Lokananta (sebuah cover piringan hitam) |
“Lokananta akan tetap mati suri jika tidak ada ide kreatif yang penuh dengan gebrakan”
Itu
kalimat Soedarmono, seorang budayawan Solo yang menjadi narasumber tulisan di Majalah
Kentingan, majalah kampus saya (UNS), pada tahun 2010. Dua tahun setelahnya, sekarang, sepertinya “ide
kreatif yang penuh dengan gebrakan” itu tengah dipersiapkan.
***
Awalnya
saya tertarik tagar #SahabatLokananta di twitter Rolling Stone Indonesia hingga
blogwalking nggak jelas diantara hari Senin yang sangat tidak sibuk, sampailah
saya pada “Menyelamatkan Musik Indonesia”-nya Mas Ayos dan Mas Jaki diblog
seseorang bernama Intan. Oke, saya tidak kenal semuanya. Tapi nama Ayos dan
Jaki sudah cukup familiar, mereka adalah kawan dari kawan lain yang pernah
bercerita tentang mereka, mungkin seharusnya saya berkenalan kapan-kapan. Dan Mbak
Intan ini, saya juga nggak kenal, tapi jelas terbaca pastilah pecinta musik,
kayaknya di salah satu tulisannya dia pernah menjadi manager-nya Float dan juga
suka Zeke. Em, they’re wauwwwwww. Dan sampailah saya ke sana.
Tiga
tahunan lalu, awal saya berkenalan dengan Lokananta. Iseng-iseng ikut
melahirkan satu majalah lokal (yang kemudian gagal), saya mendapat kesempatan
menulis tentang Lokananta. Apa itu Lokananta? Saya bukan warga asli Solo dan
saya benar-benar tidak tahu apa itu. Mas Aris, sang kepala bidan kala itu hanya
bilang, “Kamu coba cari infonya dulu, nanti pasti kamu bakal tertarik banget,” dengan
senyum meyakinkan.
Dia
benar, setelah mendapat beberapa info dari internet, saya langsung semangat
menuju salah satu bangunan yang kelak akan menjadi salah satu keping penting
sejarak musik tanah air.
Bangunan
luas itu tak terlalu menarik perhatian. Maklum, ada sebuah hotel cukup hip di
Solo berdiri megah di depannya. Waktu itu, kalau tidak salah, warna catnya
kuning tua pudar. Lengkap dengan halaman depan berumput panjang.
Membaca
tulisan Mas Ayos dan Mas Jaki membuat saya agak gundah (uopoh?) beberapa saat. Saya
tidak akan menuliskan lagi tentang Lokananta di sini, deskripsi dan penjelasan
mereka di sini saya rasa cukup menggambarkan kenapa perlu ada gerakan
#SahabatLokananta.
Alasan
saya gundah ada dua, pertama: kenapa dulu kami yang di Solo tidak bisa begitu
saja melakukan sesuatu? (Oke, mungkin beberapa sudah, tapi memang gaunya mungkin belum sehebat sekarang). Kedua: adakah yang bisa saya lakukan saat ini?
Atau
baiklah, setelah ngobrol panjang dengan Chrisna, kawan dekat saya yang masih di Solo yang juga
terlibat saat membuat tulisan yang saya kutip di atas, mungkin kapasitas kita
bukan untuk melakukan hal itu. Lagipula kita tidak melakukannya, kita hanya
menuliskannya lalu berharap akan ada orang yang membacanya. Kemudian mereka
yang mampu dan mau melakukannya, akan benar-benar melakukannya dengan hati dan
pasti. Waktu itu saya belajar jadi pemimpin redaksi dan Chrisna pemimpin
umumnya, saya ingat sekali, saya sempat minta revisi beberapa kali untuk
tulisan yang ditulis Uud dan Rina itu, karena awalnya mereka melulu membahas
masalah hukum Lokananta sebagai Lembaga. Saya berharap akan banyak membahas
masalah Lokananta sebagai bagian sejarah musik itu sendiri. Tapi Chrisna, yang
juga editor kala itu, lebih bisa berkompromi. Sampai tulisan naik, ada beberapa
hal yang memang akhirnya tidak dibahas. Dan saya bangga saya membacanya kembali
di majalah versi flip page-nya barusan.
***
Itulah
tentang “mau dan mampu”. Jika misal dulu saya ingin berbuat sesuatu untuk
Lokananta, selain menuliskannya, saya memang tidak mau dan tidak mampu. Justru
si Uud dan Rina itu, yang akhirnya melakukan sebuah aksi kecil untuk Lokananta.
Mereka mengajak anak-anak SD untuk berkunjung ke sana dan melakukan rekaman. Ya,
seharusnya anak-anak kecil mengenalnya. Atau mungkin dua kawan baik saya yang
lain, Herka dan Maulana, yang memang fotografer, mereka sengaja mendokumentasikannya
dengan apik.
Dan
sekarang, saya sepertinya melihat beberapa orang yang benar-benar mau dan mampu
melakukan “ide kreatif penuh gebrakan” untuk Lokananta. Dan saya masih mencari
jawaban untuk kegundahan kedua saya.
Masih
ngobrol dengan Chrisna, kami berbicara tentang beberapa nama musisi luar negeri
yang akan datang ke Indonesia akhir tahun ini dan awal tahun depan. Berlagak
menimbang-nimbang mana yang mau didatangi jika memungkinkan. Setelah obrolan
selesai, entah kenapa saya merasa aneh dengan diri saya sendiri. Apa tidak
sebaiknya saya ke Solo saja ya? Toh saya juga kangen dengan Solo dan
orang-orangnya.
Oke,
saya nggak punya apa-apa untuk hal-hal semacam ini. Mungkin saya hanya akan
membantu dengan kata “Semoga Sukses”. Atau entahlah….
Hei, apakah kedatangan merupakan contoh aksi nyata? *lalu cek kalender*
Saya
tertarik ketika membuka laman profil Mbak Intan, dan dia dengan getol menyebar
link tulisan dia tentang #SahabatLokananta, dan memang benar, gebrakan itu
bisa jadi berasal dari sana. Bersama para musisi, bersama para pecinta musik dengan gerakan banyak orang dan tentu saja, semangat yang pastinya lebih besar. Meski orang-orang lainnya hanya terketuk atau sebentar menoleh, seperti saya misalnya, pada
akhirnya, nanti, gebrakan besar itu pasti akan terasa gaunya. Semoga…
Sedikit
mengingat, di antara tembok-tembok lembabnya, Lokananta memang menyimpan sebuah
bukti sejarah. Sejarah betapa kita tak begitu menghargai sejarah itu sendiri
dan bukti betapa kita kaya akan ragam musik.
Hei,
semua orang tahu, semua orang mencintai musik. Apapun itu.
Indonesia Raya tiga stanza di salah satu sudut Lokananta |
Mixer dari era 60-an |
Lokananta di balik kaca |
Iyes, pita master rekaman ( foto-foto saya ambil pada tahun 2010) |
No comments:
Post a Comment