Monday, March 25, 2013

...PARADOKS





Siapa duga, rasa yakin datang pada saat-saat yang sedikit tak pada tempatnya. 

Bukannya saya tidak percaya agama dan tuhan, tapi kadang saya belum terlalu yakin dengan kekuatan iman saya sendiri. Maksud saya, meski saya percaya, saya selalu bertanya pada diri sendiri: adakah saya adalah seorang penganut yang baik? Dan saya tak pernah punya jawaban. Tentu saja, karena saya bukanlah manusia yang baik. Terlebih ketika melihat diri saya sendiri ke tahun-tahun sebelum sekarang. 

Pagi itu sudah saya tunggu-tunggu sejak lama. Pagi di hari Senin, ketika saya rehat dari kebiasaan di hari-hari biasanya. Kadang, saya senang ketika mendapat working order cukup banyak untuk mengejar momen-momen tertentu. Karena, meski klabakan dan harus pulang agak lebih malam dan tetap bekerja di akhir pekan, itu berarti saya akan mendapatkan kesempatan untuk memilih satu hari yang saya inginkan untuk tidak bekerja dan melakukan hal yang saya suka.

Seperti Senin yang sudah saya tunggu-tunggu ini. Hingga saya mengalami hal yang sangat paradoks ini.

Saya selalu mengagumi bangunan-bangunan lama yang masih tegak berdiri hingga sekarang. Jika melihat bangunan-bangunan semacam ini, pikiran saya akan melayang pada tahun-tahun ketika bangunan didirikan. Siapa yang merancangnya dan dari mana ia mendapatkan idenya. Siapa saja orang-orang yang membangunnya. Bagaimana mereka mendapatkan bahan-bahannya. Seperti apa orang-orang yang tinggal atau beraktifitas di dalamnya. Siapa yang merawatnya hingga sekarang? Apakah dulu ini adalah yang terindah?

Untuk melakukan ini semua, saya sering harus berdiam agak cukup lama. 

Seperti ketika saya mengagumi satu bangunan rumah bergaya peranakan di sekitar Pasar Kutoarjo, tidak jauh dari Stasiun Kutoarjo. Saya dan Diah, kawan baik saya, kami berjalan mengelilingi pasar lama itu untuk mencari sebuah warung bakso yang namanya melegenda di sana. Ketika berjalan pulang, lalu kami tersadar, kami seperti sedang berjalan di masa yang seperti bukan sekarang.

Jalan panjang itu dikelilingi toko-toko dengan papan nama yang catnya telah luntur. Beberapa menggunakan huruf China, saya tak bisa membacanya. Baunya seperti lemari almarhum nenek saya, campuran antara kapur barus, ngengat, dan lembab. Baunya tua dan tajam. Bahkan saya bisa mencium bau sebuah kompleks pertokoan. Mungkin karena saya melihat etalase-etalase yang berisikan kardus-kardus dengan warna-warna pudar dan lembab. Atau gambar-gambar pada botol kemasan kosmetik yang pernah saya temui ketika kecil masih saja menantang mata saya di sana. 

“Mereka mungkin masih saya membuka toko mereka karena mereka tak tahu lagi apa yang harus dilakukan selain menunggu pembeli di kursi mereka seperti berpuluh-puluh tahun lalu,” kata saya hampir putus asa. Atau bahagia. Karena berarti cici-cici dan koko-koko sepuh di sana masih punya semangat untuk hidup. Bayangkan, jika tiga bulan tanpa profit berarti dengan toko di sebuah mall itu berarti tanda untuk segera beralih pada merek atau konsep selanjutnya. Mereka yang memiliki toko di dekat Stasiun Kutoarjo itu tetap membuka tokonya setiap hari sejak berpuluh-puluh tahun lalu, tanpa ada pembeli baru, tanpa ada penjaga toko baru, bahkan tanpa ada produk baru.

