaknya selama satu atau dua tahun, hingga bibit karet
telah tumbuh cukup kuat untuk ditinggalkan. Atau kadang, mereka harus membuka
lahan baru di wilayah baru.
Selama masa behume ini,
bibit karet tak dibiarkan berdiri sendirian di sana. Inilah masa pengolahan
lahan yang sesungguhnya. Lahan subur itu dimaksimalkan sedemikian rupa. Di
antara jajaran bibit-bibit karet, pada sela-selanya, beberapa menanam padi
tanah kering, beberapa lainnya menanaminya dengan jagung, kacang tanah,
ubi-ubian, sayur-sayuran, juga tanaman obat dan bumbu-bumbuan. Tak lupa, di
sekililing kebun juga ditanami bibit-bibit pohon besar, seperti durian, duku,
rambutan, cempedak, atau tanaman-tanaman kayu.
Ada sloroh sederhana warga, “Lom
pacak nakok, gi ade tahok mentok,” (belum bisa menyadap, masih ada daun
ubi). Meski mereka belum bisa menyadap karet, asap dapur akan tetap mengebul.
Mereka bisa menjual hasil panen tanam-tanaman atau langsung memasaknya untuk
kebutuhan sehari-hari.
Satu hal unik tentang behume,
mereka yang behume biasanya adalah
penggarap lahan. Satu catatan penting di sini, pemilik-pemilik kebun biasanya
adalah tauke-tauke besar yang tinggal di dusun atau di kota-kota sekitar. Para
penggarap ini, adalah mereka petani-petani biasa yang tinggal di sekitar
perkebunan, baik warga asal ataupun pendatang. Pun ada warga asal yang memiliki
kebun, luasnya tak seberapa, setengah atau satu hektar saja, berisi lima
ratusan batang pohon karet yang menghasilkan getah tak terlalu besar.
Petani-petani biasa ini, mereka biasanya tinggal pada
talang-talang di sekitar perkebunan. Talang menjadi satu wilayah adiministratif
unik, menjadi satu perkampungan kecil yang berisi sepuluh hingga lima puluhan
kepala keluarga yang mendiami satu wilayah di sekitar perkebunan. Biasanya
dipimpin oleh seorang ketua RT, sebagai perpanjangan tangan kepala desa yang
berada puluhan kilometer jaraknya. Jangan bayangkan pembagian wilayah seperti
di perkotaan, di sini, satu desa bisa seluas satu kecamatan di Jawa. Satu desa
bisa memiliki sepuluh hingga lima belas talang yang tersebar-sebar.
Talang dulunya terbentuk untuk kebutuhan praktis: agar dekat
dengan kebun. Ketika bertanya, sejak kapan sebuah talang ada, warga tak mampu
mengingatnya. Kebanyakan mereka telah meninggalinya selama turun-temurun,
berganti-ganti. Ketika telah cukup mampu membangun rumah di dusun, mereka
kembali ke dusun. Lalu panggung di talang dibiarkan saja, sebelum diisi oleh
saudara atau krabat yang baru akan memulai kebun. Tak heran, biasanya
pasangan-pasangan muda yang tinggal di talang. Meski kini juga banyak warga
yang menetap di talang.
Saya bertanya pada M. Pudi, ustaz sekaligus tetua di Talang
Tebatrawas Desa Pagar Agung misalnya, dan jawabannya adalah, “Aku mude, talang ini la ade,” (aku
masih muda, talang ini sudah ada). Beberapa talang memang tumbuh baru, tapi
kebiasaan menetap di talang memang sudah ada sejak lama, sejak kebun-kebun
produktif dibuka di daerah ini. Atau beberapa anak-anak bercerita, “La ade sejak jaman Belanda,” (sudah ada
sejak jaman Belanda).
Ketika behume, rumah di
talang ditinggalkan. Mereka membawa alat-alat untuk kebutuhan sehari-hari ke hume. Mulai dari kasur lipat, baju-baju,
alat makan, juga kompor, yang seringnya malah tak dipakai, karena tungku tetap
lebih efektif di sana.
Ada ritme dan harmoni yang indah dari kegiatan behume ini.
Pagi hari, tak perlu mandi dan dengan sarapan sekadarnya, biasanya
berisi kombinasi nasi hangat, mie instan yang diremukkan, lauk, sayur, atau
gorengan jika ada, serta kopi manis mereka bersiap menggarap kebun. Bagi mereka
yang ada lahan takokan, lahan untuk
menyadap, mereka akan pergi menyadap. Bagi mereka yang belum ada takokan, mereka akan melakukan apa saja
yang menuntut perhatian di hume.
