Waktu
itu, malam tahun baru di Maliboro. Perut lapar dan jam menunjukan sekitar pukul
dua dini hari. Melihat sekeliling, mencari makanan yang bisa mengganjal perut
yang belum terisi dari sore demi melihat kembang api di pusat kota Jogja itu.
KFC menjadi pilihan kami. Waralaba yang beberapa gerainya memang benar-benar buka
selama dua puluh empat jam. Walaupun bukan penyuka ayam, ayam KFC yang masih
hangat emang beneran crispy.
Pun
begitu dengan kawan senegara, McD. (e, Pizza Hut itu dari amerika juga bukan?).
Yang
diharapkan dari tempat makan cepat saji macam itu tentu saja adalah pelayanan
yang cepat dan cekatan. Para pramuniaga benar-benar cepat melayani. Ibaratnya,
jangan sampai konsumen merasa dikibuli dengan imej yang sudah kelanjur melekat
akan kecepatannya. Nah, berbanding lurus dengan anggapan akan imejnya, tidak
sedikit diantara kita yang memilih makan di waralaba macam itu (mulai dari
karena ayamnya, burgernya, pizanya, kopinya, es krimnya), karena kecepatannya,
kepraktisannya. Maka, jangan heran, antri panjang bisa dilihat di beberapa
gerainya.
Apalagi
jika itu adalah gerai-gerai strategis dan di jam makan. Apalagi jika keduanya
bertemu di hari libur. Selamat main ular-ularan dengan beberapa orang yang
tiba-tiba berubah tidak sabar.
Selamat
bertemu dengan para mbak-mbak dan mas-mas yang tangannya bergerak cepat. Menyiapkan
makanan, minuman, membersihkan meja yang baru saja ditinggalkan, mengepel
lantai di sekitaran wastafel, atau membungkus, pun mungkin ada kehebohan yang
sama di dapurnya. Dan tak lupa, mereka tetap tersenyum.
Ya,
kesibukan yang sama memang tidak hanya terlihat di tempat makan cepat saji sih.
Pemandangan yang sama akan kita temukan juga di semuaaa tempat makan yang
sedang ramai.
Tapi,
dari pengalaman saya yang tak seberapa, waralaba cepat saji sepertinya memiliki
standar yang hampir sama. Tersenyum, meminta maaf jika ada ketidaknyamanan, dan
berterimakasih. Mulai dari satpam, mbak-mbaknya, dan bahkan, manajer.
Sebenarnya
ini adalah rasa ketidakenakan saya
pada salah satu manajer waralaba yang baru saja saya datangi sore tadi, dan,
ingatan atas satu tulisan seorang presenter kondang.
Sore
tadi, selepas sore yang agak mengesalkan karena (lagi-lagi) tak kebagian tiket
kereta untuk bepergian padahal dari tempat saya menuju stasiun itu lumayan
jauh. Nggak cuma lumayan, emang jauh! Kehabisan tiket untuk semua kelas. Beruntung
tidak harus terjebak di terminal busway terlalu lama dan harus berdiri
sepanjang perjalanan antara Jakarta Timur hingga Barat.
Meski
sudah makan sup rumput laut dengan porsi super banyak hingga kenyang, tapi
sepertinya energi saya sudah terkuras karena sedikit jalan-jalan di mall yang
arsitekturnya adalah yang paling keren sepanjang pengalaman bepergian saya
melihat mall, maklum, pengalaman saya sedikit. Di fx. Dan iya, itu, sop rumput
lautnya enak banget juga. Dan, yah, lemes selemes-lemesnya atas kisah kehabisan
tiket. Beruntung si Mayang menenangkan saya, bahwa ada bus yang berangkat malam
hari dari sini.
Keluar
dari halte terdekat dengan tempat saya tinggal, ada gerai McD. Saya sudah
merencanakan untuk belie s krimnya dulu setelah turun dan sebelum menyetop
angkot. Masuk McD, dua konternya masih antri. Saya memilih antrian yang
terlihat lebih sedikit. Hanya ada sekitar empat orang di depan saya.