Tapi tentu tidak semuanya begitu. Di sana ada Indomaret yang riuh, tentu saja. Dan sebuah toko obat Cina yang sempit, dan semakin terlihat sempit karena pembeli yang bejubel. Dan, puluhan kios lain yang tak lagi dibuka. Mungkin pemiliknya telah tiada. Seperti halnya bangunan dua lantai bercat hijau yang membuat saya seperti orang bego, karena dengan bodohnya, saya melihat-lihat rumah itu seperti maling yang sedang mencari celah untuk masuk. Kalau saja hari tak semakin panas dan saya harus mengejar kereta saya, mungkin saya akan menemukan celah kecil dan masuk ke rumah itu. Rumah itu sangat cantik. Dengan kayu-kayu seperti rumah-rumah Jawa, bercat cerah seperti rumah-rumah orang peranakan, dan berkaca patri warna-warni seperti kantor-kantor orang Belanda. Saya agak lupa, tapi sepertinya itu adalah sebuah penginapan, karena ada semacam papan nama kecil di pojokan pintu yang tak lagi terbuka. Saya agak lupa, karena di sana juga ada sebuah penginapan bertingkat dua yang masih buka, tapi dengan bangunan yang lebih kekinian: menggunakan batu bata.

Dalam sisa perjalanan kami menuju stasiun, perasaan janggal itu masih saya ada, bahkan hingga sekarang. Kami mencoba menerka-nerka: di masa lalu, di sana tak ada toko yang sepi. Tak ada cat yang luntur. Dan baunya segar mempesona siapa saja. Delman berlalu lalang dan orang-orang yang sibuk memilih barang. Pada saat yang sama, kami seperti melihat ke masa entah kapan yang sekarang tak lagi ada. 

Paradoks yang hampir sama saya rasakan Senin itu.

Berjalan di bawah rimbunan pohon di Jakarta itu katanya doa yang tak mungkin dikabulkan. Mungkin itu benar. Tapi tidak di sepanjang Gedung Kesenian Jakarta, memutar ke Kantor Pos, hingga Gereja Katedral. Pohon-pohon besar menyimpan panas matahari di tubuhnya yang menjulang tinggi. Tak ada macet, tak ada klakson bersahutan, meski masih ada mobil-mobil yang parkir di pinggiran jalan dan supir-supir yang duduk-duduk di trotoar sementara menunggu tuan-tuannya pulang sekolah di salah satu sekolah katolik di sana. 

Tujuan saya pagi itu satu: ke gereja. 

Saya ingin ke museumnya. Dan mungkin saya juga akan berdoa di sana. Kesempatan saya ke sana sangat terbatas. Hanya pada hari Senin, Rabu, dan Jumat setiap pukul 10.00 hingga 12.00 siang. Dan kali ini, saya tak akan melewatkannya. Saya sudah melewatkan kesempatan bertemu adik-adik saya, maka saya tak akan melewatkan kesempatan berdoa di gereja.

Sepertinya ini kali kedua atau ketiga saya mengunjungi gereja. Kali pertama dan kedua itu untuk keperluan shooting yang sebenarnya agak tidak mengindahkan gereja dan isinya. Sementara, yang ada di kepala saya ketika kecil hingga ketika sedikit lebih dewasa, bahwa ke gereja itu dosa. Dan ketika sedikit lebih dewasa, karena saya tak lagi paham mana dosa mana pahala, saya kira ke gereja, pura, candi, atau segala rumah ibadah adalah biasa saja. Semuanya tergantung apa yang ada di hati dan kepala. Hampir sama dengan ketika mengunjungi klub malam, karaoke keluarga, atau menginap di hotel dengan harga 60.000/malam di hotel dekat terminal di pinggiran Kota Klaten. 

Hingga saya berdiam di salah satu kursi panjang menghadap altar dan bertanya pada diri sendiri: tuhan, adakah kita semua selama ini sebenarnya berdoa pada Kau, yang sama di hati kita semua? 

Sebelum saya disapa bapak yang tadinya ngobrol dengan saya, seorang bapak yang sedang mengelap lantai gereja dan memiliki senyum yang sangat ramah. Ia mempersilahkan saya ke lantai dua gereja, karena museum telah dibuka.

Dalam perjalanan menaiki anak-anak tangga kayu itu saya terdiam cukup lama. Paradoks yang sama yang biasa dengan secara tiba-tiba memenuhi diri saya. Saya merasa tidak berada di masa sekarang saya berada, tapi saya tahu saya masih berada di tempat saya bediri sebelumnya. Dan saat itulah tiba, ketika tanpa diduga, kepada ibu yang menatap saya dengan tajam saya berkata: Saya seorang muslim. Saya menjawab tanpa ibu itu bertanya. Ia hanya menanyakan saya berasal dari mana dan meminta saya menulis di buku tamu. Sepertinya ia tahu saya gentar melihat raut mukanya yang tajam, ekspresi galaknya memudar. Ia mempersilahkan saya masuk ke dalam museum.