Mulai dari membersihkan tanah dari jamur dan gulma merugikan, menyabuti rumput,
memupuk tanaman, memanen tanaman yang siap jual.
Siang hari, mereka akan kembali ke rumah. Mandi dan membersihkan
diri, makan siang dengan komposisi yang hampir sama. Biasanya ada tambahan
aneka sambal padas dan sayur-sayuran, atau gulaian
orang menyebutnya. Salah satu yang paling khas di sini adalah tahok rendang, yaitu tumbukan daun ubi
kayu atau daun ketela, yang ditumbuk halus lalu ditumis dengan bumbu bawang,
cabai dan teri. Kombinasi pedas-asin yang memaksa kita mengambil nasi hangat
berkali-kali hingga perut kenyang terisi.
Setelah istirahat sebentar hingga matahari tak terlalu tinggi
lagi, tanam-tanaman merayu lagi untuk didekati dan diurusi. Ibu-ibu juga
biasanya membuat rondengan, atau
camilan khas dari hasil kebun. Mulai dari mengeringkan buah-buahan, mengolahnya
untuk dijadikan krupuk, atau sekedar mengeringkan cabai merah untuk dibibitkan
lagi. Hingga sore dan matahari tenggelam. Saatnya membersihkan diri lagi dan
lalu makan malam bersama semua anggota keluarga. Menunggu kantuk datang dengan
saling bercerita atau sekedar mendengarkan ceramah dari MP3 di HP. Bercerita
tentang tomat, terong, rumput yang semakin cepat tumbuh, atau harga cabai yang
sedang bagus di kalangan, pasar
harian di dusun. Hingga entah jam berapa, cukup malam untuk tahu bahwa ada
kalanya badan memaksa untuk diistirahatkan sebelum kembali ke rutinitas pagi
keesokan harinya.
Beberapa hari lalu saya berkesempatan merasakan tinggal di hume. Pagi di Hari Minggu itu hujan
lebat datang. Cukup lama hingga mampu mengalahkan dingin dan beranjak untuk
keluar rumah kayu dan mencari tempat untuk buang air kecil. Satu hal lagi
tentang behume, kita bisa buang air
di mana saja, asal jauh dari rumah dan sumber air bersih. Beruntung malam itu
hujan dan Wak Arip, pehume yang saya inapi, memiliki bak penampung air hujan
besar di bawah ujung atap rumah kayunya. Sehingga tak perlu turun jauh menuju
sumber air berupa aliran kecil air yang membelah kebun.
Wak Arip Betine atau Wak
Arip perempuan, istri Wak Arip, mengikuti saya bangun. Ia langsung menyalakan
api dan memanaskan air. “Hujan besak,
kakge bai geraknye...” (hujan besar, nanti-nanti saja bangunnya), ujarnya.
Saya memanggil keluarga ini Wak, atau
Uwak, sebuah panggilan untuk kakak
dari orangtua, karena keluarga yang saya tinggali di sini berkawan akrab
seperti saudara dengan keluarga Wak Arip ini. Dipanggil Wak Arip, karena anak
tertua keluarga ini bernama Arif, tapi warga di sini terbiasa menyebut huruf
“f” dengan huruf “p”. Jadilah Arif akrab terdengar sebagai Arip, seperti
festival menjadi pestipal.
Tentang Wak
Arip
Wak Arip Jantan, Wak
Arif Laki-laki, nama aslinya adalah Ahmad Zainuri. Ia adalah Wong Jawe, asalnya dari Magetan, Jawa
Timur. Di sini ia menjadi petani penggarap untuk tiga tauke di dusun. Tauke adalah sebutan bagi para pemilik perkebunan
dalam jumlah besar atau sekaligus pengumpul getah dari petani untuk disalurkan
pada pedagang yang lebih besar, hampir sama dengan istilah juragan.
Kak Arif, anak laki-laki sulungnya yang sudah berkeluarga, bersama
istrinya juga tinggal behume menunggu dan menggarap kebun milik seorang tauke
dusun. Wak Arip kini tinggal dengan istri dan anak bungsunya, Roma. Mereka sudah
beberapa kali membuka hume di lahan-lahan
takokannya.
Kali ini ia membukakan lahan milik seorang tauke dari dusun.
