Melihat
adik terkecil saya, si Lulu yang baru berusia tujuh tahun dengan riang meminta
gendong pada bapak dan lalu menjadi semakin riang ketika bapak pura-pura merasa
keberatan dan tidak kuat, sehingga berpolah seakan terpleset membawa ingatan
saya pada masa kecil saya.
Ketika
saya masihlah si kecil berponi lurus yang jatuh tepat di garis alis, si gupis
yang selalu minta gendong dan senang bukan main jika minum susu, makan donat,
oreo, dan taro. Jika ibu ibarat seorang peri yang baik hati, maka ayah adalah
superhero yang akan melindungi saya. Pun ketika saya punya seorang adik ketika
usia saya sekitar empat tahun, kami tumbuh besar bersama. Menaiki motor Suzuki entah
tipe apa, dengan tangki warna oranye, dengan bapak di tengah, adik saya di depan, saya membonceng di belakang,
kami memancing bersama. Pun ketika bermain-main dan meminta gendong, saya
memeluk erat di punggung, adik saya menggantung erat di dada bapak.
Hingga
kami tumbuh besar.
Bahkan
adik jauh lebih tinggi dan besar dari bapak. Tentu kami tak akan berani meminta
gendong seperti sepuluh tahunan lalu lagi. Mungkin saya tidak pernah melakukannya
lagi setelah masuk SMP, dan tidak akan pernah lagi. Perasaan bukan lagi sebagai
anak-anak memaksa saya meninggalkan hal-hal menyenangkan semacam itu, tapi
tanpa sadar saya masih saja mengingkarinya dengan sikap manja yang mungkin
belum hilang hingga sekarang. Manja ala anak yang sok-sokan menjadi remaja dan
dewasa.
Akhirnya
saya memahami kenapa ibu dan bapak tidak mempermasalahkan, justru tampak senang
bukan main, ketika saya masuk SMA dan ibu hamil adik kedua saya. Alasannya, “Kalau
nanti kamu dan adikmu sekolah atau kerja jauh dari rumah, ibu dan bapak masih
punya teman.”
Mereka
benar. Selama hampir lima tahun ini saya harus tinggal di Solo, konstan saya harus
tak lagi tinggal dengan mereka. Tak terasa namun nyata, adik saya pun
sepertinya tengah bersiap meninggalkan rumah, kalau-kalau dia harus belajar
jauh dari rumah.
Kami
senang, masih akan ada Lulu yang merajuk minta serutan baru karena serutan
lamanya tumpul, dan dia hanya mau jika membeli serutannya bersama bapak. Lulu yang
kadang menemani bapak tertidur di depan televisi. Lulu yang akan menemani mamah
arisan atau menikmati sore, jikalah si bapak belum pulang.
Bahkan,
melihatnya tumbuh besar seperti melihat diri saya sendiri menjadi besar. Mamah yang
diam lalu mulai mengomel tentang makanan kalau-kalau Lulu mulai tidak mau makan
adalah hal yang sama seperti yang saya terima ketika saya juga ogah makan. Mengajak
gosok gigi, pipis, dan cuci kaki sebelum tidur. Membiasakan menabung setengah
uang saku sekolah untuk jajan di hari minggu. Lebih senang membaca buku cerita
daripada belajar buku-buku lainnya, serta mulai senang berkhayal lalu
menuliskan petualangan-petualangan aneh. Dan, tentu saja, malas belajar mengaji
bersama si mbah putri. Hhaaa.
Hanya
sedikit hal yang bisa saya ingat dari masa-masa silam. Hanya sekilas-sekilas
seperti mimpi hingga ternyata saya sudah setua ini. Sangat jauh lebih tua dari
adik terakhir saya, tentu saja. Dan, mungkin, besok, saya ingin mengingatkan
Lulu untuk menikmati masa kanak-kanaknya sesenang-senangnya…
Sebelum
dia mengenal yang namanya tuntutan dan tanggungjawab pada orang lain dengan
ribuan karakter yang kadang tak bisa kita mengerti juga. Sebelum mulai terbuai
mimpi dan berusaha mati-matian mengejarnya namun kadang kita harus menerima kenyataan
bahwa kita gagal. Sebelum mengenal pria, jatuh cinta dan lalu patah hati, jatuh
cinta lagi, patah hati lagi, dan jatuh cinta lagiiii. Sebelum akhirnya
meninggalkan rumah, dan hanya memiliki sedikit waktu untuk merasakan lagi apa
yang ia bisa nikmati hari ini.
Ketika
semua hal menjadi begitu menyenangkan. Ketika dia menerima banyak kebahagiaan,
karena dia juga telah memberikan kebahagiaan yang sama untuk semua orang. Ketika
gigi gupis justru terlihat manis. Bahkan, ketika ngompol setiap hari pun hanya
sebuah hal biasa seperti halnya ganti baju dan mengganti seprai-nya…
Dan
tentu saja, kini. Ketika saya tiba-tiba merasakan adanya perbedaan yang saya
alami dari waktu ke waktu. Bahkan kadang terasa sangat drastis. Bahkan ada
garis batas yang terasa sangaaat panjang antara saya ketika sebelum dan sesudah
dua puluh tahun, yang entah menjadi lebih baik atau sebaliknya. Antara lebih
bahagia atau sebaliknya. Antara lebih bodoh atau sebaliknya. Saya tidak lagi
memiliki waktu selebar Lulu untuk berbagi banyak hal di sini.
Sepertinya
saya memiliki tugas dan tanggungjawab lain, yang entah apa.
Untuk
membagi kebahagiaan lain, yang entah apa juga. Dan, diam-diam, lebih sibuk
untuk memikirkan diri sendiri dan mengejar yang katanya mimpi.
Dan,
saya, sudah tidak boleh pipis di celana.
satu kata yg pas untuk postingan ini: mengharukan..
ReplyDeleteentah kenapa, cerita tentang masa lalu, tentang masa kanak2 seperti ini mampu membuat haru pembacanya..
apalagi ditambah dengan backsound yang sesuai saat membacanya.. haha
yup, dewasa berarti memiliki tanggung jawab yang lebih daripada anak kecil. namun menjadi dewasa bukan berarti kehilangan sifat kanak-kanak. lebih dari itu, orang dewasa yang tidak membuang sepenuhnya sifat anak kecil, akan memiliki visi dan kreatifitas yg lebih dibanding mereka2 yg membuang jauh2 sifat2 anak kecil di dalam diri mereka.
mungkin seperti kata Picasso, bahwa semua anak kecil adalah artist (bukan aktor/aktris lho). namun problem yg sering terjadi adalah, menjaga sisi ke'artist'an mereka saat beranjak dewasa.
jadi tidak ada salahnya untuk tetap menjaga sisi2 anak kecil dalam diri kita (yang positif tentu saja. dan tidak mengompol di celana).
wah, padahal niatnya bukan untuk mengajak terharu loh mas... :))
ReplyDeletehhi, pura-pura dewasa. sampe sekarang saya lebih senang nulis petualangan anak-anak daripada kisah cinta orang dewasa loh... hhaaaa...
salah satu hal agar tetap menikmati kebahagiaan yang beda. :)
pipis di celana. tentu udah nggak boleh. kalau minjam liriknya Zeke Khaseli, "pipis di celana rasanya" ibaratnya itu orang gede yang malah melakukan hal memalukan. rasanya kayak pipis di celana, padahal udah gede. :))
haha.. ternyata ada juga tho lirik yg bawa-bawa pipis di celana..
ReplyDeletehmm.. penulis kisah cerita juga ternyta Diah ini.. boleh juga nih dibaca kisahnya..