Gwen memutar gelasnya. Tangannya sibuk
memilin rambut-rambut kecil di sekitar wajahnya. Tangannya tak bisa berhenti. Ia
gugup. Aku tahu, jika Gwen gugup, itu berarti akan ada kalimat-kalimat panjang
di iringi tatapan mata yang tak jelas ke mana arahnya. Dan, meski dalam
beberapa hal aku tidak akan setuju dengan pendapatnya, tapi akan banyak hal
juga yang membuatku kemudian berfikir. Dan lantas setuju, jauh hari setelah
Gwen mengatakannya.
Kadang kupikir Gwen ini ajaib. Kontradiktif. Hari
ini dia benar, esok hari ia akan menangis-nangis menyesali kebodohannya, tapi
tetap diakhiri dengan tertawa terbahak menertawakan kenapa ia menangis, dan
bertanya, “Bukankah tiap orang melakukan hal bodoh yah? Ngapain nangis.”
Tapi Gwen lama tak menangis. Meski sempat
terlintas dan sedikit khawatir, jangan-jangan Gwen mengajakku bertemu untuk
menangis. Lagi. Mungkin Gwen melakukan kebodohan lagi. Kebodohan yang
membuatnya terisak diantara kuah pedas bakso dan teh panas sambil merutuki nama
mantan kekasihnya. Itu yang terjadi saat terakhir kali aku bertemu.
Aku merindukannya, tentu. Tapi aku terlalu
sibuk. Melihatnya mengoceh tak penting di linimasa cukup membuatku tahu kalau
Gwen baik-baik saja. Karena aku tahu, kalau dia tak lagi mengoceh, justru itu
berarti ada yang keliru. Sedikit rahasia, Gwen bahkan tak pernah menceritakan
hal-hal yang menyesakkannya sampai dia lega. Gwen lebih memilih menyimpan
ponselnya di laci rak buku dan kemudian menguncinya demi menangisi segala hal
yang menyakitinya. Dan Gwen, jika tanpa semangkuk kuah pedas nan panas bakso
atau soto, dia tak akan menyia-nyiakan air matanya untuk kau tonton. Dan kau
akan merindukan cara Gwen berkata atau sekedar memaki.
Sebentar lagi Gwen akan berkata-kata, tunggu
saja, tisu sudah ia remas-remas sampai habis. Tapi sepertinya tak akan ada air
mata. Gwen memesan chicken steak, strawberry float, semangkuk salad, dan,
sebotol air putih. Gwen hanya akan bercerita panjang.
“Nggak ngerti yah, tapi bagiku, nikah itu
konsistensi harga mati. Bayangin kamu hidup, let’s count, kamu hidup selama 70
tahun dan kamu nikah umur 25 tahun, atau, okelah, kalau kamu mungkin sekitaran
30 tahun, itu berarti kamu akan menghabiskan sekitaran 45 atau 40 tahunan dengan
orang yang sama. Dengan berbagai hal yang terus berubah, sementara kalian juga
berubah, tapi kalian harus tetap saling bersama. Dan, hebatnya lagi, dalam
kebersamaan itu, yang sangat panjang itu, akan ada hal-hal yang harus dilakukan
berulang, sama, dan mungkin stagnan. Kenapa panjang, karena 40 tahunan itu
adalah sekitar dua kali lipat umur kamu sekarang. Bukankah kita hidup sampai sekarang
aja rasanya lama banget? Bayangin deh…”
Aku mencoba membayangkan. Gwen melihat keluar
jendela, juga membayangkan.
“Dan yah, kenapa konsistensi. Sadar nggak
sih? Atau mungkin aku aja yah, konsistensi itu menyebalkan. Ya, oke, kadang
kita merindukan, ya, kita akan merindukan sesuatu yang telah terjadi, pun itu
konsistensi. Tapi, kita baru merindukan rasanya harus selalu ingat bawa topi
buat upacara Senin pagi itu, sekarang kan? Ketika kita sudah tidak pernah lagi
merasakan panasnya upacara bendera, pun ketika 17 Agustus. Dulu, waktu kita
masih punya kesempatan itu, itu menyebalkan. Kita menyesal, kenapa kita nggak
bisa menghormati orang-orang yang menghabiskan semuanya demi Indonesia Merdeka.
