Gambarkan gambar pohon.
Gambarkan
gambar pemandangan.
Pohon.
Maka saya akan menggambar dua garis vertikal dengan tidak terlalu lurus,
sebagai batang. Lalu bulatan dengan ujung cembung mengelilingi si batang tadi
dari ujung satu ke ujung lainnya. Saya menganggapnya itu pohon. Pohon beringin
mungkin, pohon randu mungkin, pohon angsana mungkin. Walaupun sebenarnya itu
lebih mirip rambut Si Kribo di kartun mingguan Harian Kompas.
Pemandangan.
Maka saya akan menggambar dua buah gundukan segitiga, yang saya maksudkan
sebagai gunung. Lalu di tengahnya, saya akan membuat dua garis diagonal, saya
tarik sejajar dan semakin melebar hingga bagian bawah kertas gambar. Sungai.
Lalu bulatan-bulatan kecil di dalamnya yang saya maksudkan sebagai batu. Di samping kiri-kanannya, saya akan
membuat garis horizontal dan vertikal saling menyilang, hingga membetuk
kotakan-kotakan lalu mengisinya dengan semacam cek “V” di dalamnya. Sawah dan
padinya. Tidak lupa, tentu saja, bulatan indah di atas gunung, dengan warna
kuning menyala, matahari. Tak lupa, iringan awan berarak dalam bulatan cembung-cembung
menggumpal.
Standar?
Banget!
Tapi
saya percaya, dan berani taruhan, mereka yang notabene tidak jago gambar atau
sekurang-kurangnya, tidak cukup kreatif, pasti akan menggambar hal demikian
itu…
Sampai
suatu hari, pada sebuah kesempatan di mana saya harus menggambarkannya, ada
ketentuan, “menggambar pohon bukan dengan semacam ini (lalu si pengarah
menggambarkan pohon versi “saya” sebelumnya)”. Saya pun menggambar entah pohon
apa. Dan lalu menggambarkan suasan perkampungan dengan banyak (pura-puranya)
rumah untuk menggantikan gambar gunung-gunung dan sawah.
***
Bagaimana
menerjemahkan sesuatu yang pernah kita lihat, atau justru hanya pernah kita
bayangkan menjadi sebuah gambar realis? Jangan tanya saya. Karena saya tentu
saja tidak bisa. Tanyakan pada saya seperti apa maestro lukis realis yang
pernah Indonesia punya merealisasikan ide dan visualisasinya pada karya lukis
yang benar-benar realis. Benar-benar detail.
Beruntunglah
kita, setidaknya saya, pernah punya kesempatan langka untuk mendatangi salah
satu pameran, yang bisa jadi akan diadakan beberapa tahun lagi, atau bahkan
puluhan tahun lagi. Bahkan, kabarnya, ini adalah pameran pertama karya maestro
lukis asli Indonesia ini di tanah airnya sendiri, pun ternyata diprakarsai oleh
lembaga kebudayaan Jerman (plus korporasi Jerman sebagai rekanan).
Melihat
lebih dekat, hingga dekat sekali, detail goresan tangan Raden Saleh mengajak
saya mengambil kesimpulan: “Setidaknya, dari Raden Saleh, pelukis-pelukis
setelahnya memiliki acuan akan sebuah ‘lukisan’. Dan tentu saja, acuan belajar
bagi para perupa setelah-setelahnya.” Kenapa saya menggunakan kata “setidaknya”.
Karena, kalaulah bukan Sang Pangeran dari Semarang ini yang memang sudah dari
sananya memiliki bakat cemerlang dan mendapatkan kesempatan mendalami seni
lukis di Eropa (Belanda, Jerman, Prancis, bahkan hingga Aljazair), lalu membuat
semacam “kurikulum” (ada istilah yang digunakan saat itu, tapi saya lupa) untuk
pendidikan seni rupa (menggambar) di Hindia Belanda, pastilah akan ada Raden
Entah Siapa, yang akan memiliki kesempatan itu. Hingga menjadikan hidup dunia
seni rupa di Indonesia hingga kini.
Saya
luruskan, oke, saya percaya tidak ada acuan tetap dalam membuat karya.
Tapi,
melihat deretan semacam ‘acuan belajar’ untuk pendidikan menggambar (ini ada istilah
Belanda-nya, tapi sumpah saya lupa namanya apa), ingatan saya memang langsung
melayang pada masa-masa belajar saya. Man? Jangan-jangan, kurikulum (atau
anggapan) yang sama akan pemandangan dari abad ke-18 hingga abat 21 ini
ternyata masih sama. Atau memang seperti itulah lansekap negeri kita, hingga para orientalis menamakan tanah air kita ini dengan sebutan mooi indische, Hindia Belanda yang Cantik. Gunung, sungai yang mengaliri sawah-sawah. Terasa sangat Magelang atau Temanggung sekali, yang kebetulan memiliki pemandangan dua gunung berjejeran.
