Kalau bener-bener
lagi nggak ada kerjaan dan sendirian di kostan, sementara mata belum mau diajak
tidur dan masih sangat males banget ke kamar mandi buat bersih-bersih badan,
plus piring bekas jajan masih berantakan di pinggiran karpet, saya biasanya
membuka laptop, memutar beberapa album orang-orang yang terlalu sering saya
dengarkan, dan: membuka tautan-tautan yang kadang tidak terduga dan lalu entah
ke mana.
Biasanya,
semua bermula dari twitter atau keyword di google, lalu masuk ke
halaman-halaman selanjutnya, jangan berhenti hanya di halaman pertama.
Kadang cukup
unik. Kadang berubah seru. Kadang mengesalkan. Dan kadang, bikin nangis
sesenggukan.
Niat banget
yah? Tapi menikmati ke-selo-an (baca: sélo, longgar dalam Bahasa Jawa, bukan
plesetan dari “slow”, lambat dari Bahasa Inggris), adalah
sebuah harga tersendiri, yang seringnya akan saya nikmati sampai tertidur tanpa
cuci muka dan berbuah jerawat di Jumat malam.
Baru-baru
ini saya menemukan blog keyboardist salah satu band indie yang membuat saya
penasaran sejak beberapa tahun lalu. Setelah sempat salah orang, karena
ternyata orang yang saya maksud adalah semacam additional sepertinya, sementara
saya dikenalkan kawan saya yang produser radio ke keybardist aslinya yang sudah
tinggal di luar kota. Sebenarnya kebetulan, karena saat itu, selain band mereka
memang keren, juga karena orang itu pernah memboyong banyak awards kompetisi
iklan mahasiswa. Mbak Lale, kawan saya yang datang saat itu, dan kebetulan
kakak tingkatnya yang cerita ke saya. Wauw, di mata saya, orang seperti dia itu
luar biasa. Iya kan, kadang kita melihat orang terasa begitu hebat dan lalu
kita pengen tahu, siapa si orang itu. Atau bahkan mungkin semacam, “Yang menang
kemarin itu siapa si, yang mana orangnya?”; “O, dia yang menang itu ya?
Karyanya kayak apa si? Pasti hebat juga…”
Untunglah ada
internet. Tinggal ketik namanya di google, kita akan bisa melihatnya. Melihat,
bukan mengenal. Saya percaya, dibutuhkan interaksi yang lebih banyak untuk bisa
mengenal dari pada sekedar melihat profil seseorang di laman blog atau menjadi
follower di twitter.
Dan saya
sering melakukannya. Bahkan cuma gara-gara baca namanya di satu artikel,
baru-baru ini saya membuka blog seorang financial advisor gara-gara dia jadi
narasumber satu artikel di kontan.
Tapi saya
sadar, tidak semuanya memang untuk dikenal secara personal. Ya sukur-sukur bisa
saling tukar pikiran yah, atau mungkin tepatnya saya yang belajar –sambil
menikmati pemikiran-pemikiran orang-orang itu di catatan maya mereka si. Em, ya
kayak kita baca buku aja kan yah? Merekalah para penulisnya. Kita merasa tahu,
tapi ingat, kita tak mengenal mereka. Dan, mungkin, tidak di tempatnya pula
untuk terelalu peduli secara berlebihan. Kecuali memang krusial. Seperti
misalnya mencaci selebritis menyebalkan, atau supir angkot menyebalkan. Yah,
saya juga melakukannya. Karena saya belum tahu cara agar tidak melakukannya.
Naif banget
ya saya?
Hufht.
Apa saya
hentikan saja ya, ketidakpentingan ini?