Itu juga karena kita nggak sengaja baca novel-novel perjuangan atau sekedar
tahu, dari dulu negara ini selalu merenggut ribuan nyawa dan membuat jutaan
perempuan jadi janda atau anak-anak yang mendadak yatim piatu. Toh gitu, emang
kita mau bangun pagi ikut upacara 17 Agustus? Tetep enggak. Nah, konsistensi di
pernikahan ini, kayaknya bukanlah konsistensi macam harus pake topi pas upacara
bendera atau masuk kantor harus sesuai jadwal dan pulang pun sesuai jadwal. Tapi,
semacam, harus tetap bersama apapun yang terjadi. Kebayang nggak? Kalau mau
ngikutin gambaran macam iklan-iklan, dalam bayanganku, itu berarti benar-benar
jadi satu dengan semuanya. Itu berarti dengan orang yang akan kamu, kamu,
mungkin, kamu nggak akan senang dengan caranya memakan burger, mungkin teman
kantor kamu lebih cantik, mungkin lama-lama kamu nggak pengen ML sama dia, yah,
semacam itulah, tapi kamu tetap menghormati dia dan melakukan yang terbaik buat
dia. Tidakkah itu konsistensi yang benar-benar berat? Kalau mau dipikir-pikir
lagi sih yah. But, we all know. Banyak orang berhasil melakukannya. Contoh paling
simple. Orang tua kita. Mungkin mereka pernah melewati hal-hal yang mengerikan,
entah itu pertengkaran atau cuma sekedar diam yang amat panjang, tapi, mereka
masih bersama hingga sekarang. Dan, kecuali mereka mau cerita, kita nggak tahu
lagi, apakah mereka masih saling mencintai atau enggak? Dan, sebenarnya, konsep
mencintai itu dari mana sih?”
Gwen berhenti. Mukanya lucu ketika mengatakan
kalimat terakhirnya. Aku juga tidak tahu.
“Dan, oya, satu lagi. Mungkin orang akan
bilang, kan bisa bercerai. Nah, tapi, aku agak nggak setuju dengan konsep
perceraian ini sih, tapi aku tetap bersimpati dengan segala kemungkinan sih. Berita-beritanya
patroli membuat aku sadar hidup itu benar-benar agak mengerikan. Tapi aku juga
salut sih, kalau ada satu orang yang tetap setia sama pasangannya, apapun yang
terjadi. Misal, tiba-tiba suaminya yang tadinya berpenghasilan besar cacat
karena kecelakaan, dan perlahan-lahan tabungan terkuras sementara kredit ini
itu harus dilunasi, tapi si istri tetap mendampingi dan menggantikannya mencari
nafkah. Atau si istri dipenjara, dan sang suami tetap setia. Benar-benar setia
dan sabar loh yah konteksnya. Ini baru namanya konsistensi. Kadang, aku pengen
deh, hidup yang benar-benar simpel kayak gitu. Kamu nggak perlu peduli dengan
apa kata orang. Tapi kayaknya aku belum bisa. Kamu juga kayaknya belum bisa. Disenggol
dikit aja mencak-mencak di twitter. Pengennya pake smartphone terbaru biar kece
kalo lagi di café, iya kan?”
Gwen tertawa, aku ikut tertawa. Gwen tahu tabletku
baru. Kemarin baru kuganti tablet keluaran dua tahun lalu dengan keluaran
terbaru yang lebih kecil tapi lebih pintar.
