“Loh
sini, katanya mau lihat buat ayam kluyuknya…,” panggil Bu Botak pada saya yang
malah meninggalkannya di depan penggorengan dan kembali ke meja. Lalu saya
kembali berdiri di sampingnya, mendengarkan dengan seksama rahasia kekenyalan
ayam kluyuknya yang terkenal itu, yang favorit saya juga.
Ayam
kluyuk, salah satu menu andalan di warung Pak Botak ini, adalah potongan ayam
yang digoreng dengan tepung hingga kenyal dan matang, lalu disiram kuah
bersayur. Kuahnya manis gurih dengan warna merah kecokelatan, hasil kombinasi
saus dan kecap saat dimasak. Ah, apa yah, saya menyebutnya enak, hampir sama
dengan kuah bestik jawa, lengkap dengan sayuran seperti sawi hijau, irisan
wortel dan potongan jagung muda. Hampir sama dengan capcai, tapi tanpa kubis
dan sawi putih dan tidak terlalu cair. Nah, kuah kental ini disiramkan di atas
irisan ayam tepung yang sudah digoreng garing itu tadi. Rasanya? Seperti sudah
saya bilang tadi, rasanya enak dan nikmat. Apalagi jika kamu adalah penggemar
sayur dan tidak terlalu menyukai ayam atau daging, tapi juga pengen sesekali
memakannya tanpa terganggu perasaan tidak enak.
Tentang
ayamnya, jangan bayangkan ayam bertepung nan krispi seperti KFC. Justru ini
yang unik, tepungnya tidak terlalu tebal membungkus potongan daging, tidak
kasar, garing tapi tidak terlalu krispi, kalau kata saya kombinasi tepung dan
daging ini matang sempurna. Tidak alot, tidak terlalu kering, dan tentu saja,
tidak gosong.
Ini
dia, saya tadi baru saja mendapatkan rahasianya.
Untuk
mendapatkan hasil akhir yang pas itu, Bu Botak tidak menggunakan tepung terigu
dan air dalam membuat adonan. Dengan senyum mengembang riang, setelah
sebelumnya bercanda, “Wah, ndak boleh lihat mbak, ntar jadi tahu…”, akhirnya ia
membocorkan rahasianya pada saya. Resepnya adalah, ia menggunakan tepung
mayzena dan telur untuk membuat adonan. Meyzena digunakan agar adonan lembut
dan menyatu, dan untuk semakin melengketkan daging dengan tepung, maka
digunakanlah telur. Aih, pantas saja, tepungnya tidak keras dan pulen.
Pertama,
daging ayam yang sepertinya telah dibumbu (ini saya belum gabung), terus
ditaburi tepung mayzena, baru telur. Setelah itu adonan diaduk dengan tangan
sebelum satu persatu potongan daging dimasukan ke wajan dan dipilah satu
persatu dengan tangan juga. Oiya, minyaknya
juga harus panas dan banyak, biar nggak gosong dan bantet. “Besok kalau
di rumah coba buat sendiri ya mbak,” pesan ibu yang sebagian rambutnya sudah
memutih itu. Saya tertawa dan mengiyakan.
Lalu
Bu Botak memelankan suaranya, “Maaf pesenannya agak lama ya mbak, ini sekarang
yang masak anaknya bapak. Jadi nggak secepat bapak kalau masak,” katanya. “Iya
Ibu, nggak papa, udah nggak banyak yang antri kok bu…,” jawab saya santai,
masih mengamati Bu Botak bersiap menggoreng adonan.
Ahhh,
iya, Pak Botak, si empunya warung aneka nasi goreng, bakmi, capcai, dan
lain-lain khas masakan yang dimasak dengan api besar ini (saya nggak tahu
istilahnya, mungkin chinesse food, karena ada macam paklay, fu yung hai, ifu
mie, gitu-gitu), kini sudah berada di sisi-Nya untuk selama-lamanya. Pak Botak,
pria paruh baya dengan kumis yang sebagian memutih dan kepalanya yang botak itu
meninggal beberapa bulan lalu, saya lupa tepatnya, sekitar bulan Februari
sepertinya.
Saya
yakin ribuan anak kost atau mahasiswa UNS kenal betul siapa Pak Botak, dulu
warungnya di daerah Kabut, gang gerbang belakang UNS lurus dan turun sedikit ke
bagian bawah, sejak setahunan ini warungnya di Pasar Panggungrejo gang Surya
belakang kecamatan, masih daerah belakang kampus tapi di gang yang berbeda, dan
lebih dekat dengan kost saya. Saya sendiri menyukai ayam kluyuk-nya yang
menurut saya paling enak dari warung-warung sejenis yang saya tahu atau yang
berada di sekitar kampus dan kost-kostan. Dulu harganya 9.000, sekarang 13.000,
karena ukurannya yang sangat besar, sering saya memesannya setengah. Pembelian
setengah hanya boleh kalau dimakan di tempat, bukan untuk dibungkus, dan
dikenakan tambahan harga 1.000, untuk “kluyuk satu dibagi dua, dan nasi dua”. Jadi,
intinya, kita tetep beli satu, tapi bisalah dong yah, kalau makannya berdua
atau ramai-ramai.