Raden
Saleh menghabiskan sekitar dua puluh tahun di Eropa untuk sebuah “penemuan jati
diri” atas karya-karyanya. Dunia mengaku kehebatannya dalam menciptakan detail
dan menjadikah hidup sosok-sosok dalam karyanya yang utamanya didominasi oleh
lukisan binatang, pertempuran (manusia-manusia, binatang-manusia), lansekap, dan portrait. Setelah
habis masa menempuh ‘beasiswa’ belajar dari kerajaan Belanda, ia ditarik pulang
ke Hindia Belanda untuk mengurus lukisan-lukisan pemerintah Belanda dan membuat
semacam kurikulum itu tadi. Tak lupa, tentu saja ia tetap melukis, umumnya
adalah lukisan portrait pejabat Belanda.
Sebenarnya
saya tertarik tentang proses pembuatan (semacam) kurikulum itu tadi.
Apa
saja yang dilakukannya?
Karya-karya
realis menggambarkan berbagai macam benda perabotan, berbagai jenis pohon
(dengan bentuk daun berbeda-beda tentu saja), dan pemandangan alam. Ya,
kehalusan semacam itu di abad itu, tahun 18-sekian-sekian, tentu saja luar
biasa. Pertanyaan saya kembali melanglang buana, siapa yang belajar? Anak-anak
keturunan Belanda? Anak-anak Bupati? Ahh…
Sebenarnya
saya kehabisan pertanyaan. Sekaligus kehabisan kata-kata.
Termasuk
ketika berdiri diam di dua lukisannya.
Bukan,
bukan “Penangkapan Pangeran Diponegoro” yang terkenal itu. Saya tidak kebagian
ruang untuk menikmati lukisan besar itu karena banyak pengunjung yang ramai
berfoto di depannya. Saat itu, diam-diam saya bersyukur, tiga tahunan lalu
ditegur keras bahwa karya lukisan (atau karya apa saja)
tidak selayaknya untuk dipegang atau (hanya) dijadikan latar untuk berfoto. Kecuali
jika sepi, saya membuat pembelaan diri. Tapi memang benar, agak membuat
kehilangan minat bagi pengunjung lain, ternyata.
Saya
terpesona dengan dua karya: “Mengintai” dan “Harimau Minum”.
Keduanya
melibatkan Harimau, yang bagi saya, terasa hidup. Membuat saya ingin lari
sambil menahan kencing sekaligus merinding. Seakan-akan, sedetik saja Harimau
itu menyadari keberadaan saya, maka dia akan mendekat dan menatap tajam di mata
saya. Lalu, mungkin, memangsa saya.
“Mengintai”,
mengajak saya menjadi salah satu harimau di dalamnya. Ketika di sebuah sore
yang agak terik, di antara rerumputan dan bebatuan, telah lama menahan lapar,
lewatlah satu keluarga manusia. Lalu apa lagi? Saya bersiap dari jauh untuk,
barangkali, menerkam. Dan atau, hei, ternyata si keluarga itu membawa anjing
pemburu. Maka saya harus bersiap, untuk lari secepat-cepatnya. Tapi hei, saya
ini harimau. Adalah konyol jika saya lari menahan lapar hanya karena seekor
anjing yang bertuan. Maka saya menimbang dan bersiap. Saya mengintai dari jauh.
Kita, atau saya, sebenarnya bisa jadi si manusia juga. Meski penuh persiapan, kita tak pernah tahu, akan ada bencana apa yang menanti kita di depan. Atau, mungkin, kenapa kita teralalu mudah menuduh bahwa harimau-harimau itu akan memangsa kita? Kenapa selalu ada prasangka yang buruk pada mereka?
Kita, atau saya, sebenarnya bisa jadi si manusia juga. Meski penuh persiapan, kita tak pernah tahu, akan ada bencana apa yang menanti kita di depan. Atau, mungkin, kenapa kita teralalu mudah menuduh bahwa harimau-harimau itu akan memangsa kita? Kenapa selalu ada prasangka yang buruk pada mereka?
