Siapa duga, rasa yakin datang pada saat-saat
yang sedikit tak pada tempatnya.
Bukannya saya tidak percaya agama dan tuhan,
tapi kadang saya belum terlalu yakin dengan kekuatan iman saya sendiri. Maksud
saya, meski saya percaya, saya selalu bertanya pada diri sendiri: adakah saya
adalah seorang penganut yang baik? Dan saya tak pernah punya jawaban. Tentu
saja, karena saya bukanlah manusia yang baik. Terlebih ketika melihat diri saya
sendiri ke tahun-tahun sebelum sekarang.
Pagi itu sudah saya tunggu-tunggu sejak lama.
Pagi di hari Senin, ketika saya rehat dari kebiasaan di hari-hari biasanya.
Kadang, saya senang ketika mendapat working order cukup banyak untuk mengejar
momen-momen tertentu. Karena, meski klabakan dan harus pulang agak lebih malam
dan tetap bekerja di akhir pekan, itu berarti saya akan mendapatkan kesempatan
untuk memilih satu hari yang saya inginkan untuk tidak bekerja dan melakukan
hal yang saya suka.
Seperti Senin yang sudah saya tunggu-tunggu
ini. Hingga saya mengalami hal yang sangat paradoks ini.
Saya selalu mengagumi bangunan-bangunan lama
yang masih tegak berdiri hingga sekarang. Jika melihat bangunan-bangunan
semacam ini, pikiran saya akan melayang pada tahun-tahun ketika bangunan
didirikan. Siapa yang merancangnya dan dari mana ia mendapatkan idenya. Siapa
saja orang-orang yang membangunnya. Bagaimana mereka mendapatkan
bahan-bahannya. Seperti apa orang-orang yang tinggal atau beraktifitas di
dalamnya. Siapa yang merawatnya hingga sekarang? Apakah dulu ini adalah yang
terindah?
Untuk melakukan ini semua, saya sering harus
berdiam agak cukup lama.
Seperti ketika saya mengagumi satu bangunan
rumah bergaya peranakan di sekitar Pasar Kutoarjo, tidak jauh dari Stasiun
Kutoarjo. Saya dan Diah, kawan baik saya, kami berjalan mengelilingi pasar lama
itu untuk mencari sebuah warung bakso yang namanya melegenda di sana. Ketika
berjalan pulang, lalu kami tersadar, kami seperti sedang berjalan di masa yang
seperti bukan sekarang.
Jalan panjang itu dikelilingi toko-toko
dengan papan nama yang catnya telah luntur. Beberapa menggunakan huruf China,
saya tak bisa membacanya. Baunya seperti lemari almarhum nenek saya, campuran
antara kapur barus, ngengat, dan lembab. Baunya tua dan tajam. Bahkan saya bisa
mencium bau sebuah kompleks pertokoan. Mungkin karena saya melihat
etalase-etalase yang berisikan kardus-kardus dengan warna-warna pudar dan
lembab. Atau gambar-gambar pada botol kemasan kosmetik yang pernah saya temui
ketika kecil masih saja menantang mata saya di sana.
“Mereka mungkin masih saya membuka toko
mereka karena mereka tak tahu lagi apa yang harus dilakukan selain menunggu
pembeli di kursi mereka seperti berpuluh-puluh tahun lalu,” kata saya hampir
putus asa. Atau bahagia. Karena berarti cici-cici dan koko-koko sepuh di sana
masih punya semangat untuk hidup. Bayangkan, jika tiga bulan tanpa profit
berarti dengan toko di sebuah mall itu berarti tanda untuk segera beralih pada
merek atau konsep selanjutnya. Mereka yang memiliki toko di dekat Stasiun
Kutoarjo itu tetap membuka tokonya setiap hari sejak berpuluh-puluh tahun lalu,
tanpa ada pembeli baru, tanpa ada penjaga toko baru, bahkan tanpa ada produk
baru.
Tapi tentu tidak semuanya begitu. Di sana ada
Indomaret yang riuh, tentu saja. Dan sebuah toko obat Cina yang sempit, dan
semakin terlihat sempit karena pembeli yang bejubel. Dan, puluhan kios lain
yang tak lagi dibuka. Mungkin pemiliknya telah tiada. Seperti halnya bangunan
dua lantai bercat hijau yang membuat saya seperti orang bego, karena dengan
bodohnya, saya melihat-lihat rumah itu seperti maling yang sedang mencari celah
untuk masuk. Kalau saja hari tak semakin panas dan saya harus mengejar kereta
saya, mungkin saya akan menemukan celah kecil dan masuk ke rumah itu. Rumah itu
sangat cantik. Dengan kayu-kayu seperti rumah-rumah Jawa, bercat cerah seperti
rumah-rumah orang peranakan, dan berkaca patri warna-warni seperti
kantor-kantor orang Belanda. Saya agak lupa, tapi sepertinya itu adalah sebuah
penginapan, karena ada semacam papan nama kecil di pojokan pintu yang tak lagi
terbuka. Saya agak lupa, karena di sana juga ada sebuah penginapan bertingkat
dua yang masih buka, tapi dengan bangunan yang lebih kekinian: menggunakan batu
bata.