Museum selalu bercerita tentang apa yang pernah ada dan apa-apa saja yang tertinggal dari sana. Mengajak kita menghormati sejarah. Atau minimal mengenalnya dan cukup tahu saja. Begitupun dengan yang tampak pada Museum Gereja Katedral Jakarta ini. Sekaligus saya menemukan jawaban untuk tiap pertanyaan yang terlontar ketika melihat bangunan yang menakjubkan. 

Sebelum menjelma bangunan dengan denah berbentuk salib dan memiliki tiga menara, Menara Angelus Dei di bagian tengah; Menara Benteng Daud di sisi kiri, dan Menara gading di sisi pintu utama, Gereja Katedral pernah runtuh pada tahun 1890. Hingga dilakukanlah pembangunan ulang dengan fasad hingga seperti sekarang sejak tahun 1891, Pastor Antonius Dijkmans SJ yang merancangnya. Hampir sepuluh tahun ntuk merancang hingga gereja di resmikan pada 1901. 

Dan, siapa yang membangunnya, tentu saja pemerintah Belanda kala itu. Siapa pekerjanya, tentu saja tenaga pribumi kala itu. Siapa yang pada mulanya beribadah di sana, tentu saja para pembesar Belanda yang beragama Katolik. Tapi bukankah setiap bangunan besar yang dibangun di masa itu memiliki pola yang hampir sama. Karen mungkin, pada saat itu, Belanda tak pernah menduga jika mereka akan meninggalkan Hindia-nya tercinta. 

Saya melihat-lihat tiap sudut museum yang membentang di sayap kiri dan kanan bangunan utama gereja itu. Mencoba mengerti makna tiap-tiap benda yang ada di sana: Stola, Biretta, Soledo, Roman Kasula, Kasula Pontifikal rangkap tiga, dan lain sebagainya. 

Setelah hampir sekitar satu jam berkeliling dan sedikit ngobrol dengan beberapa pengunjung lain, saya turun. Ingin segera pulang.

Meski saya akhirnya terduduk di barisan kursi-kursi di mana para jamaah duduk dan berdoa. Kali itu saya memandang-mandang saja semua yang ada di sana. Betapa indah manusia bisa merancang semua ini. Saya membayangkan Nindya, kawan saya yang ingin menikah di gereja katolik, berjalan menuju altar. Saya membayangkan kawan saya seorang katolik, yang begitu rajin ke gereja meski kacau sekali tampilan luar dan omongannya. Saya juga masih mendapati bapak yang tadi mengepel lantai kini tengah mengelap satu per satu kursi di sudut lainnya. 

Saat itu, sepertinya saya masih agak gemetaran, karena saya baru saja mengaku saya adalah seorang muslim. Tidakkah aneh, saya begitu yakin dengan jawaban saya ketika saya berada di bangunan gereja. Apakah saya mengatakannya karena saya ingin si ibu penjaga museum tahu. Atau saya menyatakannya pada diri saya sendiri: bahwa saya seorang muslim. Bahwa saya sebelumnya bertanya di depan altar utama dari sebuah gereja di Groningen sana: tidakkah kita berdoa padaMu yang sama di hati kita semua?. Saya diam hingga agak lama. Masih melihat-lihat altar dan seisi gereja. Saya menanyakannya lagi: tidakkah Engkau adalah yang Esa yang berada di sana? Mungkin saya menemukan jawabannya ketika bapak yang membersihkan kursi itu tersenyum pada saya.

Sebelumnya, ketika saya baru datang, ketika pintu museum belum dibuka, dan saya bingung harus bagaimana. Saya bertanya pada bapak itu, apakah museum hari ini buka, karena ini sudah jam 10 lewat. Si bapak mempersilahkan saya menunggu, karena penjaganya belum datang. Ada yang bergejolak di kepala saya, mungkin memori kanak-kanak saya. Hingga saya berkata: saya bukan seorang katolik, apakah saya tetap boleh duduk di sini. Dan bapak itu mempersilahkan saya. 

