Monday, March 18, 2013

...bukan kalah

Berikut adalah tulisan saya, yang saya kirim pada salah satu website, em, cukup oke, walau kadang saya agak-agak pusing ketika membaca tulisan-tulisan di sana. Tapi memang beberapa, sebagian besar, tulisan-tulisan di sana sangat menyenangkan. Dan diam-diam saya ingin melihat tulisan saya di sana, entahlah, mungkin biar terlihat keren. Atau saya ingin kembal menulis dengan agak lebih serius, agak lebih panjang, agak lebih berusaha. Ketika kamu sudah terlalu sering menulis kalimat-kalimat pendek, ada kalanya kamu ingin menulis tulisan panjang, yang baik. Ya, meski mungkin belum baik. Sudah hampir sebulan, dan tulisan ini teronggok di Bank Naskah terus. Sepertinya tidak akan terbit, toh sudah ada tulisan yang membahas hal yang sama. Dan tulisan itu baik, sangat baik, saya senang membaca tulisan itu. Maka dari itu, saya ingin menyimpannya di sini. Biar besok-besok saya bisa lebih objektif dan kritis lagi kalau menulis. Tidak lagi emosional. Iya, saya menulis ini dengan jutaan perasaan sentimentil. Ya, saya harus belajar lagi. Penulis yang baik, kata mentor saya dulu, tahu apa yang dia tulis. Tidak menyerahkan semuanya kepada pembaca, harus ada gagasannya, toh ini bukan reportase, dan, yah, reportase pun harus punya gagasan. Dan, saya tidak punya itu, saya cuma punya emosi-emosi yang berlebihan setelah melihat si objek tulisan. How this sentimentil fool can be? Saya cuma kurang disiplin, sepertinya. Karena katanya, setiap orang itu pada dasarnya bisa menulis. :)


_____________________________________________________



Cinta dan Kehilangan di Keping Ketiga Rectoverso


Mendengar kabar hadirnya film “Rectoverso”, membuat saya membongkar kembali satu dus kecil berisi beberapa buku yang saya masukan sembarangan ke dalam kolong kamar tidur kost baru saya. Membaca kembali buku berjudul sama dengan halaman sampul berwarna hijau dengan sedikit pendar kuning warna pagi, atau kalau bukan senja, dan sepasang sosok gelap yang saling ragu bertatap.

Lima dari sebelas kisah dalam buku kumpulan cerita berjudul sama karya penulis Dewi “Dee” Lestari ini diadaptasi oleh, tak tanggung-tanggung, lima sutradara perempuan menjadi satu film omnibus berdurasi sekitar 110 menit. Pemersatu lima kisah ini, jika bukan karena semua cerita aslinya ditulis oleh satu penulis sama, maka adalah tentang kehilangan. Bukan tentang perjuangan yang sama. Bukan tentang momen-momen yang terjadi pada satu waktu yang sama. Bukan tentang kisah-kisah pada satu kota yang sama. Juga bukan tentang satu ritual pada satu perayaan yang sama. Atau setidaknya, itu menurut saya.

Cerita tanpa nama

Tampaknya, kelima sutradara, Marcela Zalianty (Malaikat Juga Tahu); Rachel Maryam (Firasat); Caty Sharon (Cicak di Dinding); Olga Lidya (Curhat Buat Sahabat); Happy Salma (Hanya Isyarat), tidak ingin merubah banyak hal dari setiap kisah dalam tiap cerita pendek Dee. Kecuali satu hal, tentang nama. Setelah membacanya lagi, saya tersadar satu hal. Di dalam buknya, Dee menuliskan kisahnya tanpa nama. Hanya ada aku, kamu, dia, si Abang, Bunda, laki-laki itu, perempuan itu, atau kata ganti –nya. Tak heran kita akan merasa dekat saat membacanya, seperti mendengar seorang kawan dekat bercerita dan lalu terbahak atau menangis bersama. Bukan sekedar menjadi penonton diam yang menerka-nerka, apa yang akan terjadi setelah ini atau, ini kisah apa lagi?

