Waktu
itu, setelah isya.
Malam
itu, sepertinya kami bertemu setelah syukuran ulang tahun organisasi yang
mempertemukan saya dengan dia, kami. Sebagai kawan baru. Sebagai anak magang. Sebagai
orang yang sama-sama belajar dari awal, tentang pers (whatdefak! Hell, tidak
satupun diantara kita meneruskannya menjadi semacam pekerjaan hingga sekarang),
dan tentu saja tentang organisasi. Akhirnya sebagai pengurus, dan lalu juga
menjadi semacam orang yang lebih dianggap tahu karena mengenal organisasi lebih
lama, meski belum tentu lebih tahu dan lebih pintar.
Kali
itu kami tidak bicara tentang organisasi lagi. Buat apa? Ini bukan waktu kita
lagi. Kami berdua percaya itu, sudah habis waktu kami untuk terlalu banyak
omong ini-itu yang katanya demi organisasi atau apalah. Waktu kami
memperjuangkannya sudah lewat, sekarang saatnya mereka yang lebih muda dan
lebih bersemangat untuk melanjutkan atau bisa juga membuat perubahan bila
diperlukan. Bukan, bukan kita tak peduli, tapi di sistem organisasi semacam
ini, rasa-rasanya bukan saatnya lagi orang tua terlalu banyak omong. Apalagi
jika tidak diminta. Kan kami, eh, saya sudah tidak diperlukan lagi, tho?
Tebak
apa, dia mengajak saya bicara tentang pernikahan.
Apalagi
yang kita cari setelah lulus, dan bekarja? Menikah pun salah satu dari ibadah. Kalaulah
memang telah siap, kenapa tidak? Kurang lebih semacam itu analogi dan apologi
dia tentang pernikahan. Dan iya, catat, usianya jauh lebih tua dari saya
sekitar dua atau tiga setengah tahun. Usia, yang baginya, sudah cukup matang
untuk menghadapi pernikahan.
Terbayangkan?
Ya, pernikahan. Dalam benak saya kala itu, apa ya? Sepertinya waktu itu saya
membayangkan pernikahan dengan pacar saya kala itu. “Aduh, kok jauh sekali yah?”
ujar saya, dan lalu tertawa seperti biasa. Mungkin karena saya baru saja
merayakan ulangtahun ke-21, dan saya merasa masih agak terlalu jauuuuh untuk
memikirkannya. Catat, waktu itu kami memulai pembicaraan prihal pernikahan
ketika dia bilang usianya sudah cukup matang. Lalu saya menghitung usia saya, saya
kira bayangan saya tentang pernikahan baru saja bertunas. Jauh, hingga masa
matang.
Panjang
kami mengurainya satu per satu.
Dari
mulai usia. Dengan siapa, dan atau tepatnya, orang yang seperti apa. Akan
bagaimana nanti menjalaninya. Tentang prosesi dan kepercayaan. Tentang orang
tua dan keluarga kami dan hidup mereka selanjutnya pasca pernikahan. Hingga tentang
memiliki anak, menghitung biaya hidup, atau hal-hal pelik dan remeh lainnya.
Satu
hal yang pasti, dengan segala kelebihan dan kekurangannya kala itu, sepertinya
dia memandang menikah adalah satu hal yang akan dilakukannya dalam waktu dekat.
***
Bukan
awal pertama dia menukar ceritanya tentang pernikahan dengan saya. Meski,
mungkin, banyak hal di antara saya terlalu berbeda dengan dia atau bahkan
berbeda pendapat. Tapi di sisi lain, hal tersebut memberi saya pemahaman
tentang makna pernikahan sebelumnya. Termasuk merubah pandangan saya tentang
pernikahan sebelumnya. O, tidak, saya tidak pernah berfikiran buruk tentang
pernikahan kok. Saya sedari dulu selalu merasa bahwa pernikahan itu adalah hal
membahagiakan yang akan dirasakan tiap orang, dengan caranya masing-masing. Titik
balik untuk menjadi lebih baik dan bahagia. Dengan caranya masing-masing.
Hanya
saja, ada beberapa pertanyaan yang sebelumnya tidak bisa saya jawab atau saya
jawab dengan terlalu arogan akan beberapa hal tentang pernikahan akhirnya bisa
saya jawab atau saya jawab dengan lebih masuk akal, dan atau, bijak. Apa itu?
Tentu bukan hal yang layak diceritakan di sini.
Karena
ini adalah tentang dia.
Tentang
kawan saya dan pandangan dia tentang pernikahan.