Menjadi seorang umat adalah pengabdian. Sementara menjadi percaya adalah kesediaan yang tumbuh dengan sendirinya di dalam sana. Dan ibadah adalah sebuah momen untuk bertemu tuhan yang begitu unik, dengan caranya masing-masing. Ia adalah yang Esa. 

Sebuah pesan mengejutkan saya. Saya harus membuat twit untuk pekerjaan saya. Ya, saya juga membuat twit untuk pekerjaan, saudara-saudara. Mungkin bos saya lupa kalau saya hari ini sedang libur untuk sekedar bertemu tuhan. Saya meninggalkan senyum pamit pada si bapak yang masih saja membersihkan jejeran kursi di sana. Saya menuju taman dengan burung-burung merpati yang sibuk mencari makan di antara kursi-kursi beton. Membuat twit. Dan lalu pulang.

Setelah terseret entah ke mana. Setelah paradoks aneh, yang tak hanya membawa saya ke masa seperti bukan sekarang. Tapi juga pada, apakah saya masih saya yang sama dengan saya yang dulu, sementara saya tahu saya masihlah orang yang sama. Saya kembali pada jalanan di antara rimbun pohon yang tinggi menjulang. Supir-supir yang masih menunggu anak-anak tuannya. Hanya saja matahari sudah semakin terang memanggang siang. 

Tujuan selanjutnya: pasar baru. Dan tebak, di sana saya kembali bertemu bau lembab dan kapur barus seperti ketika saya dan ibu saya merapikan lemari almarhum nenek saya dulu. 

10 comments:

  1. edisi Diyah mencari Tuhan..
    hmm.. klo ngomongin Tuhan, sepertinya gak bakal ada habisnya ya. tp satu hal yang pasti, Tuhan akan senantiasa menunjukkan tanda-tanda keberadaanya bagi mereka yang mencarinya. Dan tanda-tanda itu bisa berupa apa saja. tinggal bagaimana kita menyikapinya. :)

    ngomong2, tulisannya bagus Diyah, alurya juga enak untuk dibaca.

    ReplyDelete
    Replies
    1. ahhha, itu cuma jalan-jalan biasa yang cukup bermakna mas... :))

      iya, kita percaya karena kita bisa merasakannya. feeling is believing. seberapa jauh kita bisa merasa, itu akan berbeda-beda tiap orangnya...:)

      ahaha, terimakasih, mas pond, satu2nya orang di dunia ini yang mungkin baca (dan mau comment) di blogku. hhha... :D

      Delete
  2. yup betul. feeling is believing. ;)
    ahaha.. sama2 Diyah. mungkin ada orang lain di sana yg juga baca selain aku..

    ngomong2 kalo mencari cowok dah ketemu belum nih??

    ReplyDelete
    Replies
    1. hhha, ada, ada, orang masukin keyword di google dan nyasar ke blogku. :D
      hhhaa...


      cari cowok yah? belum sempet mas. hha. duh, g usah dicari kali yah? hha, tapi harus usaha ding yah? ya besok2 lah coba cari2 di sini mas... :D

      Delete
    2. pas ditanya mencari Tuhan, jawabnya cepet.
      eeee.., pas ditanya mencari cowok, jawabnya gelagapan.. haha..
      semoga segera ketemu deh cowok yg diidamkan Diyah. Amin.

      Delete
    3. hhha, bahkan cowok idaman tidak bisa ditemukan dg berdoa mas. halah...
      iya mas... aminn. :)
      begitupun mas pondra yah... :)

      Delete
    4. haha.. bener juga sih.
      klo kata Daniel Johnston sih gini:

      "Only if you're looking can it find you.
      ‘Cause true love is searching too"

      jadi ya harus ada usaha untuk mencari. kan jodoh kita kelak itu saat ini juga sedang mencari kita. :)

      Delete
    5. ak g mudeng dg kata "mencari" mas...hhha...
      org2 yg kita temui skrg itu ya jodoh kita, si. hha
      tp ini pasangan hidup yah maksudhnya?
      semakin g ngerti aku mas. hhha. gimana cara nyarinya? :D

      Delete
  3. Ah otun, aku mbrebes mili kau masi ingat convo kita dulu tentang "Dari kecil aku pengen nikah di Gereja Khatolik" :')

    ReplyDelete
    Replies
    1. hhha, kadang2 ingetan2 semacam itu datang di saat yang tepat nduut. :)

      Delete