“Ke Monas kita tamasya, lalu keliling
kota
Putar sebentar ke arah Veteran, di
sana ada es krim kesukaan
Ragusa namanya…”
Kalaulah
saya anak SD beberapa puluh tahun lalu, mungkin saya akan membuat catatan
demikian dan mengirimkannya ke majalah anak-anak demi uang seribu rupiah atau
sebuah buku cerita terbaru. Atau kalau saya anggota WSATCC, bolehlah besok saya
membuat lagu tentang makanan-makanan tua di Jakarta, maka saya akan
mencantumkan kata ‘ragusa’ di salah satu liriknya…
Ragusa,
Es Italia.
***
Unilever,
raksasa yang bermarkas di Belanda itu bilang, bahwa mereka menciptakan es krim
bagi para pencari kebahagiaan, “for pleasure seekers”. Resep rahasianya akan
mengantarkan siapapun yang menikmatinya menjadi apaaaa saja yang dia inginkan
dan bayangkan. Sebagai penyuka es krim amatiran, magnum mengajak saya menjadi
seorang perempuan, setelah sebelumnya hanya menjadi anak-anak dengan mengunyah
paddle pop magnum.
Es
krim, cokelat, dan yang enak-enak lainnya, memang dipercaya sebagai
penetralisir ketidaknyamanan. Sedang stres? Makan es krim saja. Setidaknya
formula itu cukup manjur, pun bagi saya.
Lalu,
apa jadinya ketika menyantap es krim ternyata juga bisa menciptakan stres baru?
Efek
menenangkan yang dihasilkan dari proses makan es krim sepertinya memang berasal
dari cecap demi cecap yang dinikimati pelan-pelan. Ketika krim lumer di lidah
dan seketika rasa serta dinginnya turut menyebar dari otot mulut ke seluruh bagian
tubuh, utamanya kepala. Seketika sel syaraf menjadi lebih kendor, lalu jantung memompa
darah lebih normal dan perasaan kembali tenang. Barangkali. Karena, cobalah,
menikmati es krim dengan buru-buru, rasanya pasti tidak lagi enak.
Itulah
juga kenapa es krim di taruh sebagai penutup acara makan.
Sepertinya.
Termasuk
menikmati Ragusa, Es Italia.
Namanya
yang sudah tersohor menjadi jaminan akan kualitas dan rasa yang tiada duanya. Apalagi
ada embel-embel Italia. Elizabeth Gilbert saja memilih negara ini sebagai
destinasi untuk menuntaskan hasratnya akan “eat” diantara ratusan negara lain di
peta dunia sebelum memulai “pray” dan “love”. Terlebih cerita tentang legenda
kemahsyurannya sejak jaman Pasar Malam Gambir yang didominasi borjuis Belanda
dan sosialita. Ini legenda, dan kita harus sesekali mencobanya.
Letaknya
pun berada di daerah kawasan pusat kota. Menyebrang sebentar dari pintu timur
monas. Menyempil di tengah bersama beberapa kios yang mengajak kita mengingat
kota Jakarta satu abad yang lalu. Hanya saja dengan merek warung kopi,
restoran, dan warung empek-empek kenamaan menggantung di tiap kaca kios.
Jika
baskin robbins mengajak kita berteduh di dalam dinginnya pendingin ruangan
mall, lalu kita akan memesan setangkup burger jikalah perut juga mulai merasa
lapar. Di kios minim warna dan cat yang mulai memudar ini kita disuguhi pilihan
sate ayam, asinan, otak-otak, dan gado-gado sebagai kawan minum (atau makan) es
krim. Hawa panas karena nihilnya ac bertambah panas ketika ternyata kita harus
turut membuat rangkaian antrian menjadi semakin panjang. Kemudian barangkali,
akan sedikit kesal, ketika ternyata kita tidak kebagian meja untuk menghabiskan
es krim yang sudah di tangan.
Sampai
di sini saya agak kebingungan untuk menentukan arah tulisan, akan sinis atau
justru akan bangga pada Ragusa.
***
Waktu
itu sekitar jam satu siang. “Kita akan mencoba es krim Ragusa,” ujar Mbak Dilla,
seorang kakak yang saya lupa kapan terakhir bertemu dengan dia. Harusnya siang
itu Teh Imeh menjadi bagian rombongan, tapi sebagai penulis yang semakin oke
kariernya, doi sibuk sekali, pun di hari Minggu.
Nama
Ragusa sudah tidak asing lagi di kepala, rasa-rasanya pernah mendengarnya
berkali-kali dari acara kuliner di tivi atau membacanya di rubrik kuliner
majalah wanita. Menaiki bajaj bahan bakar gas berawarna biru, kami menuju jalan
Veteran, agak bersebelahan dengan Istiqlal. Berdiri di pintu masuknya, saya
tercengang.