Meski seringnya
banyak bermanfaat si. Seperti misalnya, saya jadi tahu, siapa itu Yasmin Ahmad
dan pandangan saya sedikit berubah ketika harus banyak bicara tentang masalah
perbedaan Indonesia-Malaysia. Atau perbadaan-perbedaan lainnya. Saya pernah
melihat dua karya Yasmin Ahmad, dan betapa, begitu banyak hal yang sederhana di
sana. Seperti di sini. Dan, begitu banyak orang-orang yang terlalu senang untuk
memprovokasi kebencian. Nah, kan, saya menghakimi. Saya sama saja ternyata. Belum
belajar melihat hal-hal sederhana dengan mata terbuka.
Atau mengikuti
twit Goenawan Mohammad. Sepertinya beliau masuk orang-orang pertama yang saya
ikuti sejak memiliki akun twitter dan belum pernah berfikiran untuk
meng-unfollow akun at gm_gm itu. Saya un-follow Dewi Lesatari karena dia, ah,
sudahlah. Tapi GM menyenangkan, setidaknya bagi saya.
Atau tersesat
ke dalam blog-blog menyenangkan yang membuat saya: aaah, kapan ya, saya bisa
nulis sebagus yang menulis tulisan ini?
Atau melihat
akun twitter orang, dan, ah, ini si ini to? Oh, ya ya…. Dan, klik, kita membuka
lama web di tautan profilnya. Lupakan twitternya, dan, oh, ini interest-nya.
Dan besoknya
lagi, besar kemungkinan saya akan melupakan semuanya.
Melakukannya
sekali seminggu dan merasakan efek yang, menyenangkan tapi agak bodoh. A guilty
pleasure.
Tapi malam
ini saya begitu terharu tentang tulisan ini. Twit seseorang di timeline saya
yang menautkan tulisan lainnya di dalam blog ini. Lalu saya pun terlena
membaca, dan menemukan ini: http://365karakter.tumblr.com/post/36519167245/moch-asrul
Bukan apa-apa.
Mungkin saya seperti Asrul. Saya pertama kali menonton bioskop di akhir umur 16
tahun. Ketika saya sudah tinggal di Solo. Di kota kelahiran saya tidak ada
bisokop dan entah kenapa, ayah saya lebih senang mengajak kami, saya dan adik
saya, memancing, ke gunung, dan ke pantai daripada ke bioskop. Bioskop terdekat
di Purwokerto, saya sempat hampir nonton film ke bioskop sama mantan pacar saya
waktu SMA, tapi keburu kemalaman dan saya ditelfon terus untuk pulang.
Tapi televisi
di masa ketika saya kecil sepertinya memang penuh film deh.
Saya pertama
kali menonton Armageddon di Layar Emas RCTI kalau nggak salah. Atau Indosiar,
saya juga lupa. Dan saya menyukai film itu hingga sekarang. Berkali-kali
menangis di akhir film: takut kalau ayah saya tidak bisa menikahkan saya, ya,
sebenarnya perasaan itu yang membuat saya menangis, saya ingin ayah saya bisa
menggendong cucu dan cicitnya. Tidak meninggal. Karena saya yakin, ayah saya
tidak mungkin harus meledakan diri bersama asteroid raksasa demi menyelematkan
bumi. Kecuali itu, saya akan mencoba ikhlas.
Sampai sekarang
tidak terlalu memaksakan diri menonton film ke bioskop karena awalnya agak
sayang harus mengeluarkan uang tiket, pop corn, kue, soda, soda, air putih demi
film yang: “Kok jelek yah?”; “Ngapain kamu nonton, ni aku udah punya
downloadannya.” Kecuali kamu masih memiliki pacar, atau, minimal gebetan. Sejelek
apapun pilihan film yang ada, toh kita sudah sampai lobi bioskopnya. Dan punya
stok bahan cerita ketika makan setelahnya. “Ah, aku suka banget bagian si ini nglakuin
itu…”; “Hah, bukannya itu aneh yah, menurutku si, soalnya yah…..”; “Optimus
Prime keren banget yah….”; “Shia LaBeouf seksi bangettttttt….”.
