“Haloo…”
Gwen menjawab dering telpon genggamnya. Malas.
“Mbak
Gwenda, ini Dita front-desk Mbak…” ujar suara di ujung sana.
“Oh, iya
Dita. Ada apa?”
“Ada paket
buat Mbak Gwenda. Ini baru dateng, mau Mbak ambil sore ini atau besok pagi aja?”
“Oh, besok
pagi aja Dita. Ini masih di meeting di luar. Paket apaan emang? Saya nggak lagi
pesen barang…”
“Kurang tahu
mbak, kecil tapi agak berat. Kalau gitu saya simpenin buat besok ya mbak. Udah mau
jam pulang kantor soalnya…”
“Oh, oke. Thanksss
yah…”
“Sama-sama
mbak…”
“Oia, Dita, ngomong-ngomong
paketnya dari siapa ya?”
“Oh, ini,
paketnya dari… Dari Benitez Bayu Mbak…”
“Oh…”
“Saya
simpenin ya mbak. Jangan lupa besok diambil.”
“Oh… iya,
iya… makasih ya Dita…”
“Sama-sama
Mbak Gwenda…”
Klik.
Ben. Paket apaan?
Dan, dari Ben?
Paginya,
Gwen menuju meja resepsionis di kantornya. Mengambil paket yang ditujukan
untuknya. Meneken di buku pengambilan paket. Menuju mejanya di pojokan,
menghadap kaca dan pemandangan Jakarta. Menyalakan komputernya. Melihat bungkusan
kertas kado warna-warni berlapis plastik berlogo merek si jasa pengirim. Dari Benitez
Bayu, di Banda Aceh. Ngapain Ben di sana?
Dan Ben, ada
apa dia mengiriminya paket segala? Sudah lebih dari tiga tahun, sejak Gwen
terakhir bertemu Ben. Di teras depan. Melihat pohon mangga tersiram hujan. Ah,
Ben…
Gwen mulai
membukanya. Pertama-tama, mengupas habis si plastik pembungkus dengan cara
menariknya agak keras, si plastik memuai menjadi sedikit lebih panjang, sebelum
akhirnya menipis dan kuku Gwen bisa dengan mudah untuk membuat satu lubang kecil,
dan lalu merobeknya, memaksa si kotak warna-warni keluar. Gwen sedikit tertawa.
Pasti Ben nggak bisa nemuin kertas kado yang lebih serius agar bisa dijadikan
kertas pembungkus. Sejak kapan Ben jadi warna-warni pastel gini? Gwen tertawa
lagi. Membaca kembali nama di pojok bagian pengirim, “Benitez Bayu – Banda Aceh”.
Tulisan tangan Ben. Kecil rapi, sedikit miring ke kanan, memanjang di tiap kaki
huruf. Seperti pohon bamboo jika dilihat terbalik. Memutar kotak tak terlalu
besar itu. Membaca namanya di sana: Gwenda Rahman, nama kantornya, Sentral
Senayan III Lt. 11. Jalan Asia-Afrika No. 8, Senayan. Dan lalu nomor telponnya.
Ini juga tulisan tangan Ben. Lalu Gwen membuka tiap isolasi dengan rapi. Pasti Ben
membungkusnya sendiri, duga Gwen. Karena lem menempel di sana-sini, tak rapi.
Isinya sebuah
buku. “Tagore dan Masa Kanak” oleh Rabindranath Tagore. Sebuah kumpulan cerita
pendek.
Selembar kertas
yang dilipat jadi dua menyempil di balik sampul buku berwarna cokelat yang
memiliki jumlah halaman tak lebih dari 200 itu.
“
Hai, Gew..
Kudengar kau akan jadi guru, Gew? Benar? Kudengar
juga, kau akan mengajar di satu daerah pedalaman? Atau semacam terpencil? Benar?
Aku ingin bertanya, “Kenapa?” Ada apa di
sana, di balik alasanmu itu? Meninggalkan kursi yang pasti sangat kau cintai
yang kau datangi hampir tiap pagi itu? Kursi yang juga kadang kau benci. Tapi kutahu,
selembar-dua lembar-tiga lembar jawabanmu tidak akan cukup untuk menampung semua
alasanmu. Maka aku tidak akan bertanya “Kenapa?”.
Bolehkah kuucapkan selamat? Selamat, Gew…
Karena mungkin ini hal yang sangat kau
inginkan saat ini… aku hanya menebak. Aku tidak tahu. Karena kau yang selama
ini kukenal akan selalu berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkan apa yang kau
inginkan, bahkan ketika kau sadar kau tidak akan mendapatkannya, sampai kau
lelah sendiri dan lalu mencari satu hal lagi yang pantas kau ingini. Aku tahu
kau tidak akan memilih dan melakukan hal-hal yang tidak kau inginkan. Kau selalu
memikirkan banyak hal. Mulai dari tujuan, rencana, hingga kemungkinan-kemungkinan
dan cara menyelesaikannya. Kebiasaan membuat analisis SWOT-mu kukira belum
hilang hingga sekarang. Mungkin malah semakin terasah. Jadi, kusimpulkan saja
sendiri, kau pasti telah berfikir panjang, jikalah benar kau akan berangkat
untuk menjadi guru, meski sebentar, di satu tempat jauh entah di mana. Aku turut
senang. Aku senang, karena dengan dunia belajar-mengajar ini, kamu akan
belajar. Mungkin jawabanmu akan seperti itu. Sejauh ini aku mengenalmu,
biasanya jawabanmu akan seperti itu. “Minimal aku mendapatkan pelajarannya…” adalah
kalimat andalanmu.
Ini buku Tagore. Di sini ada cerita lucu
tentang calon guru dan murid-muridnya. Bacalah. Aku yakin kau akan suka…
Semoga nanti aku bisa berjumpa denganmu Gew. Dan
mungkin kita bisa bercakap panjang lebar… bicara sangat panjang sampai kau
ngantuk tertidur. Ya, semacam itu. Bercakap-cakap saja, bercerita tentang
hal-hal tak penting dan keseharian yang membosankan. Melihat seberapa kuat kita
melawannya setiap hari. Semoga waktu itu akan datang, Gew.
Dan, panjangkan lagi rambutmu, Gew. Karena di
sana, orang memotong rambut tidak dengan gunting cukur dan mereka merapal
mantra. Jangan potong rambutmu di luar sana, hhha… pesanku itu saja.
Banda Aceh, 6 April
Ben
“
Gwen
tersenyum. Mengingat surat pengunduran dirinya yang sudah seminggu ia simpan di
laci meja. Menguatkan lagi niatnya.
“Where the
mind is without fear and the head is held high
Where
knowledge is free
Where the
world has not been broken up into fragments
By narrow
domestic walls
Where words
come out from the depth of truth
Where
tireless striving stretches its arms towards perfection
Where the
clear stream of reason has not lost its way
Into the dreary
desert sand of dead habit
Where the
mind is led forward by thee
Into ever-widening
thought and action
Into that
heaven of freedom, my Father, let my country awake
Where the Mind is Without Fear – Rabindranath
Tagore.
No comments:
Post a Comment