Nah,
ketika tinggal ada dua orang di depan saya. Tanpa sengaja saya menghela nafas
cukup panjang sekali dan, ehm, sepertinya keras. Iya, saya capek. Tapi sumpah,
ini bukan karena masalah antri. Toh saya cum antri empat orang yang dilayani
cepat juga. Saya belum berdiri lebih dari lima menit kok. Nah, tanpa saya
sadari, di samping saya berdiri sang manajer. Tebak apa, karena (pastinya) dia
mendengar saya menarik nafas. Tiba-tiba beliau meminta maaf pada saya. Tentu
saya jawab tidak apa-apa sambil tersenyum manis. Lagipula raut muka bapaknya
terlihat tulus.
Dan,
ini dia. Ketidakenakan kedua terjadi. Tanpa diduga, si bapak menuju belakang
konter, beliau melayani saya langsung. Beliau yang membuat Sunday Strawberry
saya (dan buahnya banyak sekali, seriusss). Dan waktu saya menunggu minuman
yang saya pesan, beliau mengingatkan seorang pelayannya untuk segera menyiapkan
cola pesenan saya juga. Hah?
Selesai
pesanan saya (yang adalah minuman semua), tak lupa saya bertrimakasih pada
bapak manajer berperawakan kecil itu. Ah, saya agak-agak tidak enak sebenarnya.
Bilang
saya kepedean. Tapi entah kenapa, saya yakin bapaknya tadi mendengar saya
menghela nafas cukup panjang ketika menatap daftar menu.
Lalu
saya teringat tulisan di blog salah satu pembawa acara talk show yang cukup
keren acaranya. Beliau bercerita, pada satu hari, beliau bertemu dengan seorang
laki-laki muda di Starbucks yang sedang mengepel lantai gerai waralaba kopi super
mahal itu. Dia terenyuh, terharu, sekaligus bangga. Kenapa? Karena pemuda itu
adalah anaknya sendiri.
Tentu
saja mereka adalah keluarga berada. Si bapak yang mencoret dengan silang besar
di copy-an yang saya buat untuk promo acaranya ini saja bisa dibilang cukup
senior di dunia jurnalistik dan tivi. Tapi, dalam catatannya, dia bilang,
memang dia sendiri yang menyuruh si sulung untuk sekali-kali merasakan
bagaimana rasanya berada di posisi “pelayan” agar kita tak semau sendiri ketika
menjadi “orang yang dilayani”. Ternyata si anak benar-benar melakukannya. Yah,
dan, ketika pada satu kesempatan mereka bertemu dan si anak berada pada posisi “pelayan”
dan keluarganya sendiri yang harus “dilayani”, si bapak benar-benar merasa
terharu. Toh si anak tidak terlihat kikuk dan tetap tersenyum-senyum senang. Justru
yang pontang-panting adalah perasaan si bapak itu.
Iya,
obrolan yang sama yang pernah saya dan dua orang kawan saya bicarakan di sebuah
waralaba pizza. Waktu itu, kita tertarik untuk mencoba bekerja paruh di sana. Tujuannya,
hampir sama. Karena waktu itu kita merasa sangat nyaman dan terkesan dengan
pelayanan mereka, lalu teman saya bilang, “Hal semacam itu, melayani orang lain
secara langsung, pasti benar-benar bisa melatih kesabaran kita menjadi manusia…”
Apa
kabar saya?
Apa
kabar kesabaran saya?
Apa
pulalah itu pekerjaan saya yang hanya melamun-lamun?
Apa
pulalah saya yang tidak bisa melihat dan menarik nafas panjang di waktu yang
tepat?
Boro-boro
minta maaf, berucap terimakasih aja sering lupa.
Ah,
Selama
menulis ini, tiba-tiba saya merasa, mereka adalah para pekerja yang layak
dicintai. Lovable worker. Mereka yang senyumnya, walaupun mungkin artifisial
dan hanya sekedar prosedural, tapi mereka melakukannya dan tetap berusaha
melayani kita sebaik-baiknya. Yang, ya, malah kita sambut dengan menarik nafas
panjang. Eh, saya ding itu mah…
Ayo,
Mari
besok kita membalasnya dengan terimakasih dan senyum yang manis.
iri soal sunday strawberry yg banyak buahnya tadi. :(
ReplyDelete