Mungkin, kita memang selalu butuh identifikasi akan berbagai hal yang kita temui. Termasuk karakter-karakter dalam film ini. Karakter-karakter bernama dan memiliki alasan atas semua akhir cerita yang akan terjawab kemudian. Mungkin, karena pada awalnya, kita adalah penonton. Kita datang, mencoba memahami apa yang terjadi, dan barulah mengerti.

Mengerti kenapa Abang (Lukman Sardi) memakai celana longgar kebesaran dan terlihat begitu bodoh. Mengerti kenapa Amanda (Acha Septriyasa) berdandan cantik untuk merayakan kebebasannya. Mengerti alasan Al (Amanda Soekasah) lebih senang duduk sendiri dari pada bergabung dengan yang lain. Mengerti mengapa Taja (Yama Carlos) begitu mengagumi Saras (Sophia Mueller). Dan mengerti kenapa Senja (Asmirandah) selalu terlihat gelisah. Meski mungkin tak sepenuhnya.

Atau mungkin karena, daripada memisahkan satu kisah dengan kisah lainnya melalui jeda gelap beberapa detik di layar untuk masuk ke cerita selanjutnya, kelima sutradara lebih memilih untuk menyatukan semua kisah dalam satu kesatuan gambar berurutan. Maka, kita akan mengerti sendiri dengan mengenal tiap karakter dan wajah, lengkap dengan nama-nama mereka. Bergulir perlahan dari perkenalan hingga akhir yang harusnya kian menyesakkan beriring suara sendu Glen Fredly.

Tentang kehilangan

Karena ini adalah tentang kehilangan, maka kita akan bertemu lima kehilangan secara bersamaan. Tidak semunya mengharukan, meski semuanya bisa saja begitu menyesakkan. Atau sebaliknya, untuk melepaskan dan merelakan. “Untuk belajar menerima,” seperti kata Panca (Dwi Sasono), seorang tetua Klub Firasat, klub bagi mereka yang memiliki kelebihan untuk merasakan pertanda-pertanda dari alam saling bertukar cerita dan pengalaman.

Kita tak harus merasa sama, atau merasakan apa yang si tokoh rasakan, seperti pada banyak film seseorang kemudian bercermin, karena memang, bisa dibilang, dari awalnya memang kisah-kisah ini secara brilian mengambil sudut pandang yang jarang ditemukan. Meski tak bisa seperti kawan baik yang mendengar keluh kesah kawannya, setidaknya, kita menyimpan simpati dan sudut pandang baru dalam melihat berbagai hal yang bisa saja terjadi.

Tentang si Abang, seorang pengidap autis di usia akhir 30-an yang kehilangan satu kepastian yang biasa dalam hidupnya. Baginya, kehilangan satu hal yang biasa ada berarti kekacauan, termasuk bagi orang-orang di dekatnya. Kita akan melihat Bunda (Dewi Irawan), ibu Abang, meminta Leia (Prisa Nasution),  perempuan muda yang kost di rumahnya untuk tetap tinggal dan pura-pura tidak terjadi apa-apa, meski Bunda tahu, perempuan itu adalah kekasih putra bungsunya yang normal dan tampan. Karena Bunda tahu, Abang mencintai Liea, dan jika Leia pergi, itu berarti Abang akan kehilangan satu “kepastian” yang biasa ada dan tak akan mendapatkan gantinya lagi. Karena Leia bukan kotak sabun, komik, atau segala mainan koleksi Abang.