“Gila yah, 22 tahun hidup aja kan panjang
banget rasanya. Coba deh, berapa kali kamu ganti pacar? Berapa cewek yang kamu
taksir diam-diam? Dari SD deh kalau bisa. Belum lagi macam drummer keren atau
temennya temen temen kost yang cantik yang belum sempat kenalan tapi udah
berhasil mencuri perhatian. Tapi kamu akan hidup dengan satu orang yang sama di
sepanjang umur kamu. Dan aku salut sama mereka yang berani menikah. Tapi mungkin
juga orang yang menyiapkan segalanya sebaik mungkin untuk menikah juga bagus
si, seenggaknya mereka mempersiapkan dirinya untuk hal-hal yang tidak mereka
inginkan. Mungkin perceraian, atau dan lain sebagaianya. Nggak tahu ini becandaan
atau beneran, katanya cewek harusnya nikah sama pria yang mapan. Aku nggak
ngerti deh, selain takaran mapan itu beda-beda, kan nggak semua pria terlahir
dan beruntung untuk cepat mapan. Kalau gitu, gimana dengan si perempuannya? Harus
yang macam Dian Sastro kah? Tapi aku juga nggak berani jamin si, kalau misal,
nikah sama orang yang benar-benar nggak punya tujuan. Itu berarti ada semacam
kebingungan selanjutnya kan. Meski, jika mapan itu adalah tentang jaminan
pekerjaan, kok jadi sempit banget yah
ngelihatnya? Kan, kembali ke depan, kita nggak pernah tahu dengan apa yang
terjadi kan? Misal kena PHK atau sakit parah dadakan? Kembalilah ke konsistensi
itu tadi nggak sih, ketika kita siap, bersama dengan seseorang dalam segala
suka dan duka? Gila yah… panjang benar hidup itu. Dan kita harus melewatinya. Dan,
ajaibnya lagi adalah, hidup itu ada fasenya. Mungkin ini fase istirahat, Bri,
istirahat sejenak untuk bertemu jadwal yang padat dalam hidup. Macam kita SMP
Bri, ada istirahat pertama, ada istirahat kedua, dan kita harus tetap masuk
kelas kalau nggak mau orang tua kita dipanggil ke sekolah karena kita badung. Konsistensi
Bri. Gila yah…”
Gwen meneguk habis air putihnya lalu
mengaduk-aduk strawberry floatnya. Aku mengambil sedikit salad Gwen.
“Gwen, tapi kamu nikah nggak Gwen nanti?” Aku
bertanya, menggodanya.
“Nah, Bri, anehnya ya Bri, kalau aku sempat
berdoa, aku selalu berdoa kalau anak-anakku kelak punya ayah yang menyayangi
mereka Bri… Dan sayang ibunya juga, harusnya”
Kali ini aku tertawa terbahak. Hampir tersedak.
“Gwen, aku ngerti semua yang kamu omongin
itu. Kamu tahu, sebaiknya jangan menikahi seseorang kalau kamu masih saja
memikirkan tentang perceraian. Yah, meski bener sih, ada relativitas dalam
memahami perceraian. Tapi sebaiknya jangan menikahi orang yang bakalan kamu
ceraikan si sepertinya, setuju. Dan, kedua Gwen, hal apa yang sudah kamu lakukan
secara konsisten selama ini? Selain sikat gigi atau makan Indomie… Karena aku
nggak punya jawaban.”
“Sama Bri. Kamu tahu kan, tiap malam aku
janji untuk bangun pagi, dan tiap pagi aku mengingkarinya dengan bangun jam
sembilan.”
“Mungkin kita belum siap menikah Gwen.”
“Brian, Bri, kamu emang nggak pengen nikahin Maria?
Ini tahun ke berapa kalian bersama? Tiga? Eh, lima?”
Aku tak punya jawaban, Gwen.
_____
Disclaimer:
Kenapa “Suburban Love”? Karena
saya membuatnya dengan iringan "Suburban Love" dari Lipstik Lipsing. Lagu untuk
Brian, yang tidak mengerti kenapa dia tak punya jawaban untuk pertanyaan
terakhir Gwen.