Saya
akan makan es krim di mana?? Kok ono sate
mbarang? Benar-benar terasa Batavia.
Bayangan
bisa selonjor-selonjor di kursi empuk seperti di gerai j-co, menjadi seperti
anak gaul seperti anak muda yang nongkrong di sevel yang duduk di antara
kursi-kursi besi dan meja berpayung (?), atau kursi warna-warni mcd, hilang. Oke,
ini lebai. Saya hanya membayangkan sebuah bangunan gaya Belanda dengan cat
putih memudar dan jendela-jendela besar, dengan kursi panjang
berhadap-hadapan serta suara kereta yang
lewat di kejauhan (karena ternyata di seberang sana tidak terlalu jauh terdapat
jalur rel kereta api), serta iringan irama bosanova. Kombinasi sempurna yang
pernah saya rasakan di solopucino, sebuah warung kopi (dan es krim juga) di
solo, yang sayangnya sudah tutup dua tahunan lalu.
Orang
benar, masalah rasa juga termasuk masalah percaya. Karena namanya yang sudah
menjadi legenda, Ragusa menjadi pilihan untuk menikmati cita rasa es krim,
(italia).
Pengalaman
berebut meja (dan kalah) tentulah bukan pengalaman indah yang layak diceritakan
di sini. Saya harap gambaran ini menunjukan bahwa Ragusa benar-benar ramai. Mulai
dari serombongan keluarga besar, keluarga kecil, pasangan yang lagi jatuh cinta
hingga tega menyered meja yang berisi es krim kami dengan sedikit galak, atau
sekedar orang yang ingin mencoba Ragusa seperti saya. Sebagai newbie, tentu
saya tidak tahu tata tertib di sana. Mengagumi sekaligus tak mengerti, “O, jadi
kayak gini.”
Tapi,
karena saya tidak dapat meja, saya memberi nilai untuk kenyamanannya sebesar
minus seratus duapuluh satu. Jadilah nilainya menjadi tujuh puluh sembilan. Dapat
B.
Karena,
jujur, suasana ramai dan penuh semacam itu membuat saya tidak nyaman menikmati
es krimnya. Masak saya enak-enak duduk sementara puluha orang lainnya
jelas-jelas menenteng es krim penuh dan butuh duduk.
Sebagai
legenda, Ragusa mungkin masih juara.
Tapi
sebagai pilihan untuk menyecap habis hingga jilatan terakhir lelehan es krim
sambil cerita tentang sore indah di Jakarta, rasanya bukan di sana tempatnya. Saya
juga kurang tahu, kapan Ragusa tak sepi pembeli. Maka saya kira, sepertinya lebih
baik membungkusnya dan memakannya di sebuah taman kota yang sepi dan rumput
yang hijau.
Malah-malah
saya kangen es krim lima ribuan om Ronald yang datang dari amerika.
Saya
jadi ingat perkataan seorang kawan yang pernah bersama-sama mencobai hampir
semua makanan khas Solo, ketika akan membuat direktori tentang kuliner, mungkin
sebaiknya kita membedakannya dengan lebih spesifik lagi, misal “makanan enak”, “makanan
khas”, “tempat makan legenda”, dan atau “tempat makan nyaman/unik”. Kurang lebih
demikian.
Makanan
enak, ya yang enak dan semuaaa orang suka dan mengakuinya itu enak. Entah makannya
sambil berdiri atau mengantri hingga tiga jam. Makanan khas, tentu saja, adalah
yang (sebisa mungkin) hanya bisa ditemui di satu kota/ daerah, ya emang adanya cuma
di situ atau memang sudah diakui bahwa satu jenis makanan tertentu itu asli,
ASLI daerah tersebut. Tempat makan legenda, bisanya si karena umur berdirinya,
efeknya, mungkin seperti Ragusa yang terasa kurang nyaman (ya karena memang
banyak yang suka, dan kedai yang tak besar) atau justru rasa yang tak lagi
terasa nendang, karena semakin banyaknya jenis menu yang lebih terasa enak, ini
pernah saya rasakan ketika mencoba warung bakso legenda, tapi rasanya (menurut
saya) tidak enaaak. Tempat makan nyaman, cari saja di direktori majalah gaya
hidup, sekarang semakin banyak tempat yang menyajikan “suasana” dari pada rasa,
kan? :D
Tapi,
tentu saja, lain waktu, saya ingin kembali ke sana.
Mungkin
setelah mencari tahu, kapan waktu yang pas untuk mendapatkan meja dan sedikit
berleha-leha.
No comments:
Post a Comment