Dan, tentu, “Terimakasih
DVD Bajakan”. Ya, saya membeli dvd bajakan. Setelah tak ada lagi kawan
penyuplai film downloadan. Dan, mungkin Agung sepertinya juga terlalu sibuk
untuk mengunduhkan Breakfast at Tiffany’s atau Gone With The Wind, atau
film-film klasik lainnya. Dan saya seperti melihat dvd Pulp Viction di lapak
abah-abah deket kostan deh, yah…hmmm…
Dan karena
film-film di televisi yang membuatnya ngantuk di sekolahan, Asrul, –tidakkah namanya
mengingatkanmu pada Asrul Sani?, lebih ingin menjadi pembuat film daripada
menjadi pandai seperti Haji Kalla, –Jusuf Kalla idola saya! Bayangkan ada sejuta pemuda seperti Asrul di masa depan, orang yang sedari kecil ingin membuat film. Mungkin kita akan bertemu Ifa Isfansyah-Ifa Isfansyah selanjutnya, yang terasa begitu hebat membuat Percakapan Ini di dalam omni Belkibolang.
Karena kenyataannya,
begitu banyak film yang ingin ditonton tapi memang tidak tayang di layar
bioskop. Pasti banyak di antara kita (kalau ada yang baca) yang sudah tahu apa
yang terjadi. Saya sempat merasa berdosa sebenarnya, untuk tidak menonton film
lokal di bioskop, tapi, ehm, saya masih begitu kolot memang, saya belum cukup
berani menonton film ke bioskop sendirian. Dan saya selalu gagal nonton film
bareng kawan kost saya, karena entah apa, dan lalu kami berakhir di lapak dvd
bajakan.
Pola pikir
saya akhir-akhir ini agak melantur ke mana-mana. Ada yang terlalu banyak
berseliweran. Sepertinya hantu kost-kostan. Mungkin karena saya terlalu banyak
begadang sampai subuh. Jadi baiknya, mungkin saya akan mengurangi kegiatan selo
ini. Meski saya tahu, saya bisa belajar banyak hal di sini. Tapi kadang tak
baik juga mendapatkan begitu banyak informasi.
Karena seperti
namanya, maya. Apa yang kita anggap ada, jangan-jangan sesungguhnya tak pernah
ada. Ya.
jujur, pas bagian ini:"Karena saya yakin, ayah saya tidak mungkin harus meledakan diri bersama asteroid raksasa demi menyelematkan bumi. Kecuali itu, saya akan mencoba ikhlas.". lucu banget.. ampe senyum2 sendiri kayak orang gila pas bacanya. hahaha.. memang Diyah ini pandai membuat tulisan yg serius, tp tetep humoris..
ReplyDeleteoh iya, tenang aja Diyah. ada yang baca kok.. hehe (in response to: kalau ada yang baca)
ReplyDeletehhhi, mas pondra...
ReplyDeletejangan2 cuma mas pondra juga yang baca... :))
bagian bruce willis meledakan diri itu sedih banget mas soalnya. :D
masak aku doang yg baca. pasti ada orang lain di sana yg mungkin juga baca tulisan Diyah.. entah siapa orang tersebut. kayak tulisan di atas itu lho. seseorang yg gak kenal, tp pengen tau. hehe
ReplyDeletewah wah, penggemar Armagedon ya ternyata..
ngomong2, link yg ini juga kocak lho.. :D
http://fuadiyah.blogspot.com/2011/09/hidup-susah.html
hhha, iya ya mas...
ReplyDeleteaku baru ngeh kalo di blogspot itu bisa tau keyword apa yang dipake sehingga nyaut ke tulisan kita, ternyata ada keyword semacem: "cari istri yang mau hidup susah" dan itu yg paling atas blogku itu. hhha... :D
iya ya mas..
makanya sekarang harus mikir bberapa kali untuk nulis terlalu pribadi. hhhi, yg umum-umum aja... :D