Tentang
kawan saya dengan alur hidupnya, yang bagi saya, terasa sangat sempurna bagi
dia. Jarang saya menemukan dia terlalu bersusah hati menjalani hidup. Meski kadang
saya merasa dia kurang cepat, cekat, dan tidak terlalu banyak tahu, hhhaaa… dia
adalah salah satu orang yang terlihat menikmati hidupnya. Se-ada-adanya dia. Polos.
Menerima apa yang ada dengan santai. Tekun menjalani apa yang seyogianya harus
ia jalani dengan sebaik-baiknya.
Kebetulan,
dalam beberapa hal tentang menghadapi beberapa hal dalam hidup, kami sering
sependapat. Mungkin karena pada dasarnya kami sama-sama dibesarkan di
lingkungan pedesaan yang terbuka dan sama-sama mencintai keluarga.
Saya
sering bilang kepada kawan-kawan yang lain: hidup dia itu lurusss banget,
nyenengin liatnya.
Pun
dengan kisah cintanya.
Kisah
cinta yang kembali membawa rasa percaya saya pada kekuatan cinta. Bukan, bukan
saya nggak percaya cinta. Tapi, setidaknya, kisahnya membuat saya merasa bahwa akan
ada balasan stimpal bagi mereka yang setia dan kukuh dengan pilihannya. Masih
banyak kisah cinta luar biasa diantara kisah kacangan dalam drama hipnotis Uya
Kuya dan lagu cengeng yang penuh perslingkuhan.
Tentang
seorang spesial yang akhirnya mampu memaksanya membelikan sebuah hadiah untuk
pertama kalinya. Tentang usahanya membungkus si kado, dan meminta saya
mengajarinya cara membungkus kado. Dan jujur, serius yah, karena itu benda
modelnya nggak tipe saya, kok rada aneh saya ngelihatnya. Hhaaa… Tapi, tentu
saja saya bilang, “Iya, hadiahnya bagus. Dia pasti suka kok, udah cepet
dibungkus gih…”. Demi melihat raut bahagianya dan menikmati aura jatuh cinta,
yang jarang sekali saya lihat.
Saya
percaya dia adalah pasangan yang baik.
Seperti
saya percaya, dia adalah seorang pemimpin yang baik.
Meski
kadang gampang terpojok, tapi dia selalu membuka ruang untuk berdiskusi. Lebih memilih
diam jika tidak tahu, untuk selanjutnya bertanya. Tidak terlalu senang
mendramatisir berbagai hal. Dan selalu berfikiran positif.
Saya
tahu dia akan menikahi perempuannya ini. Waktu itu, di malam syukuran itu. Kami
bercerita cukup banyak. Seperti saya juga tahu, saya sepertinya tidak akan
menikah dengan pacar saya kala itu. Makanya saya bingung untuk memberikan
pendapat tentang masa depan hubungan saya kala itu, toh akhirnya memang
berakhir. See? Saya belajar sama kamu, San.
Setiap
orang berhak mendapatkan yang terbaik. Apalagi orang kayak saya, iya kan?
Dua
minggu yang lalu kami sempat bercerita panjang di YM. Yang anehnya dia salah
menuliskan tanggal rencana pernikahannya. Mungkin waktu itu masih agak rahasia.
Meskipun kemudian saya koar-koar mengabarkan ke beberapa kawan lain untuk segara bersiap, siapa tahu ingin meluangkan waktu untuk datang atau membeli kondom sebanyak-banyaknya.
Hari
ini, Hasan, resmi meminta doa restu untuk pernikahannya esok, di bulan depan.
Saya
menuliskannya sekarang saja, selamatnya, toh saya yakin, nggak ada
pamali-pamalian di perkara kasih selamat. Iya, saya pasti menyusul kok.
Karena
entah mengapa, saya benar-benar turut berbahagia. Sekali.
Untuk
Hasan, kawan saya itu…
Yang
tidak berhenti beceloteh tentang pernikahan, sejak setahunan lalu. Dia akan
menikah.
Semoga
saya bisa datang dan membungkuskan kado untuk kamu dan istrimu nanti.
Dan
iya,
Mengenalkanku
sama ibukmu… hhaaaa…
Pemret-mu sing paling ayu.
Yihi!
jadi aku harus bungkus kado pernikahanmu kapan di?
ReplyDeletehihihihi :D
carikan aku satu pemuda, maka kamu akan segera bungkus kado alin... :D *halah*
ReplyDeleteaku nyiapin kado buatmu dulu lah lin... :)