Atau bagaimana seorang Amanda yang tak juga menyadari kasih sayang tulus Reggie (Indra Birowo), sahabat baiknya yang selalu ada tapi tak pernah dipedulikannya, hingga Reggie tak lagi menemukan cinta yang pernah dimilikinya. Sampai hanya ada diam yang panjang di antara keduanya. Atau kasih tak sampai antara dua orang yang saling mengagumi dan terpisah begitu saja hingga dipertemukan lagi pada waktu dan masa yang telah merubah keduanya. Serta bagaimana orang-orang dengan firasat yang tajam mampu merasakan berbagai pertanda alam, termasuk tentang kematian yang tak dapat dicegah dan diduga kapan, bagaimana, dan pada siapa dia akan datang. Atau tentang kesadaran yang sudah dulu ada, bahkan ketika kita tahu kita tidak akan mendapatkan apa yang kita inginkan. Tapi tetap berbesar hati dan kembali pada apa yang seharusnya kita lakukan, karena kita tahu, kita akan menjadi semakin menyedihkan dengan terus memaksakan.

Dan pada akhirnya, entah terpaksa atau dipaksa, karena dihadapkan pada lima cerita berbeda, kita akan memilih dan memilah, kisah mana lebih bagus dari kisah lainnya. Meski semuanya akan kembali pada selera.

Jika sebelumnya saya bilang bagaimana rasanya bertemu seorang kawan ketika membaca cerita pendeknya, maka saya juga seperti bertemu kawan yang sama ketika melihat “Hanya Isyarat”. Tanpa sederet aktor dan aktris terkenal, kecuali Fauzi Baadila yang mencoba menyemarakkan suasana, kita akan menemukan intensitas dan rasa seperti mendengar seorang kawan tegar berbicara, “Saya adalah orang yang paling bersedih, karena mengetahui apa yang tidak sanggup saya miliki,” dengan tawa dan tanpa sedikitpun air mata.

Dan, oiya, tentu saja, kita akan menemukan gambar-gambar indah yang, bahkan ketika mereka harusnya bersedih, gambarnya tetap terlihat indah. Dan sepertinya kita harus berterimakasih pada penata kamera Yadi Sugandi, untuk semua gambar-gambar indah dan urutan frame demi frame yang terlalu manis untuk dinikmati di tiap pergantiannya. Dan tentu saja, lima aktris yang berevolusi menjadi sutradara, dan hasilnya tak mengecewakan. Menyenangkan malah. Meski, sejujurnya, agak menyebalkan untuk melihat mereka secara terang-terangan masuk pada salah satu adegan untuk sekedar lewat dan tertawa-tawa tanpa makna apa-apa.

Jika rectoverso merupakan pengistilahan untuk dua citra yang seolah terpisah tapi sesungguhnya satu kesatuan dan saling melengkapi. Seperti sepasang buku dan album “Rectoverso” karya Dee lima tahun lalu, barangkali film ini menjadi semacam anaknya. Karya lainnya yang lahir dan akan tumbuh dengan caranya sendiri. Sama, tapi tak persis sama, atau bahkan berbeda. Seperti sisi lain dari cinta, barangkali, adalah kehilangan.

Dan, satu pertanyaan lagi, apa kelahirannya tak bisa tidak untuk tak terlalu kentara memperlihatkan berbagai citra? Saya masih boleh protes tentang merek-merek tertentu yang terlihat terlalu jelas masuk layar, tidak sih?
 

2 comments:

  1. akhirnya diposting juga nih di blog cuman rumput kok.. :)

    hmm.. aku baca2 sih memang ini adalah resensi film. biasanya Jakbeat itu lebih menekankan ke kritik filmnya ya. mungkin klo ada salah satu saja kutipan dari Christian Metz di tulisannya, bisa jadi bakalan langsung dimuat tuh. hehehe

    tp jangan penyerah Diyah. pokoknya tetep menulis ya. tulisannya bagus kok. :D

    ReplyDelete
  2. yah, begitulah, mas...
    bukan kritik yang bagus. kalaupun mau kritik yang memuji, juga harus ada kutipan2 gitu... kenapa harus pake kutipan si?? hheee...

    iya mas..
    aku tidak akan menyerah. hhhha.
    thanks mas...

    kemarin malah akhirnya ada yang bener2 bahas rectoverso, dan aku g sedih lagi bacanya. g kayak dulu. :D :D

    ReplyDelete