Pak
Botak meninggal pada satu siang setelah berbelanja dan menyiapkan sayuran untuk
siap-siap ke warung. Ia terkena serangan jantung mendadak, meninggal setelah kerokan katanya.
Saya mengetahui ceritanya dari Pak Dalang, bapak penjual di warung HIK di depan
warung Pak Botak beberapa hari setelah beliau meninggal. Saya sendiri mendengar kabar meninggalnya dari
TL twiter, waktu itu sore habis Maghrib, kebetulan saya berencana membeli
capcai di tempat Pak Botak, lalu ke minimarket memberi beberapa barang. Saat
saya membuka twitter, salah satu teman sekelas ng-tweet tetnang turut berduka
cita atas meninggalnya Pak Botak dan dia pasti akan merindukan nasi gorengnya. Sore itu saya masih belum yakin, tapi kemudian
percaya ketika membuktikan sendiri bahwa kompleks warung kebetulan sepi, “Ya, sepertinya beritanya benar.”
Percakapan
tentang masakan dan cara memasak ayam kluyuk antara saya dan Bu Botak terhenti
sebentar. Mungkin saya kagok, karena tiba-tiba ibu membahas tentang Pak Botak.
Sambil mengamati caranya menggoreng, saya kembali memulai percakapan. “Bapak
sudah seratus hari belum yah Bu?” tanya saya, mengingat angka seratus hari
cukup berarti bagi orang Jawa kebanyakan. “Belum mbak, tanggal 9 bulan depan
mbak. Lama ya mbak ya…” jawabnya. Sebelum ia lalu bercerita panjang tentang
anaknya yang kini menggantikannya.
***
Ibarat
sebuah grup band, formasinya seperti ini, si bapak memegang kendali alat
penggorengan, bumbu, dan memasaknya dalam tempo yang begitu cepat; si ibu
meracik dan menyiapkan aneka rupa bahan sesuai menu pesanan, dari sayur, nasi,
sosis, daging, dan lainnya ke dalam piring plastik warna-warni lalu
mendekatkannya pada si bapak; dan si anak, kita biasa memanggil “mbaknya”,
menerima pesanan, mengingat dengan detail, mengantarkannya, menerima
pembayaran, dan melayani segala keinginan kita, mulai dari minta kecap, minta
sambal, tambah es, atau macam capcai-tanpa-kubis-dan-sawi putih-wortelnya
dibanyakin-pedes-dibagi dua-bungkus-tinggal dulu-ya mbak.
Selepas
tiadanya Pak Botak dalam formasi trio itu, warung beberapa hari tutup. Tapi,
ternyata, setelah masa berduka sekitar satu minggu atau sepuluh harian, warung
kembali buka. Asyik. Ah, tentu, pasti Bu Botak sadar, anak-anak kost
merindukannya. Kali ini, posisi chef
dipegang oleh seorang laki-laki yang jauh lebih muda dari bapak, kurus, tinggi,
dan selalu memakai tutup kepala semacam topi rajut. Ya, ternyata ia anak dari
Pak dan Bu Botak. Ya, barangkali si anak ini memang belum secepat sang ayah
dalam memainkan penggorengan dan memasak berbagai macam menunya. Tapi,
percayalah, saya masih mendapatkan rasa Ayam Kluyuk yang sama (oke, jadi saya
seringnya makan ayam kluyuk dan capcai di warung ini, jadi saya hanya bisa
memberikan komentar tentang menu itu).
Tadi
saya datang agak malam, sekitar jam delapanan, pesan makanan lalu saya tinggal
sebentar. Waktu pertama saya datang, warung masih sangat ramai. Waktu saya
datang kembali, tidak terlalu banyak antrian, kebetulan kluyuk sedang habis dan
si ibu bersiap membuat adonan baru, makanya saya berani ikut nimbrung dan
bercakap cukup panjang.
“Ada
atau nggak ada bapak mbak, awalnya beda, tapi akhirnya sama saja kok mbak,”
lanjutnya.
Ia bercerita tentang warungnya yang tetap ramai, meskipun beberapa pelanggan sempat kaget dan belum tahu perkara meninggalnya Pak Botak. Ah, iyalah, rasanya memang enak kok, pikir saya. Terus ia bercerita mengenai kesehariannya, selepas membuka warung hingga tengah malam ia beristirahat, lalu menyiapkan bahan-bahan dan bumbu untuk sore harinya, dan sore sekitar jam setengah lima, ia menyiapkan warungnya, karena jam limaan pelanggan sudah mulai berdatangan hingga masa paling ramai adalah selepas maghrib hingga sekitar jam delapanan. Pertama-tama biasanya didominasi pelanggan perempuan, dan ketika lebih malam kebanyakan anak laki-laki.
Kemudian
ibu juga bercerita tentang tidak adanya bapak dalam kesehariannya lagi.