Dalam sisa perjalanan kami menuju stasiun, perasaan
janggal itu masih saya ada, bahkan hingga sekarang. Kami mencoba menerka-nerka:
di masa lalu, di sana tak ada toko yang sepi. Tak ada cat yang luntur. Dan
baunya segar mempesona siapa saja. Delman berlalu lalang dan orang-orang yang sibuk
memilih barang. Pada saat yang sama, kami seperti melihat ke masa entah kapan
yang sekarang tak lagi ada.
Paradoks yang hampir sama saya rasakan Senin
itu.
Berjalan di bawah rimbunan pohon di Jakarta
itu katanya doa yang tak mungkin dikabulkan. Mungkin itu benar. Tapi tidak di
sepanjang Gedung Kesenian Jakarta, memutar ke Kantor Pos, hingga Gereja
Katedral. Pohon-pohon besar menyimpan panas matahari di tubuhnya yang menjulang
tinggi. Tak ada macet, tak ada klakson bersahutan, meski masih ada mobil-mobil
yang parkir di pinggiran jalan dan supir-supir yang duduk-duduk di trotoar
sementara menunggu tuan-tuannya pulang sekolah di salah satu sekolah katolik di
sana.
Tujuan saya pagi itu satu: ke gereja.
Saya ingin ke museumnya. Dan mungkin saya
juga akan berdoa di sana. Kesempatan saya ke sana sangat terbatas. Hanya pada
hari Senin, Rabu, dan Jumat setiap pukul 10.00 hingga 12.00 siang. Dan kali
ini, saya tak akan melewatkannya. Saya sudah melewatkan kesempatan bertemu
adik-adik saya, maka saya tak akan melewatkan kesempatan berdoa di gereja.
Sepertinya ini kali kedua atau ketiga saya
mengunjungi gereja. Kali pertama dan kedua itu untuk keperluan shooting yang
sebenarnya agak tidak mengindahkan gereja dan isinya. Sementara, yang ada di
kepala saya ketika kecil hingga ketika sedikit lebih dewasa, bahwa ke gereja
itu dosa. Dan ketika sedikit lebih dewasa, karena saya tak lagi paham mana dosa
mana pahala, saya kira ke gereja, pura, candi, atau segala rumah ibadah adalah
biasa saja. Semuanya tergantung apa yang ada di hati dan kepala. Hampir sama
dengan ketika mengunjungi klub malam, karaoke keluarga, atau menginap di hotel
dengan harga 60.000/malam di hotel dekat terminal di pinggiran Kota Klaten.
Hingga saya berdiam di salah satu kursi
panjang menghadap altar dan bertanya pada diri sendiri: tuhan, adakah kita
semua selama ini sebenarnya berdoa pada Kau, yang sama di hati kita semua?
Sebelum saya disapa bapak yang tadinya
ngobrol dengan saya, seorang bapak yang sedang mengelap lantai gereja dan
memiliki senyum yang sangat ramah. Ia mempersilahkan saya ke lantai dua gereja,
karena museum telah dibuka.
Dalam perjalanan menaiki anak-anak tangga
kayu itu saya terdiam cukup lama. Paradoks yang sama yang biasa dengan secara
tiba-tiba memenuhi diri saya. Saya merasa tidak berada di masa sekarang saya
berada, tapi saya tahu saya masih berada di tempat saya bediri sebelumnya. Dan
saat itulah tiba, ketika tanpa diduga, kepada ibu yang menatap saya dengan
tajam saya berkata: Saya seorang muslim. Saya menjawab tanpa ibu itu bertanya.
Ia hanya menanyakan saya berasal dari mana dan meminta saya menulis di buku
tamu. Sepertinya ia tahu saya gentar melihat raut mukanya yang tajam, ekspresi
galaknya memudar. Ia mempersilahkan saya masuk ke dalam museum.
Museum selalu bercerita tentang apa yang
pernah ada dan apa-apa saja yang tertinggal dari sana. Mengajak kita
menghormati sejarah. Atau minimal mengenalnya dan cukup tahu saja. Begitupun
dengan yang tampak pada Museum Gereja Katedral Jakarta ini. Sekaligus saya
menemukan jawaban untuk tiap pertanyaan yang terlontar ketika melihat bangunan
yang menakjubkan.
Sebelum menjelma bangunan dengan denah
berbentuk salib dan memiliki tiga menara, Menara Angelus Dei di bagian tengah;
Menara Benteng Daud di sisi kiri, dan Menara gading di sisi pintu utama, Gereja
Katedral pernah runtuh pada tahun 1890. Hingga dilakukanlah pembangunan ulang
dengan fasad hingga seperti sekarang sejak tahun 1891, Pastor Antonius Dijkmans
SJ yang merancangnya. Hampir sepuluh tahun ntuk merancang hingga gereja di
resmikan pada 1901.