Lahannya cukup luas, hampir dua hektar, meski bentang ini menjadi ukuran yang
tak terlalu luas bagi ukuran warga di sini. Rumah kayunya berupa rumah panggung
yang tak terlalu tinggi, jarak dengan tanah hanya sekitar satu meter. Menonjol,
terletak di tengah-tengah lahan. Pohon Ubi Kayu berjajar membentuk jalan
setapak menuju rumah kayu. Di sekitarnya, pohon terong dan tomat sambal berbuah
lebat, putih-hijau, ungu, dan oranye kemerahan. Melajur ke arah sebaliknya,
beberapa tanaman jagung sudah mulai mengeluarkan rambut-rambut cokelatnya, “Beberapa bulan lagi pacak dipanen, pacak
direbus kakge,” (beberapa bulan lagi bisa dipanen, nanti bisa direbus),
kata Wak Arip Betine. Sedikit ke pojokan di samping rumah, pohon-pohon cabai
rawit berjajar, selutut tingginya, cabai-cabai kuning keemasan itu sudah
beberapa kali dipanen. Sepuluh ribu untuk seukuran plastik setengah kilo jika
dijual di talang.
Di sana-sini terlihat tanaman kencur muncul begitu saja, daunnya
sudah mulai lebar dan berbunga, tanda umbi kencur sudah mulai membesar di bawah
tanah. Juga pohon kunyit, jahe, dan serai. Di musim hujan seperti sekarang,
jika malam hujan datang, paginya aneka jamur bermunculan di sela-sela batang
dan tanah-tanah yang penuh arang dan terbakar. Bermacam-macam jenisnya, namun
hanya beberapa yang bisa diolah. Jamur kayu, orang sini menyebutnya. Tandanya,
jamur yang berwarna cerah tak bisa dimasak. Hanya yang berwarna cokelat
kehitaman yang bisa diolah. Ada pula jamur tikus, entah kenapa dinamai begitu,
tapi rasanya enak juga.
Behume, seperti
menjadi gambaran menyenangkan tentang memiliki cukup lahan dan cukup waktu
untuk mengembangkan bermacam tanaman. Tak perlu panik ketika haga cabai
melambung tinggi atau sekedar memupuk harapan bersamaan dengan tanaman kacang
yang mulai menua hingga datang saatnya panen nanti. Lebih besar lagi, harapan
dan semangat mereka yang behume ada
pada bibit-bibit karet yang daunnya mulai berubah menjadi hijau tua. Enam atau
tujuh tahun lagi, pohon-pohon itu akan menjadi sumber hidup mereka.
Wak Arip bercerita, jika cuaca bagus, dalam sebulan ia dan
kelurganya yang menyadap bisa mengumpulkan setidaknya enam pikul karet. Satu
pikul merupakan sebutan untuk karet alam kira-kira seberat 100 kg. Harga satu
kilogram karet alam di pasaran kini sekitar Rp. 9.000. “Anggaplah sembilan
ribu...” kata Wak Arip, “Ada lima juta kami dapat, hitunglah Bu... Lebih besar
dari gaji pegawai negeri.”
“Itu baru
dari nakok bai Bu, di luar nakok inilah kami behume, ade pula duitnye. Ade
bailah hendaknya untuk dimakan,” (Itu baru dari menyadap saja, di luar
menyadap, ada juga uangnya. Ada saja yang bisa untuk dimakan), lanjutnya. “Pernah pule karet sekilo dua puluh tujuh
ribu, Bu...” kenangnya menerawang.
Masa ketika karet mencapai Rp. 27.000 selalu menjadi kenangan indah
bagi para petani di sini. Dalam beberapa percakapan tentang karet, pun dengan
anak-anak, kalimat ini hampir selalu muncul. Gambaran tentang pendapatan
menyadap yang lebih besar dari gaji pegawai negeri juga menjadi cerita
tersendiri. Memang benar adanya demikian. Tak jarang, mereka yang memiliki
pekerjaan sebagai abdi negarapun tetap ke kebun, baik berangkat ketika subuh
sebelum bekerja ataupun siang setelah bekerja.