Sepertinya ia sudah terbiasa tanpa Pak Botak, suaminya. “Dulu itu kalau siang
Bapak mancing mbak, terus sore sampai malam di warung,” Bu Botak terus
bercerita sambil menunggu ayam kluyuknya matang. “Udah ikhlas dan biasa ya bu,”
kata saya, agak bingung harus menjawab apa sebenarnya. “Iya dong mbak, yo harus
to…” jawabnya sambil tersenyum lebar. Aih, ini dia, senyum Bu Botak. Senyumnya
menghilangkan rasa kikuk saya, karena sesungguhnya saya tidak menyangka ia akan
banyak bercerita tentang Pak Botak.
Lalu
ayam kluyuk di wajan mulai naik ke bagian atas minyak, tandanya sudah matang.
Saya meninggalkan Bu Botak dan kembali ke meja bersama teman saya. Saya senang
melihat Bu Botak tertawa. Saya juga senang melihat Mbaknya terlihat tertawa
melayani beberapa orang yang baru datang. Lalu anak lelakinya kembali menguasai
penggorengan dan mematikan rokoknya, menyiapkan menu berikutnya, ayam kluyuk
pedas satu bagi dua pesanan saya.
Bagi saya, tawa Bu Botak itu perkara langka.
Bukan,
Bu Botak, yang entah siapa nama aslinya karena saya lupa bertanya, bukan orang
galak dan pemurung, bukan. Tanpa mengurangi rasa hormat dan salut saya pada
almarhum Pak Botak, tapi ia dahulu agak galak ketika memasak. Tak jarang,
beliau sering berbicara agak setengah teriak, “Sue men (lama sekali)” dan jarang membagi senyum pada istri dan
anaknya. Oke, ini hanya apa yang saya lihat, terlebih ketika pelanggan sedang
banyak-banyaknya. Itu semua dilakukannya tentu untuk para pelanggan. “Mereka
sudah lapar, kita harus menyiapkan makanannya tanpa mengulur lebih banyak waktu
lagi,” barangkali itu yang ada di pikiran Pak Botak. Karena tak jarang ia
melempar guyonan pada para pelanggan. Sayangnya, saat itu, jarang sekali saya
melihat tawa, apalagi senyum, di muka Bu Botak dan mbaknya. Muka mereka tegang.
Dan
kini, tawanya tak berhenti menyambut setiap pelanggan yang datang. Bahkan ia
membocorkan rahasianya pada saya. Penggemar ayam kluyuk yang baru tahu kalau
ayam kluyuknya dibuat dari tepung mayzena (dan kini, saya membocorkannya pada
kalian semua).
Saya yakin, Bu Botak berduka atas meninggalnya Pak Botak. Seperti saya juga yakin, pasti ia menghormati Pak Botak, terbukti ketika ia membuka obrolan tentang Pak Botak, ia meminta maaf ketika ternyata pesanan saya belum siap, karena anaknya belum bisa memasak secepat bapaknya. Sekaligus saya melihat kekuatan pada diri perempuan yang selalu mencepol rambutnya ini. Semangat yang sama pada diri Pak Botak di masa hidupnya. Semangat untuk terus melayani pelanggan-pelanggannya. Kalau bukan karena semangat itu, saya yakin ia tidak lagi meneruskan warungnya, karena mungkin ia tidak terlalu kuat untuk memutar wajannya yang berat dan besar itu.
Kini,
formasi warung mereka kembali lengkap, meskipun tanpa Pak Botak dan handuk
putih yang selalu setia di pundaknya. Pak Botak kini tengah bersantai di warung
barunya bersama-Nya, ah, mungkin juga masih gemar memukulkan penggorengannya.
Hanya fotonya yang terus mengamati warung kecilnya itu di atas daftar menu yang
dipajang memanjang di tembok bagian belakang. Kali-kali anaknya lupa
mengecilkan api, ia mungkin akan membantu mengingatkan. Dan, ya, melihat tawa
riang sang istri menyambut pelanggan, tentunya. Tawanya yang menyenangkan, dan,
mengenyangkan.
Itulah
barangkali alasan kenapa banyak pemilik atau semacam chef tempat makan tetap
eksis hingga berumur senja, karena adanya semangat atau spirit dari orang
tersebut. Dan, di warung Pak Botak yang sederhana, semangat itu sepertinya tak
hilang begitu saja dengan meninggalnya beliau, tapi juga muncul dari semangat
sang istri, Bu Botak. Barangkali, semangat itulah yang kemudian menyatu dengan
aroma dan rasa masakannya. Ah, atau mungkin, barangkali, itulah cinta. Tidak
hanya cinta antara mereka berdua dan keluarganya. Tetapi juga cinta kepada para
pelanggannya, termasuk saya.
Ah,
iya, Rabu malam besok warung tutup, karena tetangga Bu Botak mantenan, ia akan
turut rewang di mantenan itu. Oia, tadi saya diundang mampir ke rumahnya di
dekat warung lamanya, kalau saja saya mau belajar memasak dan meracik
bumbu-bumbu menunya. Asyik…
No comments:
Post a Comment