Dan, siapa yang membangunnya, tentu saja
pemerintah Belanda kala itu. Siapa pekerjanya, tentu saja tenaga pribumi kala
itu. Siapa yang pada mulanya beribadah di sana, tentu saja para pembesar
Belanda yang beragama Katolik. Tapi bukankah setiap bangunan besar yang
dibangun di masa itu memiliki pola yang hampir sama. Karen mungkin, pada saat
itu, Belanda tak pernah menduga jika mereka akan meninggalkan Hindia-nya
tercinta.
Saya melihat-lihat tiap sudut museum yang
membentang di sayap kiri dan kanan bangunan utama gereja itu. Mencoba mengerti
makna tiap-tiap benda yang ada di sana: Stola, Biretta, Soledo, Roman Kasula,
Kasula Pontifikal rangkap tiga, dan lain sebagainya.
Setelah hampir sekitar satu jam berkeliling
dan sedikit ngobrol dengan beberapa pengunjung lain, saya turun. Ingin segera
pulang.
Meski saya akhirnya terduduk di barisan
kursi-kursi di mana para jamaah duduk dan berdoa. Kali itu saya
memandang-mandang saja semua yang ada di sana. Betapa indah manusia bisa
merancang semua ini. Saya membayangkan Nindya, kawan saya yang ingin menikah di
gereja katolik, berjalan menuju altar. Saya membayangkan kawan saya seorang
katolik, yang begitu rajin ke gereja meski kacau sekali tampilan luar dan
omongannya. Saya juga masih mendapati bapak yang tadi mengepel lantai kini
tengah mengelap satu per satu kursi di sudut lainnya.
Saat itu, sepertinya saya masih agak
gemetaran, karena saya baru saja mengaku saya adalah seorang muslim. Tidakkah
aneh, saya begitu yakin dengan jawaban saya ketika saya berada di bangunan
gereja. Apakah saya mengatakannya karena saya ingin si ibu penjaga museum tahu.
Atau saya menyatakannya pada diri saya sendiri: bahwa saya seorang muslim.
Bahwa saya sebelumnya bertanya di depan altar utama dari sebuah gereja di
Groningen sana: tidakkah kita berdoa padaMu yang sama di hati kita semua?. Saya
diam hingga agak lama. Masih melihat-lihat altar dan seisi gereja. Saya
menanyakannya lagi: tidakkah Engkau adalah yang Esa yang berada di sana?
Mungkin saya menemukan jawabannya ketika bapak yang membersihkan kursi itu
tersenyum pada saya.
Sebelumnya, ketika saya baru datang, ketika
pintu museum belum dibuka, dan saya bingung harus bagaimana. Saya bertanya pada
bapak itu, apakah museum hari ini buka, karena ini sudah jam 10 lewat. Si bapak
mempersilahkan saya menunggu, karena penjaganya belum datang. Ada yang
bergejolak di kepala saya, mungkin memori kanak-kanak saya. Hingga saya
berkata: saya bukan seorang katolik, apakah saya tetap boleh duduk di sini. Dan
bapak itu mempersilahkan saya.
Menjadi seorang umat adalah pengabdian.
Sementara menjadi percaya adalah kesediaan yang tumbuh dengan sendirinya di
dalam sana. Dan ibadah adalah sebuah momen untuk bertemu tuhan yang begitu
unik, dengan caranya masing-masing. Ia adalah yang Esa.
Sebuah pesan mengejutkan saya. Saya harus
membuat twit untuk pekerjaan saya. Ya, saya juga membuat twit untuk pekerjaan,
saudara-saudara. Mungkin bos saya lupa kalau saya hari ini sedang libur untuk
sekedar bertemu tuhan. Saya meninggalkan senyum pamit pada si bapak yang masih
saja membersihkan jejeran kursi di sana. Saya menuju taman dengan burung-burung
merpati yang sibuk mencari makan di antara kursi-kursi beton. Membuat twit. Dan
lalu pulang.
Setelah terseret entah ke mana. Setelah
paradoks aneh, yang tak hanya membawa saya ke masa seperti bukan sekarang. Tapi
juga pada, apakah saya masih saya yang sama dengan saya yang dulu, sementara
saya tahu saya masihlah orang yang sama. Saya kembali pada jalanan di antara
rimbun pohon yang tinggi menjulang. Supir-supir yang masih menunggu anak-anak
tuannya. Hanya saja matahari sudah semakin terang memanggang siang.
Tujuan selanjutnya: pasar baru. Dan tebak, di
sana saya kembali bertemu bau lembab dan kapur barus seperti ketika saya dan
ibu saya merapikan lemari almarhum nenek saya dulu.