“A secret makes woman, woman”
seperti dalam seri Detective Conan.
Dan,
sepertinya, sedikit mencontoh rima kalimat hebat tersebut, “Human makes human, human”.
Bertemu dan melihat orang (manusia) lain yang
berbeda-beda ternyata benar bisa menjadikan kita manusia. Setidaknya, manusia
yang (belajar) mengerti manusia lain.
Saya
teringat seorang kerabat yang mencalonkan diri sebagai wakil rakyat di daerah.
Jujur, saya tidak terlalu bersimpati dengan praktik politik praktis. Apapun itu.
Mau presiden, wakil rakyat, kepala desa, hingga kadus, hingga RT. Walau tak
memungkiri, bahwa praktik tersebut yang justru menjadikan saya hidup hingga
sekarang. Kita semua hidup, hingga sekarang.
Kenapa
saya tidak simpatik? Alasannya sederhana, begitu mencoba memahami dan merasakan
sendiri, rasa-rasanya praktik semacam itu terasa ‘palsu’. Kalau kata tivi
pencitraan, ‘manis di depan, sepah di belakang’. Apalagi ketika melihat sendiri
bahwa praktik korupsi benar-benar nyata ada di depan mata. Sekali lagi, tidak
perlu membicarakan korupsi di partainya Pak Presiden, bahkan mungkin itu ada di
kelurahan kita.
Tapi
pada satu waktu, satu tahunan lalu, mata saya lebih terbuka terhadap istilah ‘wakil
rakyat’, ‘mengemban amanah rakyat’ atau lain-lainnya yang demi rakyat. “Kalau
bukan kamu yang berfikiran positif dan lalu melakukan hal-hal positif, siapa
lagi?” ajak ayah saya kala itu. Tentu saja saya tidak sedang mencalonkan diri
untuk menjadi semacam wakil rakyat, rumongso gak patut. Pada satu titik, saya
menyadari, “Iya, benar.”
Jika
kita terlalu dilenakan dengan segala yang hal-hal negatif yang sejujurnya
berimbas menyenangkan (setuju kan, kalau hidup mewah macam koruptor yang di
tivi itu menggiurkan?), bisa jadi kita akan terarah ke situ. Maka kadang saya
sampai terharu jika di tivi ada tayangan sosok-sosok guru di pedalaman. Sosok-sosok
mereka yang katanya kurang mampu, tapi justru berprestasi dan pantang menyerah.
Merekalah
manusia.
Manusia
yang menjadikan orang lain manusia.
Merekalah
harapan untuk masa depan. Setidaknya, ketika semua hal terlihat begitu buruk,
mereka memberikan pemandangan baru yang menyejukan mata.
Mereka
yang menjadikan saya, belajar menjadi manusia. Meski entah sekali sebenarnya.
Dalam
hadist atau mungkin hanya kalimat bijak, sepertinya kita pernah tahu, bahwa:
sebaik-baiknya manusia adalah mereka yang berguna bagi manusia lainnya.
Ruang
belajar menjadi manusia yang sesungguhnya adalah berada di antaranya.
Di
mana? Bagi saya adalah di ruang yang belum pernah saya singgahi. Bersama
orang-orang yang belum pernah saya temui. Di tengah suasana yang belum pernah
saya rasakan. Dan perpisahan yang membuat saya berucap “Oooo…” tanpa pernah
menyesal pernah berada di antaranya.
Oke,
saya tidak memungkiri bahwa banyak orang-orang yang pernah kita kenal adalah
orang-orang yang arogan, bahkan terasa lebih arogan dari diri saya sendiri
(nah?). Tipe orang yang mungkin kita tidak ingin lama-lama berurusan lagi
dengannya. Tapi, lebih dari itu, sepertinya akan lebih banyak tipe orang yang membuat
kita memahami lebih banyak. Meski mereka tanpa nama.
Seperti
pagi tadi.
Sebagai
orang yang ingin memperketat ikat pinggang agar bisa memperkincolong telapak
kaki (hasyeh!), sudah sejak lama saya ingin kembali merasakan sumuknya kereta
rakyat, kereta ekonomi. Saling berhadapan dengan entah, bertemu dengan embuh. Meski
agak kacau, jujur, saya sangat tertantang dan berjanji akan mencobanya lagi
ketika pertama kali menaiki Senja Bengawan, Solo – Jakarta tiga tiga tahunan
lalu. Saat itu, belum diberlakukan sistem satu kursi satu tiket. Pengalaman diberi
jatah kursi seromobongan keluarga membuat saya mengerti, inilah yang namanya
menjadi “rakyat”. Saya kurang yakin akan ada orang merelakan kursinya di kereta
eksekutif, oke, saya mengacau, ya manaaa adaaa kaleee kereta eksekutif
beridiriiiii? Plis deh… kita bayar mahal cuin!
Jika
saya berani sendirian dari ujung Jawa Timur hingga Solo, tentu saya berani,
dari Jakarta menuju Solo. Dengan taktik dan strategi, saya pun menjadi bagian
dari tradisi mengantri ketimbang tradisi memesan secara online. Toh saya sudah
cek di intergggnet, bahwa kereta bisnis dan eksekutip menuju Solo sudah ludes
di tanggal target saya, tanggal di mana saya sudah mengantongi ijin pulang
tepat waktu. Seperti halnya calo tiket dalam bayangan saya, sehabis subuh, saya
bersiap.