Mengintai |
“Harimau
Minum” membaut saya kaget dan terdiam cukup lama. Paling lama. Sebesar inikah,
rimba itu? Sehebat itukah, seekor harimau? Hingga ditakuti manusia. Ia tak
ubahnya seekor lebah di sebuah tangkai bunga. Ternyata harimau tidak
semenyeramkan itu. Ia, sama seperti halnya manusia bagi kampung atau kota,
adalah warga belantara. Ia hidup di sana. Mengisi perutnya ketika fajar datang,
dia meminum air telaga di pinggirannya. Berteduh di bawah pohon-pohonnya yang
besar. Fak, fak, fak, pada mereka yang tega membunuhnya. Apapun alasannya. Entah
karena dianggap mengancam ataupun hanya demi kulitnya (uh, apalagi yang ini!).
Butuh berapa tahun untuk menjadikan sebatang pohon menjadi sekokoh itu? Dan
juga, indahnya hutan tropis dan matahari pagi yang sinarnya menyesap malu-malu
di pagi hari. Satu kata: proporsional, pas.
Harimau Minum |
Yang
membuat lama sebenarnya adalah ingatan yang membawa saya pada tegalan, semacam kebun kering, yang
berbatasan langsung dengan hutan kepunyaan almarhum eyang saya. Di pojokannya
ada semacam mata air dengan rimbunan pohon-pohon besar di samping
kiri-kanannya, plus cerita bahwa, di sana biasanya macan minum. Saya yang kecil
tentu saja berjanji tidak akan menginjak tegalan itu lagi, bahkan hingga
sekarang. Ingatan melayang pada ibu saya, yang ketika itu mengajak saya turut
serta ke sana. Pada almarhum eyang putri saya. Pada bayangan almarhum bapak
kaki (eyang kakung), yang tidak sempat saya kenal. Jika benar dia itu adalah
polisi hutan di masa itu, maka pasti dia banyak bertemu dengan harimau. Apakah
dia pernah melihat secara langsung harimau minum? Apakah terlihat seindah ini? Karena
saya hanya pernah melihat harimau di kebun binatang dan taman safari. Pasti rasanya
tidak seindah melihat harimau hutan di hutan. Apalagi pengalaman melihat harimau
di kebun binatang Jurug, mereka layak diberi 100kg daging koruptor agar matanya
kembali bersinar.
Lukisan
seperti apa yang mampu menghidupkan
imaji semacam itu? Selain faktor saya yang lebai, itu juga karena kehalusan
detail san pelukis hingga menjadikan lukisan mampu bercerita. Mampu mengajak
tiap-tiap yang melihat menciptakan ceritanya sendiri.
***
Kami,
saya dan Mbak Dilla, yang berbaik hati mengajak saya mengenal “peradaban” yang
sebenarnya di minggu pertama saya di Ibu Kota, puas berputar siang itu. Ada
banyak pertanyaan berputar yang saya tidak tahu harus menanyakan pada siapa,
atau memang saya saja yang bego, karena terlalu banyak tidak tahu. Tapi sudahlah,
kesimpulan saya kala itu: “Setidaknya, kamu yang memulainya. Terimakasih, Raden
Saleh…”
Dan,
lalu, kami berbincang. “Mbak, tapi kok, agak ironis yah, kalimat terakhir di
film dokumenter tadi…” Ternyata Mbak Dilla setuju dengan saya. Dalam film
pendek yang mengisahkan kehidupan Raden Saleh, diceritakan bahwa ia meninggal
dalam kondisi yang cukup tragis. Saya lupa tiga kata yang diucapkan (aduh),
yang pasti ia merasa sakit hati karena dianggap memberontak Belanda, dan
miskin.
Ah,
Miskin.
Kata ini.
Ia hanya miskin cacian. Saya yakin.
Bahkan dia berhasil membawa saya mengenal peradaban. Sebuah peradaban yang sepertinya harus saya kenali tahap-demi-tahap. Kembali ke abad ketika semuanya bermula dari pertama-tama. Seperti hidup saya hari itu juga kembali pada bagian yang pertama-tama...
wooooowww... tulisannya bagus sekali.. kritis, enak dibaca, dan membuat pemabacanya berpikir.
ReplyDeletejdi teringat tulisan Sartika Dian yang juga menulis tentang Raden Saleh. tp kali ini, perspektif yang diambil berbeda sekali.
hmm.. setelah membaca tulisan di atas, bisa diambil suatu kesimpulan bahwa memang lukisan bisa jadi saksi sejarah suatu peradaban/era. dan dari lukisan Raden Saleh lah kita bisa melihat peradaban/era Indonesia masa silam.