Bagi Wak Arip sendiri, yang berasal dari Jawa, hidup di sini
berkali-kali lipat enaknya daripada di kampung halamannya, di Magetan sana. Ia
misalnya, ketika membuka kebun dan tinggal di sana, termasuk menanami bermacam
tanaman dan memanennya sambil menunggu pohon karet siap disadap, tak dikenai
sepeserpun biaya sewa lahan. Hasil panen tanaman juga sepenuhnya menjadi hak
Wak Arip, sesekali ia mengantar hasil panen ke pemilik lahan. Bagi hasil
dilakukan ketika karet mulai disadap. Berbeda dengan sistem pengolahan lahan di
Jawa oleh petani penggarap, yang biasanya ada semacam uang sewa lahan atau bagi
hasil sejak dari awal.
Di sisi lain, keberadaan petani penggarap seperti Wak Arip
sebenarnya banyak menguntungkan para pemilik kebun atau tauke. Dengan lahan puluhan hektar, para tauke perlu petani
penggarap untuk menyadap getah dari tanaman produktif setiap hari. Pun untuk
mengurus lahan-lahan yang baru dibuka untuk ditanami bibit baru. Petani-petani
penggarap yang bersedia untuk behume ini dapat menjaga tanaman tetap tumbuh
dengan baik dan tanah diolah dengan baik pula. Meski barangkali, jika mau lebih
kritis lagi, tauke sebagai tangan pertama yang mendapat getah alam dari petani
harusnya mampu memberi pilihan yang lebih baik bagi para petani, terutama
terkait nilai harga jual dan atau informasi terkait peningkatan kualitas karet
yang bisa diupayakan sejak dari perkebunan. Tapi tentu ini agak rumit,
mengingat getah alam adalah produk ekspor dengan permainan harga yang terus
berubah tiap waktunya dan negara-negara lain yang juga ikut bersaing dalam
pasar ini.
Behume, pada
akhirnya menjadi seperti untuk saling melengkapi. Bagi tanah-tanah subur di
sana, rumpun-rumpun cabai dan tomat melengkapi bibit-bibit karet yang siap
tumbuh meninggi. Bagi para petani penggarap, inilah cara hidup untuk melengkapi
rutinitas menyadap mereka. Rutinitas untuk menyambung hidup mereka agar tak
berhenti sekedar untuk memegang pisau sadap di pagi hari. Karena kadang hari
hujan dan pohon karet tak mau mengeluarkan getahnya sementara. Hume, menjadi hiburan pelengkap di
hari-hari mereka. Hari-hari yang jauh dari riuh rendah suara yang memburu.
Di hume tak ada TV. Itu cukup menjadi alasan untuk menepi.
***
Sementara bagi saya, hume
seperti menjadi separuhnya mimpi. Rumah kayu, pohon cabai dan tomat di sekitar
rumah serta beberapa petak lahan yang siap ditanami apa saja. Minus kamar
mandi, sebenarnya.
Pagi itu, sambil menunggu sarapan matang, saya berkesempatan untuk
bercerita banyak dengan Wak Arip. Sebagian ceritanya, sudah saya tuliskan.
Sebagian lagi, mengendap saja di salah satu bagian otak saya.
Salah satunya tentang ini. Saya kira, gambaran hidup di satu
wilayah dingin dan berkabut bagi orang kota kebanyakan, yaitu teman-teman saya
dan mungkin juga saya, adalah bukan tentang menjadi seorang petani seperti Wak
Arip. Tentu saja. Akan hanya sedikit orang kota yang mau berubah haluan menjadi
petani. Menjadi petani yang benar-benar menggantungkan hidupnya dari
tanaman-tanaman yang dirawat dan diolahnya hingga menghasilkan. Demikian, terus
menerus... sama halnya ketika orang-orang yang bekerja kantoran selesai dengan
satu proyek dan bersiap untuk proyek selanjutnya. Semuanya adalah rutinitas.
Pada akhirnya akan menjadi sama-sama membosankan. Akan tetap ada satu titik
untuk menjadi bosan.
Tapi Wak Arip sudah tidak mau tinggal di kota lagi. Tak ada yang
bisa dilakukannya di sana, katanya. Lalu pertanyaannya ingin saya balik, jika
saya dan teman-teman saya ingin tinggal di tempat dingin dan berkabut itu, lalu
mau apa? Apakah bertani atau hanya slonjoran saja? Jika ada yang dilakukannya,
apakah ada yang bisa dilakukannya, seperti halnya ketika kota menyediakan
banyak hal untuk dilakukan?
Sudahlah. Jakarta pun, sebenarnya masih memiliki kabut. Coba
keluar jam empat pagi.
No comments:
Post a Comment