Pada
jam yang sama di hari-hari sebelumnya, tentunya saya masih tertidur lelap. Tapi
pagi tadi, saya harus berkumpul dengan ratusan orang mengantri. Dan saya entah
berada di baris ke berapa. Rasanya, inilah kali pertama pengalaman mengantri
tiket kereta dengan antrian yang begitu panjang. Selama kurang lebih dua setengah
jam. Dan tentu saja, tanpa hasil tepat di antrian kedua dari depan saya.
Dan
herannya, saya tidak menyesal sama sekali. Meski agak kecewa, karena
satu-satunya angkutan umum yang prakiraan waktunya terjadwal dan murah ini
tiketnya sudah ludes terjual di tanggal yang saya ingin pesan.
Entah
kenapa, berada di angkutan umum membuat saya menjadi hidup. Menjadi yang
sedikit merasa lebih beruntung dan kadang juga merasa kurang hebat. Sekarang
saya juga tahu, menjadi pengantri juga membuat saya menjadi hidup. Saya tidak
membayangkan jika sekarang tiket ekonomi juga bisa dipesan H-90 secara online. Oke,
itu sangat menguntungkan bagi saya. Sama halnya dengan membayar calo untuk
mengantri sejak pagi buta, tiket online (tanpa sisa yang banyak) akan
menghilangkan interaksi menjadi manusia.
Ketika
mengantri bersama di ujung pagi. Menuliskan nama kereta bersama. Saling bertanya
arah tujuan. Atau ketika seorang ibu ramai bercerita tentang anaknya yang
antusias pulang ke Jogja. Kehabisan tiket bersama. Mengganti jalur kereta
selanjutnya. Mengatur strategi pulang rumah. Memaki calo yang membeli puluhan
tiket. Mamaki satpam yang membelikan tiket untuk orang-orang di luar antrian. Dan
kehabisan tiket selanjutnya, benar-benar habis.
Kampungan
sekali? Mungkin satu hari yang lalu saya akan bilang “Iya”.
Bagaimana
jika mereka yang mungkin belum kenal internet harus datang di hari min tujuh
keberangkatan, sementara tiket yang ada sudah terjual? Ah, sepanjang jalan
pulang saya memikirkan strategi membeli tiket kereta. Hidup calo pasar senen! Hidup
calo tanah abang!
Tadi,
seorang kawan tercengang-cengang ketika saya bercerita bahwa saya ke stasiun pasar
senen (lagi) di pagi-pagi buta. Oke, ternyata di sana terkenal dengan
perampokan dan pencopetan. Saya juga tidak percaya saya seberani tadi pagi. Beruntunglah
saya yang sudah dilepas oleh orang tua saya. Ya meski kebegoan sering kumat. Mungkin
benar kata ibu saya entah kapan, kita harus pernah merasakan banyak hal. Biar bisa
merasakan, biar nggak gumunan. Maka kita tidak akan pernah merasa takut.
Pada
satu pemilu, ada satu calon wakil rakyat selama hampir enam bulan rutin
mengunjungi berbagai kegiatan warga dan membangun fasilitas bersama. Dia kalah,
hanya gara-gara satu calon lain yang sudah bertahun-tahun jadi wakil rakyat melakukan
serangan fajar senilai duapuluh lima ribu rupiah di pagi hari.
Pagi
tadi saya antri tiket ekonomi bersama ratusaaaaan orang, mereka yang berseragam
kantoran rapi sementara tangan kanan memegang bb dan tangan kiri memgang
i-phone (saya juga agak nggak yakin dia mau beli tiket ekonomi), mahasiswa
kucel, mahasiswa ganteng, mbak-mbak berjilbab rapi, ibu-ibu yang akan mengambil
rapot anaknya, tukang ojek di perempatan mana, bapak yang jualan mie ayam
keliling, mas-mas manajer pabrik. Sama-sama memandang penuh sebal pada
calo-calo yang membeli tiket puluhan lembar. Dan tak ada sisa lagi bagi kami. Sebagian
tertawa, sebagian kecewa.
Lalu
saya jadi benci calon wakil rakyat yang bagi-bagi uang untuk serangan fajar. Ya
mbok kalau-kalau situ punya uang banyak apa ya nggak buat memperbanyak gerbong kereta
api saja? Amankan calo.
Kenapa
stasiun senen dan tanah abang terkenal banyak pencopet dan rampoknya dan kurang
nyaman? Mungkin karena uang yang harusnya untuk menata dua fasilitas publik
menjadi nyaman itu buat bikin nyaman sendiri mereka yang katanya wakil rakyat
itu.
Sepertinya,
pelajaran menjadi manusia pertama saya dimulai dari sebuah stasiun kotor dan
bau. Belajar pada orang-orangnya yang legowo keluar antrian setelah segala
tiket alternatif tujuan habis diborong calo. “Yowis ki, numpak bis wae. Yoben larang tur olehe tekan mbuh kapan mbak…”.
Nah!
No comments:
Post a Comment